0

Oleh Oktavia Kristika Sari

“Manusia membuat sejarahnya sendiri, tetapi mereka tidak membuatnya tepat seperti yang mereka sukai. Mereka tidak membuatnya dalam situasi-situasi yang dipilih oleh mereka sendiri, melainkan dalam situasi-situasi yang langsung dihadapi, ditentukan dan ditransmisikan dari masa-lalu.”
               -Buku Brumaire XVIII Louis Bonaparte

Dalam kehidupan masa kini yang dijalani oleh setiap manusia, tidak lepas dari sejarah masa lalunya. Tidak berbeda dengan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Tidak lepas dari sejarah yang ada melatar belakanginya.

Berbicara tentang pemuda Indonesia tentu tak dapat dipisahkan dari sebuah peristiwa penting yang terjadi kira-kira Pada bulan Oktober 1928 tepatnya pada tanggal 27-28 berlangsunglah Kongres ke II pemuda Indonesia, kelak dalam kegiatan progresif ini melahirkan sebuah resolusi juang, yang kini terkenal dengan nama Sumpah Pemuda.

Kongres yang diadakan di Batavia tersebut diikuti oleh banyak perkumpulan pemuda (jong) yang berasal dari hampir seluruh wilayah nusantara.

Pertanyaan yang muncul bukannya masih relevan atau tidak sumpah itu, namun bagaimana pemuda-pemuda merefleksikan dan mengambil langkah kongkret meresponi sumpah yang membakar semangat pemuda. Dan di negara yang sedang diaduk-aduk oleh carut marutnya perpecahan, masih adakah pemuda yang berani berdiri tegak mengikrarkan sumpah?

Hari ini, dibuktikan oleh masyarakat dan tokoh-tokoh di Jombang khususnya sekitar Gudo. Yang masih peduli dengan kebangkitan pemuda membangun perdamaian, dan pemuda-pemuda yang mendekat untuk rindu dibaharui oleh pengetahuan dan pengalaman bernegara oleh bapak, ibu, pejuang-pejuang sebelumnya.

Sabtu (28/10), Joglo Sinau Bethany Gudo Jombang lagi-lagi dipenuhi dan diramaikan oleh masyarakat lintas keyakinan. Bukan lagi anak-anak melainkan tokoh-tokoh masyarajat dan agama, serta pemuda-pemuda untuk berefleksi bersama. Tak banyak, namun langkah awal yang baik untuk memulai langkah gerakan selanjutnya.

Acara yang diselenggarakan oleh Yayasan KTPI yang bekerjasama dengan GUSDURian Jombang kali ini berjalan dengan santai dan menyenangkan dengan dihadiri Toni Hokle dari Klenteng Hok San Kion Gudo, Susilo perwakilan Polsek, Pdt. Chris Muskanan GBI Diaspora, Pdt. Hermin Yehezkiel Bethany Gudo, Pdm. Yezdianda Petra ketua yayasan KTPI, pdp. Yohanes Tanto Gereja Bethany Gudo, masyarakat keturunan Tionghoa, beberapa tokoh masyarakat, dan beberapa santri dari pondok pesantren Tukangan, dan Pemuda-pemuda gereja bethany Gudo.

Refleksi disampaikan bergantian mengenai keberagaman dan persatuan yang ada di daerah Gudo ini. “Saya sangat senang tinggal di daerah Gudo ini karena keberadaan klenteng diterima dengan sangat baik,” refleksi dari Toni Hokle. Susilo juga sangat mengapresiasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh GUSDURian beberapa kali di daerah Gudo.

Refleksi bersama ini ditutup dengan refleksi dan wejangan bagi pemuda oleh KH. Hamid Bisri atau yang akrab disapa dengan panggilan Gus Mamik. Beliau memandang kebersamaan dan perdamaian dalam perbedaan merupakan sebuah kesejukan.

“Saya melakukan kegiatan, kamu melakukan kegiatan sudah cukup. Aman dan tenang. Betul, tapi tidak sejuk. Saya bahagia, mari ikut bahagia bersama itulah kesejukan," ungkapnya lembut.

Dia menambahkan kalau dilihat dari keadaan dunia ini memang pemudalah sasaran utama dijatuhkan untuk memecah belah bangsa, di mana memang pemudalah yang memiliki semangat yang masih bergelora dan berapi-api.

Untuk itu Gus Mamik mengharapkan pemuda  harus suka datang kepada yang lebih tua untuk meminta pertimbangan, nasehat, saran, dan ilmu-ilmu kehidupan. Seperti tunas yang memerlukan pupuk, air dan lain-lain untuk bertumbuh, demikianlah pemuda-pemuda membutuhkan nasehat dari orang yang lebih tua.

“Jangan menjadi rumput, tapi jadilah pohon kelapa yang terus bertumbuh tinggi. Segala yang ada pada pohon kelapa itu bisa dimanfaatkan," kata pengasuh Pesantren Darul Ulum Peterongan.

Secara sederhana dapat diartikan bahwa pemuda harusnya menjadi pemuda yang memiliki harapan yang tinggi dan andil yang besar untuk bangsa. Janganlah kita mau dipecah belah, namun marilah terus tanamkan NKRI harga mati. Refleksi yang disampaikan oleh Gus Mamik, menutup dan menyimpulkan refleksi malam hari ini.

Tidak berhenti di situ, semua peserta refleksi malam hari ini berdiri dengan sikap sempurna dan dengan lantang menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, serta dilanjutkan dengan lPadamu Negeri. Ya, padamu negeri kami melakukan semua ini, untuk kesatuan dan persatuan serta kemajuanmu, negeriku. Saya rasa begitulah isi hati para peserta refleksi pada malam hari ini setelah mengikuti seluruh Rangkaian kegiatan.

Pemuda-pemuda yang hadir juga bersama dengan beberapa santri yang hadir mengikrarkan sumpah pemuda di hadapan tokoh-tokoh masyarakat dan ulama. Berharap tak hanya menjadi isapan jempol, melainkan sumpah yang dibawa sampai mati. Dengan kesediaan tokoh-tokoh yang ada untuk terus membimbing dan menasehati.

Sumpah Pemuda
Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia
Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia

Acara ini ditutup dengan makan bersama dan sesi foto bersama. Dan biarlah ketika setiap orang lembali foto ini, ada sikap hati yang berkata “Kami siap menjaga tumpah darah kami, bangsa dan bahasa kami yang satu ini. Indonesia,”

Post a Comment

 
Top