"MEMAKELARI GUSTI"; PERJUMPAAN KATOLIK-FILIPINA DAN ISLAM-JOMBANG

<div><br><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGCWU1pbHjnKQiWhaVakpYAjkY_1fg1cAms1-5x9rhlYd61oFHtgOB9xmkDekd3TcsXZ1PSBDdg9XCH3XJ8pZiIHq1GszVmIF8BfMN8oijMnVB6FExsVXR2QwweoYbG60Bg1HO7tkEJC9Z/s1600/IMG-20230704-WA0027.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="1280" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGCWU1pbHjnKQiWhaVakpYAjkY_1fg1cAms1-5x9rhlYd61oFHtgOB9xmkDekd3TcsXZ1PSBDdg9XCH3XJ8pZiIHq1GszVmIF8BfMN8oijMnVB6FExsVXR2QwweoYbG60Bg1HO7tkEJC9Z/s1600/IMG-20230704-WA0027.jpg" width="320"></a></div>Kalau aku pikir-pikir, banyak kegiatanku selama ini isinya adalah perjumpaan. Perjumpaan, khususnya, antara kelompok yang berbeda identitas. Baik identitas etnis dan agama maupun gender maupun berbeda seksualitasnya. <br></div><div><br></div><div>Label yang mungkin cocok bagiku adalah mak comblang, makelar, blantik, matchmaker, atau apa saja yang senafas dengan diksi-diksi itu.</div><div><br></div><div>Seminggu yang lalu, aku menjomblangi rombongan dari Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS). </div><div><br></div><div>Jumlahnya sekitar 26 orang --sepuluh diantaranya mahasiswa Hubungan Internasional dari Ateneo de Manila University Filipina.</div><div><br></div><div><br><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh54e8jUmLtmvQScj-tFEpV1K_xlHLpbw747W6Y7ukI8CV58RvRLQl1sWeuII8PTgK2aNtp2jVFkdOegBxml-rF9wJI7Il6Lom74aMJtNwcCN_IcUOQkVDaYEuJ4UqpM9JreaSQw1rQnNwx/s1600/IMG-20230704-WA0034.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="1280" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh54e8jUmLtmvQScj-tFEpV1K_xlHLpbw747W6Y7ukI8CV58RvRLQl1sWeuII8PTgK2aNtp2jVFkdOegBxml-rF9wJI7Il6Lom74aMJtNwcCN_IcUOQkVDaYEuJ4UqpM9JreaSQw1rQnNwx/s1600/IMG-20230704-WA0034.jpg" width="320"></a></div>"Gus, aku pengen ngajak mahasiswa/mahasiswi Filipina bisa live in di salah satu pesantren Jombang. Tolong bantuen ya," kata kawanku, Simon Untara, wakil dekan Fakultas Filsafat.</div><div><br></div><div>Perjumpaan dengan komunitas Islam di Indonesia, menurutnya, sangatlah penting bagi mereka. Di Filipina, tidaklah mudah bagi orang-orang Katolik untuk membaur dengan komunitas Islam. </div><div><br></div><div>"Mereka sangat penasaran bagaimana bisa orang Katolik dan Islam di Jawa Timur bisa hidup sedekat ini. Aku awalnya memang menceritakan pada mereka betapa dekatnya kami dengan kalangan Islam," ujar Simon padaku.</div><div><br></div><div>Aku lantas memilih Pesantren Mambaul Hikam (PMH) Kwaron Diwek sebagai tempat mereka live in. Pesantren ini dipimpin oleh Kiai Irfan dan Nyai Ika. Nama yang kedua cukup aktif di GUSDURian Jombang beberapa tahun ini. </div><div><br></div><div>Rombongan UKWMS tiba di PMH tanggal 28 Juni sekitar pukul 16.00, sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri. </div><div><br></div><div><br><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-fF6QiDGiROaKphli6GjYlZWwacxKZ43VhUlYnCSoFd-MCUQgd0xxmaAeN678geqF9vIxhM0lraw67RtuAYq3yPbevy7XOTovLjhpJHwUOBQ8yC8hoeANADyO-Uq4FuASO9rSPRK8RTnY/s1600/IMG_20230629_113521_1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="4160" data-original-width="1920" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-fF6QiDGiROaKphli6GjYlZWwacxKZ43VhUlYnCSoFd-MCUQgd0xxmaAeN678geqF9vIxhM0lraw67RtuAYq3yPbevy7XOTovLjhpJHwUOBQ8yC8hoeANADyO-Uq4FuASO9rSPRK8RTnY/s1600/IMG_20230629_113521_1.jpg" width="147"></a></div>Sebagai penanggung jawab, Simon merasa Idul Adha merupakan momentum tepat bagi rombongan untuk lebih memahami ritual perayaan Kurban. Sangat mungkin ini merupakan pengalaman pertama bagi rombongan.</div><div><br></div><div>Rombongan akan menginap semalam. Tanggal 29 pagi, saat Hari Raya, mereka akan melihat ritual shalat Idul Adha dan perayaan pemotongan hewan Kurban, sebelum akhirnya mereka bertolak menuju situs katolik Puhsarang di Kediri siangnya.</div><div><br></div><div>Aku tiba di pesantren sekitar jam 18.30. Motoran. Bersama dengan rombongan UKWMS dan PMH, aku berkeliling menjelajahi pesantren putra. Jaraknya sekitar 500 meter dari tempat mereka menginap --pesantren putri.