0

Aku adalah generasi milenial yang begitu dekat dengan hiruk pikuk internet.

Dari internet, aku berkesempatan mengakses informasi soal apapun, khususnya workshop yang memungkinkanku berjumpa dengan anak-anak segenerasi dalam acara-acara keren.

Kali ini, tuhan memberikan kesempatan padaku mengikuti "Training Penggerak Perdamaian dan Keragaman Berbasis Komunitas".

Kegiatan ini memberikan kesempatan bagi anak muda mendiskusikan perihal radikalisme, intoleransi dan perjumpaan dengan teman-teman berbeda keyakinan.

Bertempat di Klenteng Hong San Kiong, Gudo, di Jombang, para peserta berkesempatan berdiskusi dan berdialog serta menikmati berbagai sesi materi dan field trip ke rumah-rumah ibadah dan komunitas.

Saat tiba di lokasi. Ternyata peserta yang tiba baru dua anak. Aku termasuk peserta kedua yang menginjakkan kaki di Klenteng ini.

Tentu saja, aku bersyukur tiba lebih awal. Sebab, aku bisa berkesempatan ngobrol dengan Gus Aan Anshori, salah satu fasilitator kegiatan ini.

Kami ngobrol bertiga sambil menunggu peserta lain datang. Lagi-lagi soal internet.

"Kamu suka nulis, kan?"

Aku sempat menemukan namamu dan tulisanmu di internet, tanya Gus Aan kepadaku.

Aku tersenyum. Telingaku seolah melebar sedikit tanda senang.

Percakapan dilanjutkan kembali secara intensif dan penuh keakraban saat aku berjalan kaki menuju ke salah satu rumah pendeta di Gudo untuk acara wellcome Dinner dan ramah tamah.

Aku berjalan di samping Gus Aan dan mengajaknya ngobrol panjang lebar. Di sela-sela obrolan itu, Gus Aan menyisipkan motivasi agar membiasakan diri menulis.

Menurutnya, menulis itu penting untuk aktualisasi diri sendiri di internet.

Tak hanya itu, banyak media-media besar yang jika kita mampu meloloskan karya tulis yang berisi gagasan kita sendiri. Kita akan dikenal dan media akan memperkenalkan nama kita ke publik.

Hari ini banyak cara menyebarkan gagasan dan pemikiran. Hanya bermodal Handphone Android kita sudah bisa memosting karya kita di blog atau mengirimkan ke media cetak atau online, ungkap Gus Aan menasehati.

"Jika namamu tidak berakhir "wahid", seperti Yenny Wahid. Maka menulislah!" kata Gus Aan.

Pernyataan Gus Aan tersebut merupakan satu kenyataan bahwa nama Wahid identik dengan nama alharhum Gus Dur alias KH. Abdurahman Wahid.

Dengan menyandang nama wahid itu, berarti menjadi klan keluarga besar KH Abdurahman Wahid, sosok intelektual muslim berpengaruh dan vokal dalam membela kaum minoritas.

Dengan menyandang akhiran nama wahid. Secara tidak langsung, kita menjadi bagian dari keluarga besar orang-orang yang diperhitungkan di negeri ini.

Nama Abdurahman Wahid, juga nama menyejarah dan nama besar itu membuat generasi Wahid memiliki kesempatan berperan besar seperti ayahanda-nya.

Meskipun bukan dari klan Gus Dur. Aku punya peluang untuk ikut berkontribusi dan mencari pengaruh. Seperti saran Gus Aan, yaitu dengan cara menulis.

Andai namaku menyandang akhiran kata "Wahid", maka itu bisa menjadi nilai tambah untuk banyak berkontribusi kepada publik Indonesia.

Namun, aku ternyata lahir bukan dari klan "wahid". Meskipun demikian, aku tak perlu berandai-andai nama di belakangku adalah berakhiran kata "Wahid".

Kalau kita bukan bagian dari keluarga Wahid. Mari kita menulis. Mari sebarkan pemikiran kita agar diketahui dunia dengan tulisan itu. 
Dengan hadirnya internet. Upaya menyebarkan gagasan kita tentu lebih mudah. Mari rutinkan ngeblog.

Menulis tentang apa yang kita rasakan, apa yang kita harapkan dan lalu sebarkan ke dunia diketahui manusia dijagad raya ini.

Menulis, adalah cara terbaik memperkenalkan gagasan kita kepada dunia.

Aku pikir, saran Gus Aan Anshori benar. Sebagai anak yang bukan dari klan "wahid" maka menulis bisa menjadi cara terbaik untuk menyuarakan tentang apapun di sekitarku. Dan nantinya bisa tersebar ke berbagai pelosok daerah hingga dunia.

Inilah era milenial yang bisa kita manfaatkan dengan baik. Kamu tahu, tidak?

Apa yang diungkapkan Gus Aan Anshori tadi itu, sebenarnya juga ditegaskan oleh Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali.

"Jika kamu tidak bukan putera raja atau ulama. Maka menulislah!"

Akhirnya, aku mendapatkan inspirasi tambahan soal potensi menulis, lebih-lebih membukukan karya-karyaku secara utuh.

Keren, kan? Punya karya dibaca ribuan orang dan menginspirasi mereka berbuat lebih. Setidaknya, kebiasaan menulis juga memungkinkan diri kita berkenalan dengan banyak tema menarik dan bisa membuka wawasan lebar-lebar soal ketimpangan sosial dan bahaya ancaman radikalisme yang terus menerus terlihat di kehidupan kita sebagai umat beragama di Indonesia.

Klenteng, Hong San Kiong, Gudo, 11 Juli 2017.

@fendichovi, blogger

Post a Comment

 
Top