0

Oleh: Sivana Zizi M

"..Bumi Pertiwi telah mengandung dan melahirkan beragam anak anaknya. Dan salah satu dari mereka adalah keragaman budaya, ras, agama, dan lain lain.."

Hening dan senyap rasanya ketika langkahku berpijak menyapa jalanan Jombang, dengan berbekal tiket kereta api dan GPS, aku menjelajahi teknologi kecil yang disebut smartphone dengan mencari cakrawala baru untuk tempat yang akan kusinggahi nanti, yakni Klenteng Hong San Kiong, sebuah tempat ibadah yang menyediakan tempat untuk ritual penyembahan agama Konghucu, namun memiliki sisi dinamism dan pluralism untuk menampung kami sebagai Muslim, Budha, Hindu, Kristen, Protestan, dan apapun itu.

Tepat pukul 21:30 Bapak tukang becak itu mengantar kami bertiga di depan Klenteng Hong San Kiong. Sebuah parkiran yang senyap, lorong yang hening, dan cahaya terang namun kosong yang kutemukan di lorong depan pintu masuk klenteng. Rupanya setelah membuka grup WA, sebelum kedatanganku dan dua temanku, teman-teman Gusdurian sebelumku ternyata sudah keluar untuk ngopi dan kongkow bersama.

Sekelumit rasa yang mulai muncul di dalam benakku, anehkah aku datang ke tempat ini kembali? Jika sebelumnya aku menapaki Kehidupan dan keragaman tempat ibadah agamawan untuk membuat film. Kali ini aku harus menata ulang langkah dan niatku lebih lama di alam bawah sadar bahwa kehadiran jasad dan ruhku di sini adalah untuk mengabdikan diri kepada sang Maha Pemilik Ilmu untuk mencari ilmu dari siapapun, mengkhidmatkan diri kepada sang Pemilik Ilmu dengan mencarinya, menggalinya, dari sang Penyebar Ilmu.

Tiba-tiba fokusku pecah ketika melihat tiga orang yang tersenyum sembari mempersilahkan kedatanganku.Ternyata beliau adalah salah satu peserta yang berumur senior. Setelah selesai dengan kekosongan yang sedari tadi bersarang dalam fikiranku. Aku sedikit lega, ternyata benar ini klentengnya, ternyata aku tidak salah alamat. Dan Alhamdulillah sudah sampai.

Malam pun berlalu, dan pagi pun menampakkan senyum dan cercah semangatnya. Riangnya matahari seriang cahaya dalam semangat hati kami untuk mengkhidmadkan diri pada ilmu.

Diskusi demi diskusi, acara demi acara, perkenalan demi perkenalan membuat kami tampak hangat dan tidak merasa asing satu sama lain. Seakan tidak ada minoritas dan mayoritas ketika kami bersama -- baik itu yang berasal dari Jawa, Flores, Lampung. Tidak ada canggung dan takut maupun malu bagi kami untuk saling membaur dan menyapa.

Namun di pagi itu, tiba tiba senyumku memucat, hatiku berdetak tak semestinya. Ada tamparan keras menghantam perasaanku. Sebuah kata yang menampar hatiku KAFIR? NERAKA?

Sebuah kata yang ditawarkan Gus Aan pada peserta training Interfaith kali ini adalah bagaimana wajah Kristen bagi kalian?
Ada suatu hal yang mencengangkan bagiku, yaitu Kristen ahli NERAKA.
Siapakah diriku? Siapakah dirimu? Surga siapakah? Neraka siapakah? Mengapa menghakimi dengan mudahnya? Bagaimanakah akhir hidup kita?

Tidak ada yang tahu, barangkali yang hari ini kafir, dalam akhir hidupnya bersyahadat menjadi Muslim, pun sebaliknya. Karena hati kita sangatlah mudah digenggam dan  dibolak-balikan sang Maha Membolak-balikan.

Yang kuingat pesan Sayyidina Ali pada kami sebagai Muslim adalah saudaramu bukan sesama muslim adalah saudaramu sesama manusia.

Lalu mengapa penghakiman tentang Neraka seolah mendiskriminasi Non Muslim --yang merupakan minoritas dari warga Indonesia?

Sebagai sesama manusia yang hidup dalam negara penuh dengan pluralisme, argumentasi juga opini publik yang selalu menyudutkan kaum Non Muslim seolah menjadi momok bagi kami untuk berteman, bertukar pikiran, berbaur dan sebagainya.
Padahal dalam aplikasinya, kita hidup dan berdiri di bawah naungan ibu pertiwi, dalam kandungan dan rahim yang sama. Disatukan atas nama sesama bangsa Negara (ukhuwah wathoniah) diikat dalam tali sesama manusia (ukhuwah insaniyah) dilindungi dalam benteng hukum NKRI yang berdaulat utuh.

Teropong apakah yang digunakan untuk menilai hal ini? Teropong kebenaran dari sisi manakah yang digunakan untuk menjudge hal ini?

Aku berpuasa, aku sholat, aku syahadat, akupun berzakat. Namun apakah aku sudah pantas disebut Muslim yg baik? Berhakkah surga bagiku?

Dengan pertanyaan itulah, aku tak berani menghakimi manusia lain menjadi ahli neraka. Meski dalam kitab klasik ada hadits seperti itu sekalipun.

Dengan merasa hina dina itulah, aku mampu membuka pandangan dan cakrawala baru untuk mengenal dengan beragam perbedaan. Maka sudah seharusnya semangat pluralisme dan keteguhan memeluk agama dengan keyakinan yang benar merangkul semua aspek agama. Sehingga tidak ada hierarki maupun derajat yang dianggap rendah maupun dianggap tinggi.

Tidak ada mayoritas dan minoritas dalam hal pemeluk agama, karena agamaku dan agamamu akan terorganisir menjadi negara kita. Sebagai generasi muda, acara Interfaith Youth Diversity seperti hari ini menjadi hal yang harus lebih sering diadakan agar wadah pemuda bangsa mendapat lebih banyak edukasi untuk bertukar pikiran dengan LIYAN.

Post a Comment

 
Top