</div><div><br></div><div>Situasi malam itu begitu riuh-rendah. Suara takbiran menggema seantero pesantren. Begitu bising. </div><div><br></div><div>"Not all of you surely have sensational experinces entering mosque, right? So, come. Let me guide you all to enter," ujarku pada rombongan.</div><div><br></div><div><br><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIpHrO_zGmYW0STsvD87nhr3NpF20wyd2RUJWQ6JDnPbuN7UlLhyflLZ4H4XhRT1dxcCyK8-WBfj_3j-z8MZkG4Q6adsiDFZmT8cqlmaj2mgEW1RTY0wShMR2lqHuWkCivxf4eqPzCcp_Y/s1600/IMG_20230630_090838.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1920" data-original-width="4160" height="147" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIpHrO_zGmYW0STsvD87nhr3NpF20wyd2RUJWQ6JDnPbuN7UlLhyflLZ4H4XhRT1dxcCyK8-WBfj_3j-z8MZkG4Q6adsiDFZmT8cqlmaj2mgEW1RTY0wShMR2lqHuWkCivxf4eqPzCcp_Y/s1600/IMG_20230630_090838.jpg" width="320"></a></div>Kami pun masuk masjid pesantren putra. Saat itu sedang akan dilaksanakan shalat Isya' berjamaah. </div><div><br></div><div>Mereka mengobservasi dan mengabadikan apapun yang mereka anggap menarik. Diskusi-diskusi kecil seputar ritual shalat, kesucian, dan politik masjid terkait hal itu. </div><div><br></div><div>Setelah dianggap cukup, kami pun kembali ke Pesantren Putri. Kami memang berencana menggelar ngobrol santai seputar Islam, kearifan lokal dan Indonesia pada jam 19.30. </div><div><br></div><div>Pemantiknya adalah Kiai Irfan -- sehari-hari mengajar di Fakultas Syariah dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya. </div><div><br></div><div>Presentasi dari Kiai Irfan begitu bernas dan menarik, memantik banyak mahasiswa/i Filipina mengeksplorasi lebih jauh terkait topik tersebut. Dengan tangkas, menurutku, Kiai Irfan meladeni satu per satu pertanyaan dari mereka. </div><div><br></div><div>Tak terasa waktu sudah mengurung kami di titik 22.00. Waktunya tidur. </div><div><br></div><div>Keesokan hari, aku datang kembali ke PMH. Aktifitas penyembelihan hewan Kurban berlangsung meriah. </div><div><br></div><div>Ratusan santri/wati tumplek blek di halaman pesantren putri. Mereka bahu-membahu mengurus hewan Kurban agar bisa dinikmati yang-berhak. </div><div><br></div><div>Aku melihat beberapa dari rombongan UKWMS ikut terlibat bersama para santri/wati. Pihak pesantren berinisiatif menyediakan arang, tusuk sate dan alat pemanggang bagi mereka. </div><div><br></div><div>Acara nyate bersama menjadi ajang untuk saling mengakrabkan semua pihak. Mereka berkomunikasi dengan bahasa Inggris terpatah-patah, khususnya para santri/wati.</div><div><br></div><div>Meski tidak lebih dari 24 jam, aku merasa perjumpaan mereka dengan keluarga besar PMH meninggalkan kesan mendalam bagi semua pihak yang terlibat. Aku yakin mereka mendapat banyak insight dari perjumpaan tersebut.</div><div><br></div><div>Aku jadi teringat, saat diskusi malam hari sebelumnya, salah satu mahasiswi Filipina bercerita, ia didatangi seorang santri/wati. Mereka terlibat dalam obrolan untuk pertama kalinya.</div><div><br></div><div>"I was shocked because one of them asked me whether I believe in heaven and hell when I told them I am Catholic," ujarnya.</div><div><br></div><div>Aku tidak tahu apa persisnya konteks percakapan mereka sehingga muncul pertanyaan seputar surga dan neraka. Serta, bagaimana sebenarnya persepsi mahasiswi tersebut hingga merasa kaget. </div><div><br></div><div><br><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEihwLzOjMw40nsHPxNJgy5ej4SR5yH_2ppVE54yuvUn-XFvo_tPBhyphenhyphenp0WLDdak0GSHZ8qQObu1FjK6n02Wde0NYtr9SGON5EW8KWlivuyWSNREN94OX6oxL0wZyxCybjmbfJPN3LsBn7I_Z/s1600/IMG-20230628-WA0035.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1200" data-original-width="1600" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEihwLzOjMw40nsHPxNJgy5ej4SR5yH_2ppVE54yuvUn-XFvo_tPBhyphenhyphenp0WLDdak0GSHZ8qQObu1FjK6n02Wde0NYtr9SGON5EW8KWlivuyWSNREN94OX6oxL0wZyxCybjmbfJPN3LsBn7I_Z/s1600/IMG-20230628-WA0035.jpg" width="320"></a></div>"I guess that is a such normative communication for those who made an encounter for the very first time. I think we should thank and enjoy it," ujarku disambut tertawa oleh forum.