0

Oleh Dhea Alfina Damarussolah

Hidup adalah pilihan, bukan pilihan adalah hidup. Keanekaragaman adalah keindahan, bukan kesenjangan. Jika kita melangkah jauh, membuka mata lebih lebar, pasti keniscayaan suatu akan terbuka. Hal itu terjadi pada saya, dalam beberapa peristiwa yang kini menjadi guru terhebat dalam hidup.
         
Pertama, di desa saya terdapat satu keluarga yang memilih untuk menjadi Islam yang berbeda dari lingkungannya, yang mayoritas NU. Mereka keluarga Ahmadiyah. Dalam kehidupan sehari-hari ,mereka di pandang sebagai keluarga yang menutup diri dan tidak banyak masyarakat yang bersosialisasi sebagaimana mestinya dengan mereka. Melihat hal itu, saya merasa prihatin. Apakah hanya karna berbeda pilihan, membuat masyarakat mayoritas mengklaim sedemikian rupa kepada masyarakat minoritas.

Kedua, terjadi lagi kepada saya ketika saya mulai berkuliah di salah satu perguruan tinggi Islam Negeri daerah sekitar. Saya tergabung dalam organisasi yang minoritas di kampus. Dan itu membuat kami sering dinilai sebagai aliran keras, sesat, dan anarkis.

Banyak oknum yang dengan berbagai dalih, selalu memojokkan nama kami hingga terlihat seram khususnya bagi mahasiswa baru. Mirisnya, bukan sekedar mahasiswa yang bersikap demikian. Tapi, beberapa dosen dan jajarannya pun juga mengklaim kami terhadap para mahasiswa yang diampunya, untuk tidak bergabung dengan kami.

Hingga mereka kaum mayoritas menggebu-gebu untuk ingin menyingkirkan keberadaan kami. Padahal, apa yang mereka nilai selama ini tidaklah seperti apa yang mereka pikirkan. Kami sebagai obyek dalam hal tersebut turut prihatin atas prilaku beberapa saudara kami.

Ada apa dengan mereka yang terlalu mendiskriminasi kami? Bahkan, yang paling menyesakkan, mereka tidak sama sekali mengizinkan kami untuk bisa duduk di jabatan kampus, mulai dari ketua HMJ, DEMA/BEM, hingga menjadi dosen di kampus.

Dengan peristiwa tersebut saya berpikir, sebenarnya apa yang dipikirkan mereka dengan sikap tersebut. Jika dalam ruang lingkup kecil saja sudah intoleran apalagi jika di kehidupan masyarakat nanti.  Mau jadi apa Indonesia ini jika agen of change nya saja tidak bisa memahami jiwa pluralisme secara nyata.

Ketiga, terjadi dalam keluarga teman saya yang memiliki latar belakang keluarga pesantren. Dia dididik untuk menjadi seorang muslim sejati. Dia pernah bercerita kepada saya tentang keadaan keluarganya yang sangat menjunjung tinggi nilai nilai agamis. Ia bercerita, ibunya sangat fanatik terhadap seorang perempuan yang berpakaian menggunakan celana yang dinilai sebagai jiwa para lelaki. Baginya perempuan bercelana adalah hal yang memalukan keluarga sehingga harus disingkirkan jauh jauh. Karena ibunya telah mendoktin demikian, maka yang terjadi adalah semua orang terdekatnya tidak akan melakukan hal tersebut.

Mendengar hal tersebut,sejujurnya saya juga turut bersedih. Memang, dalam syari'at diajarkan bahwa seorang perempuan muslim haruslah bepakaian yang syar'i dan tidak menyerupai laki laki. Namun, hati saya mengatakan apa yang telah dilakukan ibu teman saya sudah cukup jauh melangkah dari kata menerima keanekaragaman manusia dan terlalu fanatik .

Dari tiga persoalan tersebut, membuat saya untuk memutuskan melangkah dari zona nyaman atas doktrin peradaban yang selama ini telah membeludak di kalangan pendidikan islami, dan sudah menjadi kebiasaan khususnya lingkungan sekitar tentang sifat anti golongan terhadap golongan lain dan fanatik terhadap apapun yang melenceng dari syari'at yang dipahami secara kontekstual.

Post a Comment

 
Top