0

Oleh: Robbyan Abel R

​Dalam beberapa agenda kunjungannya ke pesantren beberapa waktu lalu, dapat dibaca bahwa, Jokowi sedang merapikan diskursus agama dan politik yang sempat meramaikan tanah air.

Diluar segala kecurigaan guna melindungi mitra politiknya atau bukan, langkah tersebut turut memperbaiki desain Islam yang sedang terancam identitasnya sebagai kaum mayoritas negeri.

Misi transformatif ​

​Islam pernah lama mengalami masa transisi setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw (632-M). Mulai banyak terjadi perbedaan (ikhtilaf) pendapat dalam menjalankan risalah agama hingga berakibat pada perpecahan golongan kaum muslim itu sendiri.

Dan imbasnya melahirkan berbagai jenis aliran pemahaman secara bersiklus. Disusul keresahan para sahabat nabi yang berkutat pada kekhalifahan menambah muara bagaimana politik menyusup ke dalam persoalan agama jauh sebelum kasus intoleransi menjadi populer di Indonesia. 

​Serupa dengan zaman nabi. Saat ini muslim kita sedang terpecah pula menjadi banyak golongan. Bukan sebab perbedaan mazhab, melainkan oleh karena kubu politik.

Walau jika mau ditarik benang merahnya kita tidak akan menemukan kepentingan transendental dalam setiap isu yang bergulir.

Namun para antagonis politik cenderung memapankan situasi tersebut agar komodifikasi agama tetap dapat menjadi pisau tajam untuk “membunuh” lawannya.

Kita pun tidak boleh sekedar menunggu Jokowi tuntas dengan berbagai kunjungannya membagikan sepeda atau menasionalisasikan bangsa.

Setidaknya kita perlu tahu bahwa terdapat banyak organisasi mahasiswa sedang berperan sebagai pagar kesucian agama dan menjaga persatuan bangsa. Mereka tersebar ke segala penjuru nusantara. PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) misalnya.

PMII sejak tahun 1960 sudah berdiri melalui semangat perubahan dan menanamkan nilai dasar pergerakan dengan paradigma kritis-transformatif.

Paradigma yang menjadi kacamata untuk melihat setiap ketimpangan sosial maupun penyimpangan berpikir.  Meski begitu, banyak juga mahasiswa lebih memilih menyibukkan dirinya di kampus dan enggan mengkhianati zona nyaman perkuliahan.

Percis seperti perwujudan cita-cita orba yang ingin menjinakkan pergerakan progresif. Fenomena ini memberi petanda bahwa tradisi Spiral of Silence sulit dielakkan.

Tak ayal Indonesia menjadi negara yang ramai dengan redaksi intoleransi. Seolah-olah perpecahan itu diakui adanya dan dibiarkan dewasa tanpa perlawanan.

Spiral Of Silence menjadi bukti bagaimana suara minoritas ternegasi oleh suara mayoritas sehingga mereka tidak memiliki kesempatan berpendapat.  Dalam situasi gawat tersebutlah organisasi mahasiswa seperti PMII (dan yang lainnya) dibutuhkan.

Sudah bukan saatnya menunggu sosok berhala guna dijadikan lawan apalagi sampai terjebak dalam romantisme musuh lama. Kini kita hanya perlu sadar bahwa para antagonis sedang berusaha menjadi kulit di tubuh politik, di tubuh pasar, bahkan di tubuh agama.

Perjuangan tidak sebatas membakar ribuan lilin karena gelapnya arah politik negeri. Perjuangan yakni menyiapkan pagar kokoh sebelum datangnya macam-macam gempuran strategi dari musuh-musuh persatuan.

Kita juga harus menghindari penjelmaan tokoh seremonial dari suatu perayaan yang berlebihan - mendatangkan berbagai keriuhan dengan menghamburkan uang, menghamburkan hoax, dan membeli baju baru atau barang-barang yang tidak perlu.

Bangsa ini terbentuk bukan sebagai konsumerisme ulung yang mewujudkan visi kapitalisme.

Pada masa sekarang musuh tidak senampak saat orde lama – orde baru. Tentu semakin sulit menentukan siapa teman dan siapa lawan. Penyamaran mereka justru akan lebih cerdik. Oleh sebab itu Mahasiswa harus kembali dengan tangan terkepal dan maju ke muka.

Post a Comment

 
Top