</div><div><br></div><div>Aku sepenuhnya menyadari pertanyaan seputar surga dan nerakan merupakan cerminan kegairahan dan ketulusan orang yang baru pertama kali mengetahui saudaranya yang berbeda agama. </div><div><br></div><div>Biasanya kedua belah pihak akan berusaha mengalami dan mengkonfirmasi persamaan dan perbedaan diantara mereka.</div><div><br></div><div>Pengalaman ini sangat mungkin akan dikenang oleh pemiliknya dan, jika beruntung, kita bisa berharap akan ada perjumpaan lebih intensif. </div><div><br></div><div><br><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhruJA5loNtEq7ljRDS_PMdyxGhJxqfEDHSWo6LUnGxcMtL6o4xjZGJsuXREjEKiA_oRsKHKUxvNPErrP_SXm-S2E6SkXO8ZrP4Wx_0AwAgx5EjbSc9mCZOeZBfWpGb4VgMUkbvNZTtUPJn/s1600/IMG-20230629-WA0033.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="1280" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhruJA5loNtEq7ljRDS_PMdyxGhJxqfEDHSWo6LUnGxcMtL6o4xjZGJsuXREjEKiA_oRsKHKUxvNPErrP_SXm-S2E6SkXO8ZrP4Wx_0AwAgx5EjbSc9mCZOeZBfWpGb4VgMUkbvNZTtUPJn/s1600/IMG-20230629-WA0033.jpg" width="320"></a></div><div><br></div>Bagiku, toleransi hanyalah akan bermakna penggelembungan busa kata-kata jika tanpa diikuti kesediaan untuk saling mengetahui satu dengan yang lain.</div><div><br></div><div>"Gus, bisakah kamu ikut dalam sesi jam 8-11 pagi hari Jumat? Kalau perlu aku jemput kamu ke Jombang dari Puhsarang," tanya Simon kepadaku sebelum rombongan bertolak meninggalkan PMH. </div><div><br></div><div>"Serius amat anak ini," batinku. Aku mengiyakan. Seperti biasanya. Khas Gemini.</div><div><br></div><div>Jumat, 30 Juni, hari terakhir perjalanan rombongan UKWMS. Mereka berlabuh di Wisma Bethlehem Puhsarang. Aku memutuskan mengendarai Shogun 125 --serdadu tua setia yang masih sanggup melayaniku ke mana saja.</div><div><br></div><div>Ada tiga romo di forum tersebut, semuanya bergelar doktor dan pengajar di Fakultas Filsafat; Romo WIdyawan, Romo Immanuel dan Romo Ramon --- yang terakhir ini dari kelompok Opus Dei. </div><div><br></div><div>Forum saat itu merupakan ajang refleksi para mahasiswa/i dari Filipina. Semuanya diminta berbicara; boleh juga bertanya. Semuanya tentu memakai bahasa Inggris. </div><div><br></div><div>Aku lupa bagaimana detil pembicaraan di forum tersebut. Begitu banyak refleksi dari mereka yang, to be honest, tergolong mahasiswa/i cerdas dan pemberani bicara di depan publik. </div><div><br></div><div>Forum menjadi semakin menghangat manakala ada salah satu dari mereka bertanya seputar isu LGBT di kalangan Islam dan Katolik. Sejak awal aku memang sengaja memprovokasi mereka untuk berani membincang masalah itu. </div><div><br></div><div>Aku selipkan kata LGBTIQ dalam beberapa penjelasanku sebelumnya. Ingin sekali aku mendengar respon dari tiga romo terpelajar yang saat itu duduk bersama kami.</div><div><br></div><div>"Gus, mohon maaf, untuk masalah ini aku belum bisa komentar. Aku, terus terang saja, masih belum bisa menerima," salah satu romo berbisik padaku.</div><div><br></div><div>"Oooh ndak papa, Mo. Aku sangat bisa memahami kok. Semua perlu proses. Eh, kita tetap berteman kan?" ujarku menggodanya. Dia tertawa lebar.</div><div><br></div><div>Di akhir, Simon sebagai fasilitator forum mempersilahkan doktor Noti, dosen pembimbing dari Ateneo de Manila, untuk memberikan perspektifnya. Bahasa Inggris perempuan ini begitu bagus, pun refleksinya. </div><div><br></div><div>Ia mengatakan betapa berharganya pengalaman bisa live in dan menikmati kehidupan langsung pesantren, sekaligus melihat dari dekat komunitas Muslim di Jombang. Ia berharap dapat melakukan kunjungan seperti ini setiap tahun.  </div><div><br></div><div>Tugasku sebagai makelar usai sekitar pujul 12.30. Aku pamit, menggeber Shogunku membelah Kediri-Papar-Kunjang-Gudo-Cukir dan akhirnya kembali ke rumah. </div><div><br></div><div>Entah kemana lagi makelar ini akan diutus Gusti.(*)</div>

