0

Oleh Maulidya

Tiga bulan terakhir, aku mendapatkan banyak kejutan yang tidak disangka-sangka. Mengikuti Kursus Gender dan Seksualitas (KGS), menjadi fellow Feminist Festival, bertemu dengan alumni KGS, dan sekarang, menjadi salah satu peserta Interfaith Youth Diversity Cadre Training. Semuanya memiliki satu benang merah, menyoal keberagaman. Ini tahun keduaku mengikuti event semacam ini.

Sejak SMA, aku memiliki ketertarikan lebih terhadap isu jender dan kekerasan seksual ketimbang isu agama. pertama, aku pernah mengalami diskriminasi langsung terkait tentang ekspresi jenderku dan aku pernah mengalami kekerasan seksual oleh orang terdekatku. Inilah yang kemudian menjadi komitmen awal untukku bicara kesetaraan.

Aku pernah menanyai salah seorang kolegaku. Ia seorang LGBT. “Sejak kapan kamu merasa spesial?” Dia menjawab, "Sejak kecil. Tanpa ada trauma masa kecil, terlahir dengan keluarga yang utuh, dan orangtuaku mendukung apa yang aku pilih. Aku normal.”

Seperti yang diketahui dengan baik, para heteroseksual sangat suka melakukan stigma dan melabeli segala sesuatu secara biner, terutama dalam kasus LGBT karena memakai dalil agama yang konservatif. Hal ini didukung pula oleh pernyataan agamawan yang seringnya memunculkan stigma negatif tidak normal, kemayu, ngondek, laki-laki seks dengan laki-laki, dan segala pernyataan yang ditujukan untuk pengebirian terhadap LGBT.

Yang paling meresahkan adalah stigma negatif yang dibangun kemudian membangun kejijikan dan kebencian atas perbedaan orientasi seksual di masyarakat luas. Untuk mendukung stigma negatif tersebut, seringnya dimunculkan justifikasi-justifikasi menggunakan teks suci keagamaan yang terkadang multitafsir.

Oleh mufasir teks konservatif, kaum LGBT dianggap sampah, abnormal, sumber malapetaka, dan penyandang cacat. Segala pernyataan ini kemudian mempengaruhi hukum-hukum yang seharusnya equal, menjadi diskriminatif.

Buktinya kodifikasi hukum sampai abad ke-18 hanya menjamin dan melegalkan aktivitas seksual yang dilakukan oleh pasangan suami-istri yang menikah. Larangan-larangan muncul bagi aktivitas seksual diluar nikah, dan terus merambah kepada bentuk aktivitas seksual lain seperti zoophile, sodomi, dan LGBT.

Kesemua yang disebutkan adalah sesuatu yang menyimpang bagi kalangan heteroseksual dan harus dihukum karena melanggar ketentuan. Pada bagian inilah seksualitas menjadi masalah hukum.

Michael Foucault berkata, selama ini wacana seksualitas kita terjebak dalam bentuk normalitas, dan seharusnya kita bisa menggugat hal ini. normalitas adalah sebuah kata yang berbahaya, khususnya dalam memahami orientasi seksual. Kekerdilan penghayatan makna normalitas menjadi pemicu prasangka, diskriminasi dan kekerasan.

Dengan kata normalitas pula pikiran seseorang menjadi terjebak pada dikotomi seksualitas; orientasi normal dan orientasi abnormal. Relasi heteroseksual dianggap relasi yang paling normal, tepat, benar, dan pantas. Sementara itu, relasi homoseksual dianggap relasi yang salah, janggal, cacat, menyimpang, berdosa dan abnormal.

Pada ranah ini, tentunya akan menimbulkan diskriminasi. Mereka yang memiliki orientasi seksual berbeda dianggap mengalami kelainan jiwa dan harus disembuhkan, atau yang lebih parah lagi, diliyankan.(*)

Post a Comment

 
Top