0

Oleh: Dyah Monika S

Aku tak akan menikah, selamanya,karena aku benci manusia

Anime, kartun bergerak hasil imajinasi Negeri Matahari ini nampaknya telah memberikan pengaruh bagi kehidupan seseorang, termasuk bagi Elang, seorang pria 20 tahun yang saat ini tengah menimba ilmu di salah satu kampus di kota sejuk Malang.

Ia seperti manusia biasa, wajahnya tak beda dengan pria lainnya. Perawakannya tinggi, nampak gagah,dan kritis dalam berpandangan. Sorot matanya selalu memancarkan garis keingintahuan. Seperti namanya, sudut matanya yang kalup bak burung elang, selalu menimbulkan gelak heran bagi yang melihatnya.

Namun, entah mengapa orang-orang di sekitar enggan dekat dengannya.  "Elang, beneran kamu ndak mau nikah?" tanya Devi suatu saat.

"Iya, ngapain aku nikah, manusia itu sama, selalu membuat orang tersakiti. Lebih baik aku hidup dengan cita-citaku, dan terus berimajinasi, itu lebih membuatku bahagia daripada hidup dengan manusia. Menurutku itu hal yang melelahkan."begitu katanya.

Ya, menonton anime sudah menjadi kegiatan wajib yang menyelimuti rantai kegiatannya. Pagi, siang, sore, malam hingga pagi lagi. Baginya, anime adalah oksigen yang memberikannya ruang untuk bernafas, berimajinasi, bertumpa, dan bercengkerama dengan imajinasinya.

Ketika orang-orang sekitar menganggapnya sebagai makhluk abnormal, Elang dengan santai tak menghiraukan mereka semua. Yang ia fikirkan hanyalah bagaimana dia merasa nyaman, dan bagaimana ia merasakan hangatnya kasih sayang, meskipun hanya dalam dunia bayangannya, dunia anime.

Lantas, apa sesungguhnya yang membuat sosok elang menjadi seperti itu?

"Aku sayang mamaku, dan aku tidak ingin membuat mama menangis, apalagi tersakiti. sebenarnya, satu satunya makhluk yang ada di dunia ini semuanya sama. Mereka selalu menyakiti sesamanya," ujarnya.

Memori abu-abu tentang Perceraian sang mama dengan papa nya nampaknya tak kan pernah hilang dari fikirannya dan akan menjadi album biru dalam hidupnya. Elang, yang saat itu masib duduk di kelas 4 SD merasa terpukul atas perceraian papa dan mamanya, yang akhirnya membuat mamanya harus menjadi single parent untuk merawatnya.

Karena masih kecil, ia merasa bungkam, tak tahu akan apa yang harus dilakukkannya. Sejak saat itulah, rasa kasih yang ia miliki ketika mutiara masih utuh tersusun melingkar di lubuknya tiba tiba mulai hilang berpendar dimakan perceraian.

Depresi akut menjadikan dirinya sosok yang "aneh", tak selayaknya manusia pada umumnya. Setiap hari, dia selalu menjadikan anime sebagai teman hidupnya. Gaya bahasa yang rapi bak dialek kata pada komik-komik jepang, ditambah gaya bicaranya yang luwes bak tokoh anime membuat orang-orang disekitarnya merasa bahwa "Elang adalah orang yang gila",

Hingga............... 9 tahun kemudian.
Ketika gerbang kampus pendidikan menyambutnya, suasana nya masih saja tetap sama. Orang-orang menganggapnya abnormal, mencandainya dengan kata-kata yang tak patut dan mengejek. Parahnya, beberapa dosen sebagian tak mau menerima sikapnya yang seperti anak kecil.

Saat itu, aku sekelas dengannya. Aku tak bisa berbuat apa-apa. mulutku bungkam, tapi hatiku terus saja ingin berbicara. Masih teringat dengan jelas ketika presentasi, waktu itu pelajaran speaking, dengan tugas: presentation about who are you.

Dalam tugas ini, dia menjelaskan tentang dirinya, tentang anime, dan tentang impian-impiannya. Dia menyodorkan beberapa anime pilihan yang menurutnya bagus, kemudian ia tirukan adegan yang membuatnya termotivasi untuk menjalani hidup.

Anime yang ia tunjukkan cukup menarik dan sarat akan motivasi. Ditambah caranya menyampaikan; renyah dan tak membosankan. Pronounciationnya bagus, jelas, dan lancar. Namun sekali lagi, beberapa teman malah menertawakannya dan membuatnya layaknya "orang aneh".

Lagi, ketika Jurusan mengadakan sebuah lomba yang diperuntukkan bagi mahasiswa baru, kebetulan saat itu aku dan Elang terpilih sebagai delegasi kelas, aku di lomba speech, dan dia di story telling.

Dia berkata padaku, "Ganbattene, Momo chan," begitu dia memanggilku. Akupun tersenyum. aku hanya tak bisa mengira, mengapa orang-orang begitu buta melihat sisi dirinya. Elang juga manusia, dan semua orang tahu itu.