"MEMAKELARI GUSTI"; PERJUMPAAN KATOLIK-FILIPINA DAN ISLAM-JOMBANG

Kalau aku pikir-pikir, banyak kegiatanku selama ini isinya adalah perjumpaan. Perjumpaan, khususnya, antara kelompok yang berbeda identitas....

Read more »

"MEMBAKAR" MAKAM GUS DUR DENGAN HIO

<div>Oleh: Aan Anshori</div><div><br></div><div>Untuk sesaat makam Gus Dur berubah menjadi lautan asap dan aroma hio, bercampur dengan doa lintas agama serta bercengkrama dengan alunan tahlil, yasin, dan ayat Al-Quran. <br></div><div><br></div><div><br></div><div>****</div><div><br><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7H1V7lw-f9r-6AjWpN_PuOXEtCLq0PkCpDVfCDi7LdCvfCtLBP5y3U1qL97pH_EFlDeeII6IKUKgzB6eA2fsPgkJ0N-NkDcL8lgVcvfZypoDZyPDIHgA6oBCDKPEGSbzItRkj0md0oYmi/s1600/IMG_20230626_161826_042.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="854" data-original-width="1280" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7H1V7lw-f9r-6AjWpN_PuOXEtCLq0PkCpDVfCDi7LdCvfCtLBP5y3U1qL97pH_EFlDeeII6IKUKgzB6eA2fsPgkJ0N-NkDcL8lgVcvfZypoDZyPDIHgA6oBCDKPEGSbzItRkj0md0oYmi/s1600/IMG_20230626_161826_042.jpg" width="320"></a></div>Aku langsung menyatakan kesediaan menjadi salah satu narasumber saat ditelpon ce Js. Nanik dari klenteng Gudo Jombang. Aku dimintai tolong mengantar seratusan lebih anak muda Khong Hu Cu (KHC) berziarah ke makam Gus Dur. </div><div><br></div><div>"Hah? Millenial Khong Hu Cu bisa ngumpul sampai seratus lebih? Keren itu!" ujarku pada ce Nanik.</div><div><br></div><div>KHC di Indonesia bisa dikatakan sebagai agama yang "pelan-pelan menuju takdir kepunahan" di kalangan Tionghoa. Pengikutnya, entahlah, semakin menurun, begitu juga di kalangan anak muda Tionghoa. </div><div><br></div><div>Banyak dari mereka lebih enjoy berprotestan dan berkatolik. Sebagai salah satu pengajar di Univ. Ciputra, aku mengamati fenomena.</div><div><br></div><div>"Kalian harus punya strategi untuk mempertahankan eksistensi Khong Hu Cu. Jika perlu, membuat biro jodoh di internal Khong Hu Cu," ujarku guyon setengah serius saat bertemu beberapa tokoh Tionghoa di Gudo, termasuk mas Toni Harsono --ketua klenteng Gudo. </div><div><br></div><div>Tanggal 23-25 Juni, ratusan anak muda KHC seluruh Indonesia ngumpul di sana. Acara Temu Asik Pemuda Agama Khong Hu Cu (TAPAK). </div><div><br></div><div>Salah satu kegiatannya, berkunjung ke Museum Nusantara dan Makam Gus Dur di komplek Pesantren Tebuireng Jombang. Di sana nantinya, mereka akan bertemu dengan puluhan "pasukan" dari Semarang yang dikomandani mas Harjanto Halim. Kami akan bersama-sama melaksanakan ritual cengbeng di makam Gus Dur.</div><div><br></div><div>"Kok hanya bawa bunga sedap malam saja? Bawa hio juga, dong?" ujarku kepada beberapa panitia; Lissa, Bobby dan Didik.</div><div><br></div><div>"Kami memang pengen bawa, gus, tapi ndak enak. Masak di makam Gus Dur bakar hio," ujar salah satu dari mereka.</div><div><br></div><div>"Harus bawa! Hio itu kan alat sembahyang kalian. Lha kalau ndak bawa, gimana kalian mau berdoa? Pokoknya bawa. Aku yang tanggung jawab," </div><div>"Woke, Gus" </div><div><br></div><div>Aku kemudian meminta izin kepada mas Toni agar panitia disumbang hio. Aku percaya stok hio di Gudo lebih dari cukup. Dia, seperti biasanya, langsung mengiyakan. </div><div><br></div><div><br><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjdvS50J6lcIO-igJWFTsB6dkhY341Dozmo0Hx5-6hVMQuj4gt1wVB3rCrOw6Kq_NcwlTh3kx2zEZTN4uMlJrWvA7B8SWovWIvvbCK01k66zcH5XCu-aZwh-HPTc_PP1ffyd7LPm-KFu0mz/s1600/IMG_20230626_161820_875.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="854" data-original-width="1280" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjdvS50J6lcIO-igJWFTsB6dkhY341Dozmo0Hx5-6hVMQuj4gt1wVB3rCrOw6Kq_NcwlTh3kx2zEZTN4uMlJrWvA7B8SWovWIvvbCK01k66zcH5XCu-aZwh-HPTc_PP1ffyd7LPm-KFu0mz/s1600/IMG_20230626_161820_875.jpg" width="320"></a></div>Dalam pikiranku, jika seratus anak muda KHC ini membawa masing-masing 2 hio saja, maka dibutuhkan duaratus batang hio. Cukup untuk "membakar" makam Gus Dur beberapa jam jika dinyalakan bersama. batinku. </div><div><br></div><div>Aku melihat satu kardus besar hio disiapkan panitia. Mungkin isinya seribu batang. Sip.