0

Hari itu aku berjalan gontai menyusuri dusun tempat di mana aku praktek sebagi utusan sebuah sekolah tinggi teologi. Dusun yang tidak terlalu buruk, menurutku. Lingkungannya cukup asri dan tidak terlalu dingin. Langkahku kerap diiringi beberapa anak yang suka mengikutiku. Mereka sesekali bertanya, "Kak kita mau ke mana?"

Dengan sedikit senyum aku menjawabnya, “Jalan-jalan keliling aja," Ya, kami berada di sebuah dusun yang heterogen,  namanya Tukangan. Terletak terletak di desa Gudo kecamatan Gudo kabupaten Jombang. Namanya unik,  menyimpan beribu cerita dan sejarah di dalamnya. Konon, dusun ini awalnya semacam china town,  hampir seluruh warganya berdarah Tionghoa. Tukangan barangkali berasal dari kata 'tukang' yang merujuk keahlian warga Tionghoa yang dikenal jago membuat aneka perabot kayu.

Namun saat ini, kebanyakan masyarakat Tukangan adalah pendatang, termasuk gembala sidang yang saya ikuti untuk bekerjasama dalam bidang pelayanan gereja, bapak Pdt. Yehezkiel Sukayadi. Beliau adalah gembala sidang Gereja Bethany di Tukangan.

Selain Bethany, ada juga gereja GPdI, 3 mushola, dan 1 klenteng yang sangat terkenal keberadaannya, Hong San Kiong. Di Tukangan, setidaknya ada 3 agama yang berkembang di dusun kecil ini. Tiga dusun lainnya -- Gudo, Kademangan dan Bumiarjo, relatif lebih homogen penduduknya, muslim. Tukangan bisa dikatakan paling heterogen.

Namun sayangnya heterogenitas yang ada tidak dibarengi dengan keramahan masyarakatnya. Dusun yang dikepalai oleh bapak Suhardi ini bisa dikatakan inklusif yang cenderung eksklusif.

Sedikit cerita kepiluan hati yang kami rasakan sebagai kaum minoritas di daerah ini. Pada waktu perayaan Natal, sekolah Minggu gereja kami sering mengadakan panggung boneka untuk anak-anak. Kami mengundang siapa pun yang mau datang bergabung.

Kami sengaja menyediakan konsumsi tambahan bagi anak-anak diluar anak sekolah minggu. Namun ketulusan kami, dipandang berbeda oleh masyarakat yang lain. Entahlah, nampaknya mereka memandang kegiatan kami sebagai salah satu bentuk kristenisasi. Padahal tidak ada niatan sedikitpun untuk itu. Sungguh.

Tidak hanya itu, pernah suatu kali kami mengadakan kegiatan gereja dalam berupa syukuran. Kami meminjam peralatan makan milik RT setempat. Memang tidak ada cacian atau olokan yang kami terima, namun kami tahu, setelah alat-alat tersebut kami pakai dan kami cuci, pemilik atau penanggungjawab barang-barang tersebut menyucinya kembali. Tak cukup hanya sekali, melainkan mencuci tujuh kali. Sempat aku berpikir dalam diam; anjing atau babi kah kami di mata mereka? Senajis itu kah kami dipandang?

Tidak ada umpatan atau gunjingan kami kepada mereka, kami hanya memutuskan untuk tidak meminjam lagi. Bukan untuk menjauhi, hanya untuk meminimalisir sakit hati yang mungkin akan terjadi. "Miris," satu kata yang bisa menggambarkan perasaanku atas  kebersamaan di Tukangan. Aku juga melihat adanya perselisihan sesama mushola di dusun itu.

Mulai 2016 lalu, pastori gereja kami membangun sebuah balai belajar anak, namanya "Joglo Sinau". Pembangunannya selesai awal 2017 lalu, dan mulai diisi dengan buku-buku anak, fasilitas belajar yang lain seperti kursi, meja, papan tulis, dll. Kami juga memiliki beberapa mainan edukasi untuk anak-anak.

Pertanyaannya untuk siapakah tempat ini? Tempat yang dipegang oleh Pdm. Yezdianda Petra ini sengaja didirikan dan dipersembahkan untuk anak-anak kampung yang mau belajar atau sekedar bermain. Joglo Sinau yang rencana kedepannya akan dijadikan PAUD ini sudah beraktifitas rutin 3 kali seminggu. Guru yang mengajar yaitu ibu Kristina Sudibyo, dan kak Sophia -- seorang muslimah.

Kami sengaja memperbantukan guru muslim supaya masyarakat tahu bahwa kami mendirikan ini murni untuk mewujudkan salah satu cita-cita Negara kita, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kak.. Kak... Aku gak boleh ke Joglo lagi sama gus Lim (nama samaran), katanya nanti aku disuruh ke gereja," celoteh Merry salah seorang murid kepadaku suatu sore. Kabar yang beredar, beberapa orang tua murid-murid yang belajar di Joglo Sinau dipanggil lelaki dan dilarang datang lagi ke tempat kami. Sedih.

Hal yang sama juga dialami oleh ibu Musripah, salah seorang anggota gereja kami yang berjualan di dekat mushola. Tempatnya jarang dibeli oleh anak-anak kecil mushola tersebut. Ya, karena tudingan serupa.

Semangat perdamaian kami tak berhenti hanya karena satu orang tersebut, kami tetap berbagi dengan mereka. Kami mengadakan buka bersama anak-anak, juga bertempat di Joglo Sinau. Kami dengan gamblang berkata kami tidak melakukan kristenisasi.

Menyedihkan memang melihat keadaan seperti ini tumbuh di kota yang berkibar bendera-bendera ASEAN. Sebisa mungkin aku bercengkrama dengan warga sekitar, bersepeda sore dan bermain bersama anak-anak kampung. Harapanku sederhana membawa satu harapan bahwa cukup sampai disinilah kepedihan ini. Biarlah di waktu anak-anak yang saat ini tersenyum dan berlari bersama saya dengan menggunakan kerudungnya itu, yang akan berdiri kelak mewujudkan pluralisme di Tukangan ini.

Memang ada harga yang harus dibayar dalam bentuk pengorbanan untuk sesuatu yang berharga. Kami akan terus berbuat baik dan menolak terkecoh dengan suara-suara dan perlakuan yang menyayat hati. Kami akan berdiri dengan iman dan harapan untuk menegakkan perdamaian dan pluralisme di Tukangan.

Gudo, 15 Juli 2017

Oktavia Kristika Sari --peserta Training Penggerak Perdamaian dan Keragaman berbasis Komunitas, PGI-GUSDURian Jombang-JIAD Jawa Timur

Post a Comment

 
Top