0

Oleh Hasan Dani

Saat ini, ketakutan terbesarku berasal dari diriku sendiri, aku takut bahwa aku bertahan dari ketidak samaan, bertahan dari keberbedaan dan heterogenitas, bukan karena aku yang mempertahankan.
Ini adalah perasaan yang memang abstark namun.. aku masih bisa menjelaskannya.

Bertahun tahun terlahir dan tumbuh serta berkembang biak dari keluarga keyakinan muslim yang taat memegang tradisi muslim yang berakulturasi, jujur saja, aku jarang, bahkan tak pernah!! Tak pernah mendapatkan edukasi yang menurutku itu penting (konteks saat ini), kemudian kalian akan bertanya-tanya, apa edukasi yang aku maksud?

Ya.. edukasi itu adalah edukasi dalam tradisi keislaman kita sebut dengan "tarbiyatul akhlaq" atau dalam bahasa kefilsafatan ialah "etika", lalu apa yang kurang? Yang kurang bagiku dari etika itu adalah etika kepada liyan, ya.. karena selama duduk dibangku pembelajaran aku selalu di cekoki akhlaq/etika kepada sesama. Memang ada, pendidikan terhadap lain keyakinan, kelompok, atau apalah itu nyata ada, namun bagiku itu masih kurang.

Makanya dalam tradisi keilmuan ku ada 2 level manusia bisa disebut sebagai ummat yang cerdas dan yang kurang cerdas, 1- taklifi yaitu untuk sebagian orang yang, mengikuti ajaran atau pendapat dari orang yang mengeluarkan pendapat atau yang lebih tau, 2- ijtihadi adalah fase yang bagi seluruh muslim adalah fase kemapanan daya IQ dan SQ seseorang dianggap mapan sebab dia berarti telah mampu menelurkan gagasan dan pemikirannya yang bagus hingga bisa dijadikan sebuah referensi bagi yang awam.

We must back pada ketiadaan "edukasi" itu kembali. Bahwa ketiadaan itu mungkin bagiku disebabkan okeh beberapa faktor; 1. Faktor dogma agama yang mendominasi dan dominan. 2. Naifnya mindset bahwa kita hidup tidak hanya dalam satu golongan yang satu, tapi kita bernafas dalam dan bersama entitas-entitas yang lain yang juga ingin eksistensinya ingin diakui. 3. Separatisme agamawan.

Jika aku seperti di atas yang telah aku ceritakan, maka banyak kemungkinan aku akan lebih nyaman dengan dogma agamaku dan selalu berda dalam lingkaran setan taklif buta, atau aku bertahan dalam paham yang itu menjurus pada satu klaim privatisasi kebenaran. Maka seyogyanyalah aku seharusnya membunuh, bahkan memerangi rasa tinggal tunggal hidupku yang Pdt. Ioanes Rahmat sebut adalah sebagai bagian dari subatom sistem alam ini.

Lalu kemudian aku menerima "kutukan" keras, saat aku mulai bisa perlahan belajar akan aneka ragam hayati, flora, fauna, bahkan agama sekalipun.

Pembelajaran ini dimulai sejak bangku kuliah, dimana aku mulai mau dan ingin menerima orang/kelompok/golongan yang mereka memang benar - benar berbeda dari diri dan golonganku!.

Moment yang paling tepat aku sampaikan melalui oral pikiran ini adalah saat aku mendapatkan kawan kawan dan teman baru yang berbeda agama dan keyakinan, ternyata apa! -Rasanya terharu-
Mereka tak sekalipun menilai aku sebagai kawan barunya dari sisi agama dan etnis, mereka malah mungkin pandanganku merasa nyaman berbaur dan bercanda bersama saling tukar pikiran dan pengetahuan dalam satu moment ini.

Bisa kalian bayangkan! Aku yang lahir dan besar dari keluarga yang intoleran (sampai saat ini) aku berani mengambil langkah dan gerakan dimana resiko dan konsekuensi moral sosial membentang seluasnya untuk hanya mengenal apa arti dari "Perbedaan"

Sekian...

Post a Comment

 
Top