</div><div><br></div><div>Sudah terlalu sering aku berbicara pada semua tokoh lintasagama; bahwa makam Gus Dur itu, dalam pandanganku, adalah milik semua agama, tidak bisa hanya diklaim milik orang Islam. </div><div><br></div><div>Ibaratnya, makam Gus Dur adalah perairan internasional. Setiap kapal memiliki kedaulatan setara yang tunduk pada hukum internasional, bukan hukum satu negara. </div><div><br></div><div>Maka, setiap orang merdeka mengekspresikan doa dan ritualnya sepanjang tidak mengganggu peziarah lainnya. Uniknya, sepanjang pengalamanku berinteraksi dengan makam ini dengan aneka agama, para peziarah Islam memiliki toleransi yang sangat tinggi. Tak terhitung berapa ratus kali kata "Tuhan Yesus," "Roh Kudus," dan "Tuhan Bapa" tersembur demonstratif mampir di telinga peziarah Islam. </div><div><br></div><div><br></div><div>Sabtu (24/5) sekitar jam 12.45, dengan menaiki kereta kelinci, seluruh peserta TAPAK di Museum Islam Indonesia K.H. Hasyim Asyari, jaraknya sekitar 500 meter dari makam GD. </div><div><br></div><div>Aku tiba terlebih dahulu di sana, menyempatkan reuni dengan Ali, kawanku saat S2 di Tebuireng. Dia ngantor di sana tiap hari.</div><div><br></div><div>Menurut panitia, peserta hanya memiliki waktu sekitar 40 menit mengeksplorasi museum secara mandiri sebelum aku diminta menggunkan 20 menit tambahan untuk menjelaskan Gus Dur dan Tionghoa.</div><div><br></div><div>"Semua peserta, tolong dengarkan!" aku berteriak sembari menaiki tangga, meminta perhatian semua peserta, "Kalian akan menikmati museum ini secara berkelompok dalam waktu 20 menit,"  </div><div><br></div><div>Aku memberi dua tugas pada mereka; menemukan jejak-jejak Tionghoa dalam setiap hal yang ada dalam museum dan memberikan saran kepada pengelola agar museum semakin baik layanannya</div><div><br></div><div>Perwakilan kelompok, saat presentasi, menemukan banyak jejak-jejak simbol Tionghoa dalam museum tersebut. Aku sendiri tidak menyangka mereka mampu menyelesaikan tugas dengan baik.</div><div><br></div><div>"Sekarang, mari kita bergerak menuju makam Gus Dur, via pasar wisata," kataku memberi komando.</div><div><br></div><div>Mereka berbaris a la kadarnya, menikmati setiap lekukan jalan. Di sisi kiri-kanan berdiri lapak-lapak souvenir dengan banyak peziarah yang beristirahat.</div><div><br></div><div>"Lhoo Cino..." </div><div>Aku mendengar seorang perempuan bersuara agak keras, jaraknya sekitar 2 meter dariku berjalan. Raut mukanya campuran antara senang dan kaget.</div><div><br></div><div>Rombongan kami memang sangat mencolok. Putih, sipit, dan semua perempuannya tak mengenakan penutup kepala. </div><div><br></div><div>Sejak rombongan TAPAK masuk pasar wisata makam Gus Dur, aku memang menyempatkan memperhatikan raut muka pengunjung dan penjual. Rata-rata perhatian mereka tersedot pada sosok-sosok Tionghoa milenial ini. </div><div><br></div><div>"Nanti di Tebuireng, kalau ada yang memandang kalian agak lama dengan muka unik, janganlah merasa risih ya, apalagi tersinggung. Tidak setiap hari mereka punya kesempatan bertemu orang-orang seperti kalian, para tenglang," ujarku membriefing mereka saat di museum.</div><div><br></div><div>Tepat di ujung pintu keluar pasar depan pintu masuk makam, aku menghentikan barisan, meminta panitia membuka kotak besar hio dan membagikannya. Tiap orang minimal mendapat dua hio. Banyak peziarah lain memperhatikan kami. bahkan ada yang "nekat" meminta hio juga.</div><div><br></div><div>"Jangan langsung dibakar ya. Nunggu aba-aba dariku. Pokoknya, bawa dulu masuk ke makam," ujarku.</div><div><br></div><div>Kami masuk lorong makam seperti serombongan pasukan, dengan hio, tawa dan keceriaan sebagai "senjata" kami.</div><div><br></div><div>Aku melihat joglo depan pusara Gus Dur penuh peziarah, namun bukan dari kalangan Islam. Dari pakaiannya, aku tahu mereka rombongan dari Boen Hian Tong Semarang, pasukan yang dikomandani ms Harjanto halin.  </div><div><br></div><div>Aku melihat mas Toni Harsono bersama kru musik Potehi duduk di dekat sumur. Terlihat seperti sedang istirahat.</div><div><br></div><div>Aku melihat semuanya tidak melakukan apapun. Diam. Hanya terdengar suara tahlil dan lantunan Yasiin dari peziarah Islam.</div><div><br></div><div>"Mungkin mereka belum mulai karena menunggu rombongan kami," batinku. Aku segera meminta ratusan anak muda KHC mengambil tempat di barisan belakang. Makam menjadi penuh sesak.