0

Oleh: Fina Mawadah

Prejudice, yes it's prejudice.
Ketakutan (fear), kurasa hal ini terbangun dalam diriku sejak dini. Bagaimana keluarga batih membentengiku dengan prinsip bahwa kita dan mereka berbeda, selagi mereka tidak mengganggu prinsip maupun ritual peribadatan kita dan kitapun tidak mengganggu mereka, maka hal itu cukup sebagai perwujudan nilai toleransi.

Ya! Aku (kita) adalah mayoritas mereka adalah minoritas, Selama 18 tahun kujalani hidup didesa kecil itu, pulau jaya lampung selatan (sebelum berangkat ke banyuwangi) tanpa melanggar dari prinsip keluargaku. Hari ini aku sadar dan berani membuat hipotesa bahwa keluarga batihku ternyata mengalami "Kristen phobia".

Aku teringat dengan cerita (sejarah) yang diceritakan beberapa tahun silam pada saat aku masih disekolah dasar, yaitu pada waktu kakek nenekku baru menjadi pendatang di desa itu sekitar tahun 60an, ya itu sebelum aku melihat dunia bahkan ibukupun belum lahir. Mayoritas pendatang beragama islam, tak lama berada di tempat itu ada sekelompok (golongan) kecil kerap membagikan sembako secara gratis setiap minggunya. Meski dengan menyimpan pertanyaan "Kok bisa?" Dalam hati, namun khusnudzon menerima dan berterimakasih.

Setelah beberapa minggu golongan tersebut mulai melakukan dialog intim dengan masyarakat, "Kami akan memberikan tanah (sawah), rumah dan juga hewan ternak (sapi), apabila anda mau masuk ke agama kami," ujar golongan tersebut. Ada yang bersedia menerima, namun keluarga kakek menolak itu.

Dan semenjak itu, konstruk streotype terbangun dan dirumuskan prinsip-prinsip dalam keluarga tentang batasan & bentuk toleransi, diturunkan kepada ibuku dan hari ini ada pada diriku.

Maka tidak heran ketika masuk ke tempat nonmuslim, bahkan mendekatinya saja hati langsung berdegub lebih kencang, entah seperti apa dan bagaimana tapi itulah histori yang kusadari hari ini, kenapa hal tersebut dapat terjadi dalam diriku.

Event Ramadhan tahun ini sangat berkesan dalam hidupku, untuk yang pertama kalinya masuk ke tempat ibadah non muslim yaitu GKJW Banyuwangi. Aku berdiri dengan degup jantung yang membuat wajah pucat tepat di hadapan Salib yang menyala dengan nur berwarna hijau. Saat itu adalah event yang diselenggarakan oleh GKJW Banyuwangi dan aku hanya sebagai kader yang diajak oleh Presidium Gusdurian Banyuwangi, Mas Tedjo. Beliau sebagai salah satu narasumber bersama Gus Aan dan Pendeta Natael.

Awal mula kuberani keluar dari zona amanku selama hidup, takut, tegang, merasa bersalah dansebagainya campur aduk dalam fikiran dan hati dalam diri. Namun semua dapat mencair dengan keramahan dan senyum ikhlas dari saudaraku tuan rumah yang mendamaikan hati.

Ya! Tentu itu tanpa sepengatahuan orang tuaku. Dan iya hari ini aku di sini, di pelatihan ini, dengan pengalaman kesasarpun tanpa sepengatahuan beliau ibuku, aku belum cukup berani.

Mendengar Mas Andreas (Oikmas GKI Jawa) dan Gus Aan (Gusdurian jombang) tentang kejujuran kami (peserta pelatihan) dalam menuliskan doktrin agama dan penilaian terhadap agama lain, seakan tertampar dan tercambuk diri ini, kunilai itu bentuk "bias" dan menyadarkanku bahwa aku mempunyai dosa masa lalu yang harus kutebus.

Dalam hidup kubentengi diri untuk tidak keluar dari prinsip yang kuterima, dengan sadar kita membuat mereka tidak nyaman dalam bermasyarakat. Saling tidak mengganggu, berteman tanpa bersahabat dengan mereka, No! untuk makan bareng dengan mereka, dan sebagainya.

Kubuat janji dalam diri kuberhutang dalam diri, sepulang dari sini (Jombang) ke Banyuwangi aku berusaha mengikis konstruksi sekat tersebut, dan sepulangku dari Banyuwangi ke Lampung, akan kutebus dosa 18 tahun itu. Kuberanikan diri datang kerumah mereka untuk meminta maaf memperbaiki hubungan silaturrahim kami, persahabatan kami, kekeluargaan kami yang tertunda, meski saat ini beberapa dari mereka telah meninggalkan saya, bukan meninggalkan ke alam lain, tapi hijrah ke status tidak jomblo (menikah). Bismillah.

Post a Comment

 
Top