0

Oleh Rahma

Indonesia dengan jargon Bhinneka Tunggal Ika-nya memang telah menggambarkan adanya perbedaan sejak zaman dahulu kala. Jargon ini lahir dalam keadaan harmonis antara Siwa-Buddha pada masa Majapahit. Pada masa itu perbedaan bukanlah sesuatu yang mengkhawatirkan/menakutkan, akan tetapi sebuah kondisi yang damai dalam setiap kehidupan.

Sejauh ini tidak pernah dicatatkan dalam manuskrip-manuskrip jawa adanya perang antar agama dalam masa itu. Situasi keragaman yang seperti masa majapahitlah yang kami rindukan. Keberagaman tanpa diskriminasi, intervensi maupun stereotype yang kurang mengenakkan.

Menengok penjelasan di atas, sangat berbeda dengan keadaan keberagaman sekarang. Perbedaan yang seharusnya menjadi kekayaan khazanah bangsa sekarang menjadi kebencian antar kelompok yang luar biasa. Situasi keberagaman Indonesia masa kini yang harusnya bisa menjadi tonggak atau fondasi peradaban bangsa sekarang malah menjadi rasisme antargolongan yang mengakibatkan perpecahan antar kelompok seagama maupun beda agama.

Seperti kondisi masyarakat Hindu di sebuah kabupaten di Jawa Timur selatan, Tulungagung namanya. Di Tulungagung masyarakat yang memeluk agama hindu sangat minoritas. Mereka juga hanya mempunyai satu tempat ibadah (pura), dimana pura itu mungkin hanya digunakan pada saat sembahyang di hari-hari besar atau jika sedang acara ritual.

Saya sering berkunjung ke pura tersebut yang berlokasi di lereng pegunungan sebelah selatan kabupaten Tulungagung. Beberapa tahun yang lalu Pura ini belum diresmikan untuk tempat beribadah oleh pemerintah, tentu saja, dengan beberapa dalih dan alasan.

Ketika orang-orang Hindu mengurus surat-surat resmi ke pihak pemerintah ini sangat dipersulit dengan berbagai alasan tertentu. Hal ini juga dimungkinkan karena pihak yang bekerja di Instansi terkait mayoritas adalah muslim sehingga ada rasa yang lebih menunggulkan kemuslimannya dan mempersulit semua terkait non muslim.

Sangat miris memang ketika melihat saudara kita yang beribadah namun tempat ia melakukan peribadatan belum mendapat izin  resmi dari pemerintah. Namun, sejauh saya mengikuti sembahyang mereka saya merasa aman dan tenteram tidak ada gangguan dari oknum-oknum tertentu.

Mungkin hal ini juga didorong oleh sikap masyarakat sekitar Pura yang juga turut membantu merawat pura tersebut. Masyarakat Hindu di Tulungagung sering melakukan kegiatan bersama seluruh masyarakat lintas iman dalam gerakan sosialnya seperti penanaman pohon, perayaan Malam 1 Suro dan lain sebagainya.
Sependek saya hidup bersama mereka dalam kesehariannya, saya merasa tidak ada sesuatu hal yang membuat saya khawatir atau bahkan takut terhadap mereka.

Bagi saya semua masyarakat Indonesia adalah saudara, tidak ada yang bukan dikatakan saudara. Hidupku bersama masyarakat hindu di Tulungagung telah berlangsung dalam bingkai keberagaman. Tidak ada yang salah dalam kehidupan ataupun ajaran mereka. Yang berada dalam kacamataku adalah mereka yang selalu have fun dan tidak menampakkan permasalahannya. []

Post a Comment

 
Top