0

Oleh: Muhammad Saiful Umam

Saya sungguh bahagia dan bersyukur sekali atas kesempatan yang berbahagia ini, yaitu kesempatan menjadi bagian dari mahasiswa yang tergabung dalam interfaith youth diversity cadre training. Sebuah acara yg digagas oiki dan gusdurian jombang. Dimana acara ini memberikan beasiswa bagi mahasiswa2 di universitas  yang berada di Jawa untuk menimba pengetahuan dan mengeruk pengalaman tentang isu2 lintas iman dan kemajemukan. Dan yg lebih membahagiakan ialah, ternyata kawan2 saya ini bukan hanya berasal dr Jawa saja, melainkan dari berbagai pulau di Nusantara tentu dengan keragaman suku, ras dan keyakinan masing2.

Acara ini dihelat di tempat sakral nan suci. Sebuah kelentheng yang menyandang sebagai yang tertua di Jatim. Tentu hal ini sangat menarik, mengingat jika dilihat secara geografis. Gudo sebagai tempat dimana bangunan sarat sejarah ini berdiri, adalah daerah yg mayoritas penduduknya bukan ummat Khonghucu.

Justru Gudo secara kuantitas didominasi muslim. Akan tetapi klenteng Hong Sang Khong tetap berdiri tegak, megah dan juga ramah bagi siapa saja tanpa memilih dan memilah latar belakang pengunjung yg datang.

Para "takmir" klentheng di sini sangat welcome bagi sesiapa saja yg hendak bertamu, baik untuk tujuan ibadah bagi pemeluk agamanya dan -- yang sangat menarik -- bagi umat agama apapun untuk meminta air berkat yg acapkali diminta oleh warga yg meminta obat atas penyakit yg dideritanya. Luar biasa bukan? Ini tentu sebuah preseden yg adiluhung.

Acara dibuka dengan perkenalan dan mas Aan sebagai pemateri langsung menghentak dengan tugas yg ia berikan. Pemateri sok cool ini, meminta kami untuk menulis apa yg ada di kepala kami mengenai agama di luar agama yg kami yakini.

Jelas saya sebagai muslim menjawab bahwa yg selain kami adalah kafir. Sebab itu ialah dogma yg saya kunyah semenjak unyu hingga sekarang ini.

Akan tetapi saya juga tidak nyaman sebetulnya, jika term ini kemudian menjadi semacam peluru yg senantiasa terpasang di pistol kita yg bernama lisan. Menurut saya, setiap keyakinan seseorang pastilah bersifat absolut bagi dirinya sendiri. Juga di tiap agama, tentu mempunyai term, sebutan  atau istilah untuk menyebut mereka yg di luar agamanya masing2.

Hingga menurut saya, tidaklah etis jika term tersebut dengan mudah kita lesakkan pada sesiapa yg kita kehendaki secara verbalistik.

Mengapa demikian?
Sebab kafir adalah soal keimanan dan keyakinan. Sifatnya amatlah implisit dan tak kasat mata. Urusannya bersinggungan dengan hati dan kemantapan nilai yg kita yakini. Oleh karenanya. Apa yg sifatnya se intim itu tidaklah relevan jika kemudian label tersebut (baca:kafir) dengan mudah kita ungkap di mulut terlebih sembari menunjuk batang hidung seseorang. Bukankah yang mengetahui keimanan dan kesempurnaan iman seseorang hanyalah Tuhan? Bukankah sang empunya agama dan layak diimani hanyalah Tuhan?

Maka jika belum suara Tuhan sendiri yg menyebut seseorang ialah kafir. Maka jangan lancang mendahuluiNya, wahai kalian yg bukan pemilik sah atas objek keimanan!

Jombang, 18-09-2017

Post a Comment

 
Top