0

Oleh: Evi Sukarti

Pernahkah kita menelaah tentang minoritas dan mayoritas? Jika pernah mari kita telaah lebih dalam lagi tentang bagaimana dan seperti apa minoritas dan mayoritas itu.

Kita mulai dari minoritas Sejauh ini, minoritas menurut pendapat saya adalah sesuatu hal yang nampak namun berjumlah sedikit dari jumlah yang lain dan sedikit keabu-abuan. Mengapa saya katakan keabu-abuan, sedangkan mayoritas adalah sesuatu hal yang nampak dan berjumlah garis besar (banyak).

Contoh, sebagian orang Jawa dan muslim akan lebih merasa aman dengan lokasi tempat tinggalnya selama dia tetap berada di tanah jawa. Karena apa? Hampir keseluruhan tetangga, saudara, dan orang-orang di depan kita adalah sama. Keamanan masih terselimut tebal di kulit-kulit tipis kita.

Lalu, sejauh ini apakah Anda pernah merasakan bagaimana dengan saudara kita yg minoritas? Contohnya saja kita lihat dari pulai seberang, perantauan yang mempunyai keyakinan berbeda dari sebagian besar kita. Tentu saja perasaan mereka tidak akan senyaman dengan perasaan kita.
Bisa saja mereka merasa gundah, resah dan sebagainya.

Lalu, yang menarik, faktanya justru mayoritaslah yang merasa risih dengan keadaan minoritas.
Ini adalah contoh fakta dalam kehidupan yang pernah saya temui.

Kala itu saya berada di sebuah dusun terpencil yang terdapat di kota industri nomor 3 di Pulau Jawa. Awalnya kehidupan di masyarakat nampak hidup rukun  nyaman sehingga hubungan sosial antar tetanggapun bisa terjalin nyaman dan harmonis.

Namun kenyamanan dan keharmonisan tersebut mulai tampak terusik ketika ada sebuah keluarga yg berkeyakinan lain dari kebanyakan masyarakat hidup di antara kami. Semisal kasat mata sebenarnya mereka tidak mengganggu peribadatan orang muslim, tidak mengganggu budaya kami untuk memuji Tuhannya. Namun sedusun menjadi gempar dengan sendirinya karena hanya perbedaan keyakinan.

Apakah kita pernah termasuk dari salah satu mereka?

Bagi saya, semua agama adalah benar, semua agama tidak ada yang salah, semua agama mengajarkan kepada pengikutnya untuk saling menghormati, melakukan kebajikan -- baik untuk dirinya sendiri, lebih-lebih untuk orang lain.

Tidak ada agama yang mengajarkan kepada yang menyakininya untuk melakukan kejahatan! Mencuri misalnya! Atau yang sering kita alami dan kita sering anggap sepele, misalnya berbohong, menghina, menghakimi dan sejenisnya. Karena  sebenarnya tidak semua ilmu harus didapatkan lewat bangku sekolah sebab anak-anak butuh untuk bersosialisasi dengan masyarakat agar lebih mengenal keanekaragaman masyarakat. Entah dari ras, budaya maupun agama, sehingga kelak mereka akan lebih menghargai dan tahu bagaimana bersikap dan menjalani kehidupan di dalam perbedaan

Saya jadi tergelitik untuk mengomentari polemik full day school (FDS). Tidak salah dengan gagasan FDS, hanya saja akan ada problem baru di mana akan timbul kesenjangan jika diterapkan kepada seluruh pelajar SMP maupun SMA sederajat di Indonesia,karena sistem FDS memukul rata kurikulum tanpa memperdulikan ras, suku, budaya maupun agama.

Lalu, bagaimana jika pemerintah menerapkan program Madin (Madrasah Diniyyah) yang bisa kita katakan itu kurikulum atau program untuk mereka yg muslim. Lalu bagimana dengan mereka yg memiliki kepercayaan lain? Mau dikemanakan anak-anak dari ummat Kristiani anak-anak ummat Hindu, Buddha dan Katholik? Mana letak kebebasan beragama jika merekapun dituntut untuk bisa dan tahu sesuatu yg tidak mereka percayai? Sesuatu yg mereka tidak jadikan pedoman dalam hidup mereka, karena sejatinya kebebasan beragama adalah hak asasi yg tidak akan bisa kita ganggu-gugat --sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28;  bahwa semua manusia mempunyai hak yang sama.

Lalu bagaimana perasaan mereka yg minoritas jika hak mereka tidak mereka dapatkan?

Post a Comment

 
Top