</div><div><br></div><div>Aku kemudian mencari Ulin, korlap dari Semarang, untik berkordinasi. Ia kemudian mengarahkanku ke ce Ling Ling, pembawa acara. Secara cepat, aku mengupdate rundown acara padanya, mencari momentum kapan saat tepat membakar ratusan hio yang telah dibawa pasukan TAPAK.</div><div><br></div><div>"Ce, tolong taruh Khong Hu Cu di urutan terakhir doa lintasagama. Nomor lima ya, setelah Islam, Kristen, Katolik, dan Buddha. Kami akan bakar hio," </div><div>"Lho ada hionya ta, gus? Kami sebenarnya juga pengen bakar namun sungkan," ujar ce Lili, wajahnya terlihat lebih sumringah mendengar kata hio.</div><div><br></div><div>Aku segera memberi kode panitia agar juga membagikan hio ke rombongan Semarang dan siapa saja yang mau. Wajah rombongan  tampak penat, seperti ingin mengatakan; kapan acaranya dimulai. Tidak ada yang lebih meresahkan selain menunggu tanpa kepastian.</div><div><br></div><div>"Ibu bapak, acara akan dimulai kurang dari satu menit lagi," kataku sembari berteriak. </div><div><br></div><div>Segera aku kirim kode ke mas Toni yang sejak tadi sudah siap menabuh genderang tanda dimulainya acara doa bersama.</div><div><br></div><div>Diam-diam, aku mencium sesuatu yang agak aneh di areal makam. Bau hio. Baunya semakin lama semakin meronta-ronta, padahal aku belum memberi kode penyalaan. Hio sudah banyak yang terbakar.</div><div><br></div><div>Ya sudahlah. Lagian siapa yang sanggup mengendalikan massa sebanyak itu.</div><div><br></div><div>Dari kejauhan, aku melihat salah satu panitia mengambil segepok hio, sekitar 50-60 biji. Aku kira akan dibagikan, ternyata dibakar terlebih dahulu, sebelum dibakar. Memudahkan. </div><div><br></div><div>Untuk sesaat makam Gus Dur berubah menjadi lautan asap dan aroma hio, bercampur dengan doa lintas agama yang bercengkrama dengan alunan tahlil, yasin, dan ayat Al-Quran. </div><div><br></div><div>Panitia membakar lagi segepok hio. Edan! --batinku. Beberapa peziarah Islam tampak batuk-batuk. Aku sendiri mondar-mandir seperti setrika mengkordinasikan acara sembari membawa hio tak terbakar.</div><div><br></div><div>Doa lintas agama pun tuntas. </div><div><br></div><div>Ce Ling Ling memberikan mic ke mas Harjanto Halim. Lelaki ini akan memimpin dua buah lagu; Ya Lal Waton dan Aipia --dengan iringan musik barongsay berderap-derap. </div><div><br></div><div>Banyak peziarah Islam, khususnya perempuan, ikut berdiri dan nyanyi ya lal wathan. Suasananya mirip pembukaan muktamar NU.</div><div><br></div><div>"Kini, kita akan menutup acara kita dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya," ujar ce Lili.</div><div><br></div><div>Aku segera menuntun mas Gunawan, salah satu peziarah Tionghoa, untuk maju. Ia akan menjadi konduktor Indonesia Raya. </div><div><br></div><div>Sebenarnya Indonesia Raya tidak masuk dalam rundown acara. Hanya saja, aku berhasil meyakinkan ce Ling Ling, betapa pentingnya lagu ini sebagai pemersatu siapapun yang hadir.</div><div><br></div><div>"Tapi aku ndak bisa jadi dirigent lho, gus,"</div><div>"Aku yang urus, ce. Tenang," jawabku.</div><div><br></div><div>Aku pun segera menelusup ke para peziarah, mencari siapa saja yang bisa menjadi konduktor. Persis seperti orang yang mencari anak hilang. </div><div><br></div><div>"Aku bisa, gus," ujar lelaki tua Tinghoa di barisan belakang, memakai masker.</div><div>"Alhamdulillah. Suwun. Sampeyan sopo jenenge, mas?" tanyaku </div><div>"Gunawan, gus"</div><div><br></div><div>Aku segera menggandengnya maju, membelah puluhan peziarah, untuk bergabung dengan para tamu. Aku memintanya tidak bergerak ke mana-mana. </div><div>"Mas, apapun yang terjadi, jangan pernah bergeser dari sini," ujarku dengan mimik serius.</div><div><br></div><div>Mas Gunawan melakukan tugasnya dengan sangat indah. Ia memimpin ratusan peziarah --tidak peduli etnis dan agamanya-- berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama. Sayang aku tidak sempat mengabadikan videonya.</div><div><br></div><div>Acara selesai. Kami semua harus segera keluar makam. Pasukan Tapak dan Semarang berjalan keluar dengan formasi kirab. Paling depan; kru pembawa panji dan banner, pemanggul sinci Gus Dur, kru musik, dan pasukan.</div><div><br></div><div>Pasukan kirab bubar di depan masjid Ulul Albab, kembali ke Gudo. Semua terlihat puas dan lemas. (*)</div>

