Dan yang paling membuatku merasa malu, ternyata rumah ibadah tersebut hanya berjarak 2 km dari rumahku.
Senin, 5 April, jam 09:00 aku mengayuh sepedaku menuju rute yang biasanya aku lewati gowes, di kawasan Jl. Patriot Kepuhkembang Peterongan. Jaraknya cukup dekat dari rumahku.
Tujuanku kali ini adalah menemukan rumah ibadah/gereja HKBP Jombang yang dilayani Pdt. Raymond Sitorus.
Sehari sebelumnya, saat mendatangi pesta perkawinan anaknya Mbak Estu, Ketua DPC PDIP Jombang, dan bertemu beberap elit Jombang, aku mendapat informasi bahwa gereja HKBP Jombang tengah bermasalah. Ditolak beberapa warga dan akhirnya tidak bisa digunakan beribadah.
Beberapa minggu sebelum itu, aku dan Pdt. raymond telah saling berkirim WA. Dia menjapriku memperkenalkan diri dan aku menyambut gembira. Kami bahkan janjian ngopi bareng namun belum juga terlaksana.
Dalam WA tersebut, tidak sedikitpun Raymond menyinggung masalah rumah ibadahnya.
Maka aku putuskan untuk datang dan bersilaturahmi ke rumah ibadah yang dipermasalahkan beberapa warga tersebut.
Aku sempat sedikit tersasar karena foto bangunan cukup berbeda dengan yang ada di Google Map.
Raymond menyambutku di depan pagar setelah aku telpon. Ia yang tinggal sendirian di rumah cukup besar itu kemudian membawaku masuk hingga ruang ibadah yang tampak lengang.
"Sebelum dilarang, kami biasanya menggunakan ruang ini untuk ibadah," katanya.
Ia mengaku awalnya warga tidak keberatan dengan keberadaan HKBP. Namun situasinya berubah. Ia heran dan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Belakangan, pelarangan penggunaan rumah tersebut makin meluas, tidak hanya soal ibadah minggua namun juga mencakup ibadah penghiburan (kematian) maupun belajar Alkitab dan Sidi..
HKBP Jombang juga sempat mendapatkan teror. Raymond mengaku rumah ibadahnya kerap dilempari batu saat malam hari. Pelakunya menghilang di kegelapan saat dikejar. Hingga saat ini pelakunya belum tertangkap.
Padahal, menurut aturan, pemerintah wajib menyediakan tempat ibadah bagi kelompok minoritas yang masih kesulitan membangun rumah ibadahnya.
Kelompok itu tentu bukan kelompokku. Sebab, kelompokku adalah "pemilik," kabupaten ini. Kami bisa membangun masjid dan mushalla sebanyak yang kami mau --tanpa perlu was-was soal perijinan, tanpa perlu merasa malu tidak taat aturan. Kami bahkan tidak kesulitan mengakses dana pubik (APBD) untuk hal itu.
Mari kita lihat, sejauhmana persoalan HKBP ini akan menemukan takdirnya; apakah ia akan menjadi satu-satunya dari 100 lebih rumah ibadah Kristiani yang diganjal di Kota Santri --tempat bersemayamnya kampiun pluralisme Gus Dur. (Aan Anshori)
Post a Comment