0

Oleh : Fendi Chovi, Blogger

Kesempatan live in semalam di rumah Mak Tun memberikan kesan mendalam kepada saya. Ini pengalaman paling nyata. Kita harus mengenal orang lain dengan cara berinteraksi langsung. Inilah perjumpaan paling kontemplatif yang bisa saya ceritakan untuk melihat bagaimana kita hidup bersama orang lain.

Mak Tun, perempuan berusia 72 tahun, bernama asli Syamsiyatun. Ia adalah seorang Muslim yang akhirnya pindah menjadi pengikut Yesus. Rumahnya di Gudo, Jombang.

Kami berdiskusi dengan anak-anak dan saudaranya yang justru beragama Islam. Diskusi ini memberikan gambaran bahwa agama menjadi sesuatu yang meleburkan sekat-sekat pembatas orang-orang berbeda agama.

Buktinya, meskipun memiliki kepercayaan dan keimanan berbeda dengan saudara dan anak-anaknya, Mak Tun tetap bisa menjalin hubungan baik. Jauh dari kesan saling memusuhi dan menjauhi hanya karena persoalan keimanan.

Menurut Mak Tun, yang paling penting adalah berbuat baik. Menjalankan sesuatu yang kita percayai tentang tuhan. Berbuat baik adalah jalan menemukan kasih sayang tuhan.

Bagi Mak Tun, iman itu adalah soal hati. Sudah tidak selayaknya orang-orang yang mengaku beriman saling membenci. Apalagi, mencampuri keimanan orang lain.

Perpindahan Mak Tun dari Muslim menjadi pengikut Yesus pun tidak terjadi begitu saja. Sejak lahir ia sudah merasakan panggilan Yesus. Namun, perjalanan waktu yang panjang dan seringkali terjal menghadirkan sebuah permenungan mendalam perlunya mendekat kepada tuhan --yang menurut Mak Tun adalah urusan hati dan ruang private yang hanya bisa dirasakan setiap orang.

Suatu waktu, di dalam perjalanan hidupnya, pernikahan Mak Tun tak lagi memberi nuansa saling menyayangi dan hidup mengasihi. Ia gelisah dengan perilaku suaminya.
"Suami saya awalnya terlibat dalam dunia gelap. Ia lebih sering menghabiskan waktu dengan mabuk-mabukan, dan kebiasaan buruk lainnya," ujar Mak Tun, sesekali mengusap air mata yang hendak berjatuhan.

Anak perempuannya ikut membantu menjelaskan agar perasaan emosi ibu tidak tumpah mengenang masa lalu yang kelam bersama si suami.
"Ibu saya merasakan kasih sayang dan panggilan Yesus. Ia tidak tamat SD dan kerja serabutan. Saat masa-masa buruk menimpanya, ibu ingin merasakan kehidupan dalam kasih sayang tuhan. Ia menemukannya dalam panggilan Yesus," ujar salah satu anak perempuannya yang ikut menemani ngobrol.

"Saya sempat mengatakan kepada suami. Saya benci kamu. Tolong jauhi saya," kata Mak Tun, saat menuturkan betapa ia kurang respek lagi dengan suami yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga.
Dalam tangisnya yang meluap-luap itu, Mak Tun membutuhkan jalan pencerahan. Jalan kebaikan yang dipercayainya mampu menjalankan hidup sesuai petunjuk kasih tuhan.
Dan ia menemukannya dalam pelukan Yesus. Dan meskipun begitu, hubungannya dengan saudara-saudaranya yang Muslim justru tetap terjaga dengan baik.

Semalaman kami berdiskusi bersama anak-anak Mak Tun. Mereka yang kini sudah berkeluarga tidak merasa risih meski di dalam keluarganya terdapat manusia-manusia yang berbeda keyakinan.
Justru, mereka saling membantu ketika ada perayaan besar agama yang dianut di dalam keluarga tersebut.

Bagi Mak Tun, berbuat baik kepada manusia adalah jalan kasih yang diperintah tuhan, dan harus dihidupkan terus menerus dan diwariskan kepada anak cucunya.
Namun, akhir-akhir ini ia menemukan realitas kehidupan yang berbeda di sekitarnya, berbeda dengan masa-masa yang ia lewati penuh semangat saling menghargai dan rukun antar sesama.

"Dulu kami saling membantu ketika ada perayaan hari-hari besar. Meskipun kami berbeda keyakinan. Sekarang, kami serasa dibatasi perbedaan-perbedaan, apalagi jika perbedaannya adalah soal agama," ujar Mak Tun.

Mak Tun sangat menyesalkan ketika perbedaan agama justru menjadi faktor untuk saling membenci. Bahkan, terjebak permusuhan pada perbedaan itu.

Saya terkesan dengan kerukunan Mak Tun dan keluarganya. Tangis-tangis yang dilewati meninggalkan jejak perjumpaan kasih sayang tuhan yang menguatkan hati untuk semakin berbuat baik kepada manusia. Semuanya bersumber dari kasih sayang tuhan. Jangan sampai karena perbedaan, kita menjadi saling menyakiti dan membenci. Yang kemudian hari, hal ini bisa menumpahkan air mata penyesalan.

Klenteng Hong San Kiong, Gudo.
14-7-2017

Post a Comment

 
Top