"MEMBAKAR" MAKAM GUS DUR DENGAN HIO

Oleh: Aan Anshori Untuk sesaat makam Gus Dur berubah menjadi lautan asap dan aroma hio, bercampur dengan doa lintas agama serta bercengkrama...

Read more »

RITUAL SEMBAHYANG ARWAH DI MAKAM GUS DUR

<div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgO0OcBu3gWPG9JeZ714K7-C3lylzhAZR0mAGNpe9X1Y9Gd4oCbogv-uP2VLWODv1a2A6jkI297iPjzIh7CnFkMXyOMy-mYldSABni8jkKkiZecGaPiN_S8pL0qERpl5eaaPEiFay8Jk9WQ/s1600/IMG_20230624_141216_1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1920" data-original-width="4160" height="147" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgO0OcBu3gWPG9JeZ714K7-C3lylzhAZR0mAGNpe9X1Y9Gd4oCbogv-uP2VLWODv1a2A6jkI297iPjzIh7CnFkMXyOMy-mYldSABni8jkKkiZecGaPiN_S8pL0qERpl5eaaPEiFay8Jk9WQ/s1600/IMG_20230624_141216_1.jpg" width="320"></a></div><div><br></div>Ratusan anak muda Tionghoa dari berbagai tempat di pulau Jawa melakukan ching bing di pusara Gus Dur komplek pemakaman pesantren Tebuireng Jombang, Sabtu (24/5). Ching Bing merupakan tradisi Tionghoa untuk menghormati leluhur dan tokoh yang dianggap berjasa. <br></div><div><br></div><div>"Gus Dur adalah sosok sangat penting bagi warga Tionghoa. Kami secara khusus membawa sinci Gus Dur dari klenteng kami di Semarang ke sini," tutur Harianto Halim tokoh Tionghoa dari Semarang. Sinci adalah papan arwah yang biasanya diletakkan di altar klenteng. Hanya sosok terhormat yang diabadikan dalam bentuk sinci. </div><div><br></div><div>Di makam Tebuireng, sinci Gus Dur ditaruh di papan kayu, digotong empat orang dan diarak ratusan warga Tionghoa, sebelum akhirnya ditaruh di dekat pusara Gus Dur. Arak-arakan ini semakin meriah karena diiringi alunan alat musik yang biasa dimainkan bersama barongsai.</div><div><br></div><div>Ritual penghormatan arwah Gus Dur dilakukan dengan mengakomodasi kelompok lintas agama. Para tokoh dari Islam, Kristen, Katolik, Buddha dan Khong Hu Cu bergantian memimpin doa di tengah ratusan peziarah Islam yang hadir. </div><div><br></div><div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgHNqrVHA90wMrA6RitRkQ7U-iA7V_U5jBxYhnT7Y91bRYl-shOBg6Y4jqh7Uqw7KDjSZ6cV2V9gOrP10XLmohp-Dpfzfkxmwhup9dqycOJ4LmW7gHnk-7ve8qK4tCn_LEJ6v-LgqrLIYiQ/s1600/IMG-20230624-WA0049.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1200" data-original-width="1600" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgHNqrVHA90wMrA6RitRkQ7U-iA7V_U5jBxYhnT7Y91bRYl-shOBg6Y4jqh7Uqw7KDjSZ6cV2V9gOrP10XLmohp-Dpfzfkxmwhup9dqycOJ4LmW7gHnk-7ve8qK4tCn_LEJ6v-LgqrLIYiQ/s1600/IMG-20230624-WA0049.jpg" width="320"></a></div><div><br></div>Uniknya, saat doa dipanjatkan, semua warga Tionghoa menyalakan hio dan mengikuti prosesi dengan khidmat. Setelah berdoa, seluruh peserta menyanyikan lagu ya lal wathan diiringi musik tradisional Tionghoa dan Indonesia Raya. </div><div><br></div><div>"Acara ini bertujuan mengenalkan Gus Dur pada generasi muda Tionghoa. Kami berencana menyelenggarakan ching bing di pusaranya setiap tahun," ujar Toni Harsono, ketua klenteng Gudo yang ikut hadir.</div><div><br></div><div>Upacara ching bing diakhiri dengan mengarak sinci Gus Dur keluar makam diringi ratusan warga Tionghoa menuju halaman masjid Ulul Albab.(aan).</div><div><br></div>

RITUAL SEMBAHYANG ARWAH DI MAKAM GUS DUR

Ratusan anak muda Tionghoa dari berbagai tempat di pulau Jawa melakukan ching bing di pusara Gus Dur komplek pemakaman pesantren Tebuireng J...

