0

Senin, 10/7/2017 pukul 6 sore aku sampai di Jombang. Kujejakkan langkah pertamaku menuju Klentheng Hong San Kiong untuk pertama kalinya. Untunglah, kedatanganku disambut hangat oleh mas Affan yang dengan segera menghampiriku dan menperkenalkan dengan teman-teman Gusdurian Jombang yang terlebih dahulu datang. Rasa hangat kerabat bercampur rasa persaudaraan yang lekat mewarnai kesan pertamaku bergabung bersama "dulur Gusdurian Jombang".

Memang kesan kehangatan semacam ini jarang aku jumpai ketika aku bergabung dengan organisasi-organisasi lainnya. Kesan pembicaraan yang agak berbobot dan mengalir semakin mengakrabkan kami ditengah malam yang kian pekat.

Tak lama setelahnya, Gus Aan sebagai ketua rombongan kami, mengajak teman-teman yang telah hadir di malam itu menuju kediaman Pendeta Yess. Diluar dugaan kami, Pendeta Yess sekeluarga telah menyiapkan jamuan yang cukup hangat untuk menyambut kehadiran kami. Dengan saling bersalaman kami masuk ke pendopo Teras Sinau yang sangat rapi dan bersih.

Rasa persaudaraan yang erat tampak memancar dari raut muka pendeta Yess sekeluarga. Meskipun kami semua yang datang berasal dari latar belakang suku dan agama yang berbeda, namun tiada rasa canggung dalam pribadi kita semua. Kita diperlakukan layaknya keluarga jauh yang lama tidak saling bertegur sapa, sungguh sebuah guratan pertemuan yang sangat mengesankan.

Saya membayangkan, ditengah obrolan kami yang kian hangat ditengah malam, sungguh indahlah Indonesia jika dibangun diatas rasa persaudaraan dan perbedaan yang hangat. Angan saya kali ini mengingatkan akan kejayaan Nusantara di masa lalu dimana konflik agama yang ada di Nusantara dapat terintegrasikan dengan baik dan damai tanpa menimbulkan perpecahan di masa sekarang.

Ingatkah akan kejayaan Singhasari yang berlanjut di masa Majapahit dimana Çiwa dan Buddha dapat bersatu dan bersinkretisme yang mengantarkan dua kerajaan besar ini pada puncak kejayaannya?  Ingatkah pula dengan Mpu Kuturan yang menyatukan berbagai sekte keagamaan di Bali (Waisnawa, Çiwa, Ghanapatya, Tantrayana, dsb.) sehingga menjadi Hindu Dharmma seperti saat ini?  Ingatkah pula Sunan Bonang yang menebarkan pesan kedamaian melalui Gangsa Singa Mengkoknya sehingga membuat seorang begal dan penjahat bertaubat dan menyesali perbuatannya?

Ah... Sudahlah, renungan saya kali ini tak dapat saya sampaikan melalui untaian dan rangkaian kata, yang jelas saya bangga dan haru akan majemuknya bangsa ini. Mari belajar dari sejarah dan mengamalkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Mari kita berkaca pada damainya, sejuknya, temtramnya Nusantara di masa lampau. Tidak malukah kita?  Sebagai manusia yang dianggap paling modern dan mahfum akan perkembangam dan kemajuan zaman, kita malah mencabik-cabik tubuh, daging dan darah kita sendiri? 

Jika begini adanya, lebih baik kita kembali menjadi Homo Sapiens atau Megantropus Paleojavanicus yang tak sekali-kali diantara mereka memangsa, membunuh, dan mencabik-cabik "tubuh mereka sendiri".

Oleh Aditya Fajar

Post a Comment

 
Top