0

Oleh Noe Emanuel

Kemajemukan Indonesia bukan menjadi sesuatu yang baru kita ketahui. Banyak sekali kata yang bisa kata gunakan untuk menggambarkan kemajemukan dari Ibu Pertiwi yang kita cintai ini.  Ada yang menyebut Indonesia adalah Negeri 5 menara, Negeri seribu pulau dan masih banyak lagi sebutan-sebutan untuk Negeri Pancasila ini.

Kemajemukan Indonesia itu sendiri di tandainya dari banyaknya pulau-pulau besar seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua dan masih banyak lagi pulau-pulau kecil yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Dari stiap daerah yang ada di pulau-pulau tersebut banyak sekali budaya, suku dan budaya yang sangat beraga. Ada suku Jawa, Minang, Batak dll. Serta ada yang beragama kristiani, Islam, Hindu, Budha dan konghucu.

Kemajemukan inilah yang terkadang menyebabkn konflik baik dalam koridor suku, ras dan agama yang berujung pada tindakan radikal yang merugikan golongan tertentu. Radikalisme sendiri memiliki arti 1. Paham atau aliran yang radikal dalam politik; 2 paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; 3 sikap ekstrem dalam aliran politik (KBBI, 2017) Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa radikalisme merupakan gerakan ekstrim yang dilakukan golongan tertentu untuk melakukan kerakan perubaha.

Dari banyaknya tindakan radikal yang ada di Indonesia saya akan mencoba membahas  konflik tindakan radikalisme yang terjadi di kabupaten Pasaman Barat. Kabupaten Pasaman Barat merupakan salah satu kabupaten yang ada di provinsi Sumatra barat Indonesia. Bentuk radikalisme yang akrab terjadi adalah pembakaran gereja. Pembakaran gereja ini terjadi pada tanggal 4 Mei 2014. Kejadian ini sangat membuat seluruh jemata terkejut tidak terkecuali dengan saya.

Saya merasa terkejut sedih karena saya juga salah satu jemaat dari gereja yang di bakar. Pembakaran gereja ini diduga dilakukan oleh golongan tertentu yang merasa tudak nyaman dengan keberadaan gereja dibdaerh tersebut. Hal ini di karenakan perkembangan yang sangat pesat dalam jumlah jemaat dan pelayana di gereja tersebut.

Jika di tinjau dari sisi psikologi  individu yang terlibat dalam proses radikalisme itu mengalami suatu proses yang dinamakan self internalisation. Dalam proses ini individu tersebut mengalami internalisasi nilai-nilai keagamaan yang bersifat ekslusif, moral, perjuangan dan kehormatan. Dalam proses ini pula individu yang bersangkutan mengalami proses “religious seeking” yang akan mendorong lahirnya konflik dalam diri, seperti timbulnya rasa berdosa, kemudian perasaan tersebut mendorongnya untuk memperbaiki diri dengan mengambil referensi yang baru untuk standar prilaku manusia. Dalam kasus ini golongan tertentu akan melakukan tuntutan agamanya untuk menebus dosa-dosa yang telah dia lakukan salah satunya adalah memerangi kekafiran.

Namun hal yang menarik dari kejadian diatas adalah jemaat kereja yang mengalami radikalismi tidak serta merta merasa takut atau trauma akan kejadian yang mereka alami. Dari kejadian ini malah membuat iman jemaat gereja tersebut semakin membuat mereka lebih kuat dlam berkomunitas, lebih mendekatkan dan menyerahkan penderitaanya didalam Tuhan. Sehingga radikalisme yang mereka alami malah membuat dan mengajarkan jemaat untuk menjadi kudus dan menjaga kekudusan tersebut.

Mengapa perilaku radikalisme menyebabkan korban semakin kudus. Hal ini karena seorang individu yang mengalami afeksi negatif dari luar dirinya sangat mungkin mengalami resiliensi. Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit (Reivich dan Shatté,2002).

Dengan demikian orang yang sering mengalami tindakan radikalisme akan mudah akan beradaptasi dan tangguh terhadap afeksi negatif  dan tindakan radikal yang mereka alami yang akhirnya akan membuat mereka lebih mampu resiliens dibandingkan individu yang tidak pernah mengalami tindakan radikal.
     

Post a Comment

 
Top