0

Skeptis rasanya, ketika ada sekelompok atau individu yang dalam tanda kutip hanya melihat sebuah atau berbagai perbedaan yang sebenarnya secara fitrahNya sudah majemuk dalam segi keyakinan tidak sesuai dengan mereka untuk berdamai. Jangan-jangan ketika mereka bersenda-gurau atau duduk bersama yang tersirat dalam benaknya adalah label-label yang salah kaprah difahami di masyarakat saat ini, misalnya "kafir, najis, babi" dan kecurigaan-kecurigaan lainnya.

Dengan kata lain mereka tidak berdamai dengan dirinya sendiri termasuk saya kala itu, lantas pertanyaannya adalah jika dengan dirinya saja tidak berdamai bagaimana dengan manusia lain yang sama sama makhluk tuhan dan menyandang gelar khalifah minimal bagi dirinya sendiri?

Hingga satu-kala saya melihat ada sesuatu yang tidak manusiawi dalam diri saya, serta ternyata leluhur saya adalah Tionghoa dari Sidoarjo yang beragama Hindu dan Kristen, dan rasa manusiawi saya yang hilang adalah tidak berfikir baik pada orang lain yang berkeyakinan lain diluar saya, padahal interaksi sosialnya luar biasa terhadap sesama manusia. Serta saya merasa kehilangan  rasa saling menghargai dan menghormati sesama. Sehingga kecurigaan dan lain sebagainya menghalangi tumbuhnya kemanusiaan dalam diri saya, apalagi mereka yang notabene baperan atau sumbu pendek.

Sehingga rugi rasanya ketika sebagai manusia yang tanpa label label agama belum bisa memanusiakan manusia (pesan Gus Dur).

Dan dalam acara training penggerak perdamaian yang diselenggarakan oleh gusdurian jombang dan JIAD (Jaringan Islam Anti Diskriminasi) saya melihat ada peran kasih tuhan pada proses makan malam yang disediakan oleh pendeta Yes di rumahnya yang tidak jauh dari Klenteng HONG SAN KIONG tempat kita menginap dan bersua bercengkrama dengan teman-teman yang berkeyakinan tapi tidak melupakan kemanusiaan. Sehingga yang saya sadari adalah konsep rejeki itu tidak hanya dari sesuatu yang seragam tapi dimana mana dan tuhan tempat memberikannya.

Acara ini memberikan manifestasi rasa damai yang ditumpah ruahkan didalamnya, bukan hanya muslim tapi juga Kristiani, Budhis dan keyakinan-keyakinan yang lain dimana saling bertukar pengalaman dan kisah cintanya terutama sehingga menumbuhkan kembali rasa percaya diri untuk memanusiakan diri kita dan orang lain layaknya manusia.

Puncaknya adalah saling mempercayai dan mengapresiasi manusia lain di mana dalam sudut pandang interaksi sosial dan pendidikan adalah hal yang menjadi penyadaran bahwa sebenarnya kita manusia (zoon politicon).

Gudo, Klenteng Hong San Kiong adalah bagian dari penyadaran bahwa kitika aspek kemanusiaan maka bukan lagi apa agamamu? Tapi bagaimana kamu padaku begitu juga sebaliknya.

Toleransi yang perlu dibangun adalah bagaimana menyadari bahwa kita manusia dan harus menjaga kemanusiaan kita pada manusia lain (pesan Gus Mus), sehingga bukan perkara benar salah yang diutamakan tapi baik buruk dan mulia sebagai puncak dari toleransi.

Dan Gudo adalah salah satu tempat dimana saya mulai melihat pancaran tuhan (kasih sayang) dalam diri teman-teman peserta training penggerak perdamaian dan yang terlihat bukan perkara identitas mereka tetapi personalitas mereka.

Dan ketika kita kaitkan dengan cita-cita perdamaian di Indonesia maka ketika setiap individu atau kelompok berdamai dengan hal yang paling kecil yakni diri kemudian diseberkan dan ditanamkan pada manusia lain maka perdamaian adalah sebuah keniscayaan.

Lek Dah (Ahmad Dahri), 2017

Post a Comment

 
Top