Read more »

PANTANG MUNDUR MENELADANI GUS DUR

<div><br><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgIvngHIW9yXyezLkJw_MlBfHnU_aLSV4cNhnslP-gNZoeYlrtqP23qnzTAES-msItJcmikMLvgker0HMF74HW30gyvXANmWeCbi9bpjkgOBjIItn3WvTc9fxZXbH5xTq2jxGkxcjFv-dzT/s1600/IMG-20230113-WA0031.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="900" data-original-width="1600" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgIvngHIW9yXyezLkJw_MlBfHnU_aLSV4cNhnslP-gNZoeYlrtqP23qnzTAES-msItJcmikMLvgker0HMF74HW30gyvXANmWeCbi9bpjkgOBjIItn3WvTc9fxZXbH5xTq2jxGkxcjFv-dzT/s1600/IMG-20230113-WA0031.jpg" width="320"></a></div>Rilis Membatik Toleransi dalam rangka Haul Gus Dur 13 Jombang</div><div><br></div><div>Sebanyak 80 siswa/i Islam dan Kristen Jombang berkolaborasi membatik bersama di halaman gereja GKI Jombang, Kamis (12/1). Kegiatan yang diprakarsai ini diikuti 5 sekolah, yakni SD Kristen dan SMP Kristen Petra Jombang, MTs dan MA al-Hikam Diwek serta MI Islamiyyah Perak Jombang. </div><div><br></div><div>"Upaya ini merupakan langkah konkrit mengajarkan toleransi siswa/siswi berbeda etnis dan agama untuk lebih saling mengenal dan bekerja sama," ujar Ika Maftuhah Mustiqowati, kepala sekolah Madrasah al-Hikam Diwek.</div><div><br></div><div><br><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfiMVs5W5Jy22F-kso1ND1YBBczONhdSqh7Vrw8hVqElbsOwqRu8Ktb-YqIsLPDUYesLBdo3IwZ_oPX_vFxT4GFWjNoNx_5vGSMpJfqDHnDNZcdm0opKSvJsFnHaHiDtEqXwOkDEtkX1gP/s1600/IMG-20230113-WA0042.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1200" data-original-width="1600" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfiMVs5W5Jy22F-kso1ND1YBBczONhdSqh7Vrw8hVqElbsOwqRu8Ktb-YqIsLPDUYesLBdo3IwZ_oPX_vFxT4GFWjNoNx_5vGSMpJfqDHnDNZcdm0opKSvJsFnHaHiDtEqXwOkDEtkX1gP/s1600/IMG-20230113-WA0042.jpg" width="320"></a></div><div><br></div>Menurut juara favorit kepala madrasah berprestasi Kementerian Agama 2022 ini, intoleransi perlu dicegah sejak dini. Sekolah harus berani mengambil inisiatif mempertemukan siswa/inya dengan kelompok lain. </div><div><br></div><div>Hal senada disampaikan Jecqeline Adriana, kepala sekolah SMP Kristen Petra. Ia menekankan pentingnya kemerdekaan dalam pembelajaran toleransi kepada semua siswa. "Kan sekarang sedanga digalakkan Merdeka Belajar oleh Kemdikbud. Kita perlu menyambut baik. Pertemuan siswa/i Kristen-Islam adalah bagian dari hal itu,"</div><div><br></div><div>Sebelum membatik bersama, semua siswa peserta diajak menyusuri lebih dekat komplek SD Kristen Petra, termasuk gereja yang ada di dekatnya. Di sana, siswa/i Islam mendapat kesempatan mengetahui lebih jauh tentang kekristenan dan gereja.</div><div><br></div><div>Praktek membatik dilakukan secara bersama-sama. Satu kain dikerjakan 5-6 siswa/i berbeda agama. Mereka bersatu menghasilkan karya bersama. </div><div><br></div><div>"Saya senang dengan kegiatan seperti ini. Dapat teman baru dari sekolah Islam," kata Kezia Duma, siswi kelas 7 SMP Kristen Petra. Kezia berkelompok dengan, Adinda Lathifaturrohmah, siswi MTs Al-Hikam. Keduanya saling membantu menghasilkan motif batik berkompetisi dengan kelompok lain. </div><div><br></div><div>Saat memberikan sambutan, Sumrambah, wakil bupati Jombang, mengapresiasi kegiatan ini sebagai upaya pendidikan progresif. Menurutnya, setiap agama mengajarkankan nilai toleransi yang perlu diimplementasikan, salah satunya, melalui kegiatan sekolah. </div><div><br></div><div>"Kita perlu merawat nilai toleransi yang telah diwariskan Gus Dur. Apapun identitas kita, kita adalah saudara. Kita harus bergotong royong," papar Sumrambah.</div><div><br></div><div>Pada saat yang sama, Aan Anshori, aktifis GUSDURian Jombang, menyatakan kegiatan seperti ini akan terus dilaksanakan. Mempertemukan siswa antaragama adalah kunci menanamkan toleransi. Baginya toleransi tidak bisa hanya dikhotbahkan tanpa keteladanan.</div><div><br></div><div>Kegiatan ini juga dihadiri perwakikan Dinas Pendidikan Jombang, Kantor Kementerian Agama, dan perwakilan organisasi lintasagama di Jombang.(*/aan)</div>

PANTANG MUNDUR MENELADANI GUS DUR

Rilis Membatik Toleransi dalam rangka Haul Gus Dur 13 Jombang Sebanyak 80 siswa/i Islam dan Kristen Jombang berkolaborasi membatik bersama d...

Read more »