7

Oleh: Arif Kurniawan

Saya menyaksikan langsung diskriminasi terhadap minoritas. Tahun 2012 akhir saya memasuki sebuah perguruan tinggi di Malang.

Layaknya orang yang  baru memasuki sebuah lingkungan baru saya berusaha mencari banyak teman agar saya dapat nyaman tinggal di lingkungan ini. Saran dari senior saya disekolah jika ingin dapat teman banyak dalam waktu singkat masuklah ke organisasi maka saran yersebut saya lakukan saya memilih untuk masuk organisasi intra kampus.

Singkat cerita, kami memiliki agenda full seminggu sehingga mengharuskan kami untuk tingaal bersama di suatu tempat. Kebetulan mayoritas kami adalah Muslim setiap datang waktu sholat kami selalu melakukan jamaah tapi ternyata ada salah satu teman sebut saja namanya Fulan yg mana jika tiba waktu sholat dia pergi hilang entah kemana.

Suatu ketika hari Jumat ketua menyuruh para putra untuk melaksanakan sholat jumat di masjid terdekat dan dengan pedenya waktu itu si Fulan pergi ke Kamar untuk tidur. Tentu kami semua kaget dan bertany-tanya padaha dia muslim. Maka tanpa komando siap pun kami melakukan penyelidikan dan menemukn hasilnya bahwa Si Fulan penganut paham Syiah.

Setelah kejadian itu ternyata prilaku mayoritas kami terhadap si Fulan berubah drastis seperti menjadikkan dia sebagai bahan bullian, dan tidak memberi ruang untuk berpendapat (pokoknya apa yang dilakukan pasti dianggap salah) dan sampai tindakan disriminatif yang akhirnya membuat tidak nyaman hingga dia memilih untuk keluar.

Kondisi yang saya alami ini menggambarkan ternyata di negeri ini masih banyak yg memiliki rasa primordial  atas kelompoknya. sehingga dari tindakan itu melahirkan tindakan yang merendahkan identitas kelompok lainnya bahkan sampai melakukan diskriminasi. Padahal sejatinya apapun kita sama-sama manusia yang memiliki warna darah dan tulang yang sama.

Primordialisme yang berlebihan ini mematikan rasa kemanusiaan. Agama yang tadinya hadir untuk lebih memanusiakan manusia kini sudah berubah karena pemahaman yang dangkal pengikutnya. Sikap ini tidak layak untuk di lestarikan kepada anak cucu kita.

Jika mau melihat dengan kacamata yang luas beberpa saerah di negri ini antara sunii dan syiah dapat hidup damai berdampingan seperti pondok syiah di Bangil. Itu menandakan bahwa sebenarnya permasalahan ini sudah selesai dan jika sampai saat ini masih ada orang islam yang masih mempermasalahkannya bisa dibilang dia orang yang melihat permasalahan dengan sebelah mata dan tidak mau tahu sejarah.

Sudah sering penduduk negeri ini dirugikan karena tindakan suatu golongan yg tidak memanusiakan manusia seperti di sampang, syiah di Jawa Barat.

Maka sudah semestinya kejadian yang gelap itu kita akhiri.  pemerintah harus benar - benar memperhatikan serius dengan membuat regulasi sehingga dapat melindungi minoritas di negri dengan demikian keadilan bagi seluruh rakyat indonesia dapat ditegakkan.

Post a Comment

  1. Tulisan yg sangat menarik, mengajarkan kita untuk boleh berbeda pendapat tapi jgn sampai menghujat.

    ReplyDelete
  2. Menarik, sampai ikut terbawa suasana cerita. Ketika orang lebih mengedepankan golongan ataupun simbol maka toleransi antar manusia bagaikan benang yg njlimet.

    ReplyDelete
  3. Menarik untuk d cermati, permasalahan ini, kiranya perlu menjadi bahan renungan,untuk mencapai suatau kenyamanan sosial dalam konteks keindonesian tidak bisa kita memihak pada satu paham golongan tertentu...

    ReplyDelete
  4. Menarik untuk d cermati, permasalahan ini, kiranya perlu menjadi bahan renungan,untuk mencapai suatau kenyamanan sosial dalam konteks keindonesian tidak bisa kita memihak pada satu paham golongan tertentu...

    ReplyDelete
  5. Berada di situasi yang bertentangan dengan nilai dan prinsip harusnya mengajarkan kita untuk berfikir luas dan terbuka--

    ReplyDelete
  6. Aihh ngerih semoga selalu tasamuh dalam bersikap

    ReplyDelete
  7. Sepertinya perlu dikaji lebih mendalam. Coba objek kajiannya diganti sama mahasiswa yg sudah semester 7/8 yg sudah terbiasa dengan perbedaan

    ReplyDelete

 
Top