Pernah pada saat itu, ketika pelajaran sastra, Elang membuat gaduh tak karuan karena dia ingin menjelaskan pendapatnya, namun lemparan keras berupa kata-kata kasar dari teman-temannya membuat ia marah, seolah ia tak bisa diterima, seolah tiada satupun kata-katanya yang bermakna.

Ia pun dikeluarkan dari kelas dengan alasan telah mengganggu proses belajar dan mengajar didalam kelas.
Tidak, aku tidak akan berkomentar apa-apa. Aku hanya takut ketika aku mendebat masalah itu, aku akan turut dikeluarkan dari kelas. Aku hanya bisa diam dengan hati teriris, tanpa tahu dengan belati apa aku dibuat miris.

Lalu bagaimana dengan Elang? apakah dia baik baik saja? Marahkah dia? Apakah dia kecewa? Apakah hatinya menangis? Entahlah, hanya dia dan Tuhan yang tahu jawabannya.

Lalu, bagaimana dengan kawan-kawannya? Oh tidak, apakah dia punya kawan? Nampaknya itu sebuah pertanyaan yang ringan bagi seorang manusia, tapi entah menurutnya.

Waktu begitu cepat berlalu, sampai akhirnya Elang tak lagi satu kelas denganku. Entah bagaimana kini keadannya, aku tak sering tahu. Yang kutahu, dia selalu berjalan sendiri setiap waktu, entah itu dari arah utara, atau dari arah lainnya.

"Apa yang kamu fikirkan ketika mendengar kata Elang?" tanyaku pada beberapa teman. Aneh, absurd, dan beberapa teman lainnya mencercai dengan tawa yang bergelak-gelak.

Iya, Tuhan selalu menyiapkan cara terbaik untuk setiap hamba dalam mendidiknya. Karena dengan terbentur, maka akan terbentuk. Kepribadian, impian, semangat juang, semuanya.

Elang adalah salah satu dari deret ke- (n) insan yang memilih untuk tetap dalam dunianya, tak peduli ia punya kawan atau tidak, tak peduli ia dijauhi dan dimaki, tak peduli ia dianggap abnormal, yang jelas ia tahu apa yang semestinya ia lakukan.

Baginya, anime adalah dunianya. Dunia yang dengan tangan terbuka menerimanya tatkala orang lain tak bisa menerimanya. Sejauh ia merasa nyaman dan bahagia, ia tak akan tenggelam dalam kesedihan yang menurutnya hanya akan menghabiskan energinya. Meskipun melenceng menurut orang lain --sekali lagi menurut orang lain-- namun ia takkan segan untuk terus melakukan pembaharuan, dalam belajarnya, dalam menjaga mamanya, satu-satunya peri kehidupan baginya.

"Aku tak peduli, dan aku tak mau tahu. Sudahlah, biarkan ini menjadi urusanku," begitulah mantera kehidupannya.

Aku? Aku tak tahu sesungguhnya apa arti abnormal menurut definisi. Pun dengan anggapan "aneh", "gila" ataupun kepribadian dan sikap lain yang membuat seseorang harus dijauhi. Yang aku tahu, selama makhluk hidup yang bernama manusia itu masih ada, ia tak melata, dan tidak mengeluarkan api layaknya naga, dia adalah manusia, seperti kita, sampai kapanpun. Ia sama-sama bernafas, sama-sama punya angan dan ingin, dan sama-sama membutuhkan kasih sayang.

Bingkai sosok Elang mungkin hanyalah seonggok ilalang yang akan mengering terbawa angin. Di luar sana masih ada banyak kisah minoritas yang entah mengapa dunia ini tak bergegas untuk mengentas. Saudara kita di Rohingya, diskriminasi Jemaat Ahmadiyah di Manislor, dan masih banyak kisah lainnya.

Nampaknya dunia ini akan kehabisan isu tatkala diskriminasi dan chauvinisme sudah tak lagi mendarah daging. Ketika rasa memiliki tak lagi ada, di situlah rasa iba akan menghilang jua.

Aku tak berfikir bahwa semua manusia seperti itu, cuma paradigma yang terpotret dari retina mata ini membentuk bayangan bahwa dunia ini nampaknya tengah penuh oleh manusia manusia yang menuhankan diri dengan merasa dirinyalah paling benar.

Semoga, itu hanya sesaat ya, berharap rotasi waktu akan melaju dengan sangat cepat hingga suatu saat kita akan bertemu dengan manusia yang berperikemanusiaan, yang dikamus akan tertulis sebagai sosok yang mampu menghargai perbedaan, dan menghormati kesamaan sebagi suatu kekuatan, Karena perbedaan itu indah.(*)

Ps. Kisah ini ditulis berdasarkan kisah nyata, dari teman sekelas ketika menjadi mahasiswa baru.

Post a Comment

 
Top