0

Kereta dari ibu kota membawaku menuju kota santri, Jombang. Dari gelap malam menuju terangnya pagi,  perjalanan kurang lebih 15 jam tak menyurutkanku untuk mengikuti training penggerak perdamaian. Sesampainya di kota ini, aku segera menaiki angkot kuning yang bertuliskan "Terminal-Cukir-Gudo" pada kaca depan supir. Tempat dudukku tepat di sebelah si supir.

Sosok lelaki paruh baya yang agak tambun tapi murah senyum, ya gambaran supir angkot kuning ini kurang lebih seperti itu. "Mau ke mana, mas?" Tanyanya. Lalu aku pun menjawab dengan singkat "Klenteng Gudo Pak,"

Aku sebenarnya tak tahu persis letak Klenteng yang akan menjadi tempat training penggerak perdamaian ini. Aku hanya berharap si supir angkot mengantarkanku sampai tujuan. Cukup jauh perjalanan menuju klenteng Gudo.

Terlihat si supir angkot sibuk mencari penumpang. "Sampean keliatannya bukan asli Jombang ya, mas? Ada keperluan apa jauh-jauh datang ke Klenteng Gudo?" tanya supir angkot agak kepo. "Acara lintas agama, pak," jawabku dengan nada yang flat.

Tak kusangka respon yang baik datang dari supir angkot itu. "Bagus itu mas, memang anak muda harus diajarkan bagaimana caranya bertoleransi dan menjaga kebhinekaan. Jombang ini terkenal toleran, mas," ucapnya.

Dia menjelaskan sejak kecil ia hidup di Jombang dengan lingkungan agama berbeda-beda tapi tak pernah menjadi masalah. Dia pun menceritakan bagaimana suasana Natal di Jombang yang dijaga oleh Banser (Barisan Ansor Serbaguna. Begitu pun ketika solat Idul Fitri dijaga oleh mereka yang Nasrani.

Namun dia pun menyayangkan kejadian di Jakarta, hal politis yang dibumbui agama menyulut orang-orang di beberapa daerah lainnya  terpancing hal yang sama.

"Aku ini Muslim, tapi yo gak ngono. Itu kan hal politik aja yang dicampur agama. Nek Gusti ngerti yo ngamuk (Kalau Tuhan tahu ya ngamuk)," tambahnya geram.

Aku cuma tersenyum mendengarkan geramnya. Tak lama kemudian sampai di depan Klenteng bernamakan "Hong San Kiong", sebuah klenteng di kecamatan Gudo, Jombang. Kuberikan selembar uang sepuluh ribu rupiah sebagai ongkos lalu aku bergegas turun ingin segera masuk melihat suasana klenteng yang dijadikan lokasi training.

Di halaman klenteng aku bersikap anjali kemudian menunduk dan memberikan salam kepada para dewa-dewi sebagai penghormatan mohon ijin masuk bertamu. Dalam tradisi agama Tionghoa (Buddha Mahayana, Konghucu, dan Tao) di mana aku dibesarkan sebagai orang keturunan, melakukan hal demikian merupakan hal yang dibiasakan sejak kecil.

Lalu aku pun memasuki bagian dalam klenteng. Kuperhatikan kiri-kanan, ternyata klenteng ini mempunyai tempat yang lumayan luas. Langsung saja aku menghubungi panitia dan berkenalan dengan beberapa peserta karena aku datang terlambat. Kebetulan mereka semua sedang istirahat makan siang. Agak sedikit canggung, memasuki sebuah zona dengan tempat dan orang-orang yang baru pertama kita temui.

Tapi aku tahu, meskipun background kita berbeda-beda, tapi kita punya visi dan misi yang sama untuk menjadi penggerak perdamaian.(*)

Billy Setiadi, Malang.

Post a Comment

 
Top