0

Oleh M. Yusuf

Saat itu, kubersua dengan seorang lelaki muda, ia berperawakan bongsor, sedikit cibi pipinya. Mengenakan pakaian ketat, sesuai bentuk tubuhnya, pun melilit syal di lehernya. Ia mendekatiku dan mengulurkan tangannya, tanda pekenalan awal kami dimulai.

Ialah Nandha Bece (samaran), mahasiswa IPB semester lima. Aku memanggilnya Bece, kami dipertemukan dalam acara yang menurutku tergolong akeren, IPB Goes To Field (IGTF).

Kami merupakan anggota yang sama dalam pelatihan dan pengembangan budidaya padi organik di kabupaten Ngawi propinsi Jawa Timur. Kampusku dan kampusnya menjalin kerjasama dalam hal ini, sehingga kami bersama interaksi kepada masyarakat, dan saling berbagi pengetahuan satu sama lain.

Bulan tak kuasa menampakkan senyumnya, malu dengan serbuan mendung. Menutup sisa mega merah. Tiada bisa melihat peralihan sang surya yang kembali berkandang. Burung-burungpun tak tahu kapan waktu pulang, tersesat kemana arah jalan bersarang, terlalu gelap, terlalu pekat, tiada beda antara siang dan petang.

Malam itu sengaja ia mengajakku tidur bersama dalam satu kamar. Ia mengetahui kalau jurusan kuliahku konseling, lantas ia ceritakan pengalamannya mengenai seorang gay.

Aku sedikit terbelalak ketika ia menceritakan pengalamannya, ia di jauhi teman satu kelas gara-gara  berelasi dengan si Tio. Tio merupakan temannya sejurusan, namun mereka jarang mengambil mata kuliah seruangan, paling satu atau dua mata kuliah yang bersamaan.

Mereka jarang ketemu di kelas, namun sering keluar dan jalan-jalan bersama. Tio memiliki tinggi badan 172 cm, dan berat badan sekitar 64 kg, ideal bagi anak cowok. Hobinya ngegym, sudah bisa dibayangkan bagaimana bentuk tubuhnya. Kebetulan ada juga darah Tionghoa yang mengalir pada tubuhnya, semakin bisa dibayangkan bagaimana penampilan sekaligus perawakannya.

Ia berhubungan baik tidak seperti kebanyakan teman, setiap hari ketemu selalu menyapa, dan saling berpelukan. Memang si Bece juga anaknya sedikit agak lentur (melambai) -- suatu pemandangan yang tabu bagi lelaki kebanyakan namun tidak bagi keduanya. Saling menyandarkan kepala pada masing-masing bahu, saling bermanja persis seperti seorang kekasih ketika memadu kasih.

Ia tidak tahu kalau si Tio sebenarnya sudah terkena penyakit kelamin, tiap hari ia memakai celana dalam rangkap tiga untuk menahan cairan yang keluar dari alat kelaminnya. Cairan itu seperti nanah, kental berwarna putih agak keclokatan, dengan aroma yang begitu menyengat, sudah tidak bisa dibayangkan.

Kejadian ini secara cepat menyebar ke seluruh departemen / fakultas.
Teman satu kelas mengira itu akibat hubungan dari keduanya, namun si Bece mengaku belum pernah melakukan hal itu dengan Tio, ia merasa terjebak dalam kasus ini. Dikatain ini dan itu sampai beberapa bulan. Ia bingung apa yang harus ia lakukan.

Tio pun tidak mau mengklarifikasi apa penyebabnya, ia hanya melansir bahwa ini akibat ia berhubungan di luar batas kepada selainnya. Ujung-ujungnya ia mencari pelampiasan kepada si Bece.
Aku sempat berfikir najis awalnya, tidak habis fikir kenapa ada orang yang seperti itu. Aku juga seorang homophobia, phobia itu terjadi semenjak aku berada di pesantren, istilah anak pesantren menyebutya meril. Malam-malam ia beraksi, dan sesekali melakukan orientasi seksualnya.

Namun aku juga sempet kasihan kepada Bece yang tidak tahu harus berbuat apa. Aku berfikir selepas itu, bahwa dunia yang selama ini aku benci ternyata banyak di sekelilingku. Itulah salah satu diskriminasi yang pernah aku alami dan kurasakan kepada orang-orang yang spesial selain aku.

Post a Comment

 
Top