0

Oleh: Oktavia Kristika Sari

“Marilah kita bangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi tugas kesejarahan kita, yang tidak boleh kita lupakan sama sekali”
                     K.H. Abdurahman Wahid

Pertikaian, satu kata yang mampu memecah belah persahabatan, keluarga, masyarakat, bahkan bangsa yang besar sekalipun, termasuk Indonesia. Munculnya berbagai macam paham dan gerakan-gerakan adalah karena pertikaian dan untuk memicu pertikaian selanjutnya. Ingatkah kita apa yang terjadi setelah Indonesia merdeka? Pertikaian. Dan lagi-lagi agama dan kepercayaan lah pemicunya.

Selama 14 tahun setelah reformasi setidaknya 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang ada di Indonesia. Yayasan Denny JA mencatat dari jumlah itu paling banyak diskriminasi dilatarbelakangi keagamaan yaitu 65%. Konflik Maluku merupakan contoh konflik berlatar agama yang menimbulkan korban paling banyak yaitu  8000 - 9000 orang meninggal, 29.000 rumah terbakar, 47 masjid, 45 gereja, Ratusan toko, 48 gedung pemerintahan dan 4 bank hancur.

Kenapa terjadi konflik seperti itu? Berbagai analisis telah diproduksi banyak ilmuwan. Namun, “kurang ngopi bareng” , begitulah ungkapan yang sering dilontarkan seorang aktifis nasionalis di negara kita, Gus Aan Anshori.

Dan untuk alasan itulah kegiatan petang hari ini (21-10-17) di dusun Tukangan, Gudo diselenggarakan. Alasan riuhnya keadaan yang ada di pastorium gereja Bethany di daerah tersebut. Bukan karena keributan pertikaian antaragama namun karena semangat yang menggebu untuk mengakrabkan pakaian yang berbeda.

Melihat gadis kecil berjilbab bisa bergandengan tangan dan duduk berjajar bersama gadis kecil berkalung salib. Tidak mewah memang, dengan kesederhanaan namun hangat kegiatan tersebut dapat berlangsung.

Sekitar 60-70 orang yang terdiri dari orangtua dan anak-anak lintas keyakinan datang membangun keakraban di rumah dinas Pdt. Yehezkiel tersebut. Acara ini memang sengaja diselenggarakan bagi anak-anak kampung sekitar, yang dikelola oleh bidang pemuda Gereja Bethany Gudo.

Sepertinya tidak berat untuk meluangkan waktu bercerita, bercanda, dan bermain bersama di tengah perbedaan keagamaan. Anak-anak yang tak saling kenal sebelumnya terhanyut oleh suasana ceria dalam lagu-lagu permainan sehingga tak mengingat lagi apakah teman yang digandengnya menggunakan kerudung atau tidak. Tidak peduli lagi rekan di depannya pergi beribadah hari Minggu atau Jumat. Singkatnya tak ada yang berbeda, ketika semua berkumpul dan tertawa bersama.

Acara yang dimulai pukul 18.00 ini menjadi lebih istimewa dan semakin mengikis prasangka dari orang tua yang datang dengan hadirnya Gus Aan di tengah-tengah mereka. Betapa tidak, mereka melihat seorang yang biasanya aktif sebagai ketua JIAD ini datang dengan memakai sarung. Sangat kental dengan identitasnya sebagai seorang muslim. Ada keinginan yang semakin dalam saya rasa di hati anak-anak kecil yang polos itu ketika mereka yang muslim melihat ada seorang Muslim dewasa juga yang berkunjung ke rumah beranjing banyak.

Tidak cukup hanya datang di tengah-tengah riuhnya dan ributnya celoteh khas anak-anak, Gus Aan juga memberikan beberapa kalimat yang memicu pikiran mereka untuk memahami bahwa perbedaan bukan untuk dipisahkan. “Semakin banyak teman yang berbeda maka kita akan semakin bahagia," tukasnya santai di depan anak-anak.

Beliau juga memimpin anak-anak muslim untuk berdoa makan malam bersama, sedangkan untuk anak-anak kristen dipimpin oleh Pdm.Yezdianda Petra.

Satu harapan bersama yang ingin diwujudkan adalah ketika mereka beranjak dewasa setidaknya mereka pernah mengingat bahwa mereka pernah makan makanan dari satu panci yang sama dengan mereka yang berbeda tempat ibadah.

Setidaknya mereka ingat bahwa teman berbeda agama lah yang menolong mereka saat jatuh ketika asyik dalam permainan. Setidaknya mereka akan tumbuh bukan menjadi generasi yang saling mengacungkan telunjuk di hadapan satu sama lain. Dan bukan juga senjata yang ditawarkan, tapi uluran tangan yang siap mengangkat dan menolong.
Tawa pecah mereka yang saling beradu, akan menjadi tawa bangsa Indonesia 10-15 tahun ke depan. Bergotong royong membangun rumah ibadah bukan bergotong royong saling menghancurkan rumah ibadah. Bersama-sama bangkit bukan lagi berkata saya kristen, saya muslim, saya Hindu, saya khonghucu, saya budha, saya penganut aliran kepercayaan, tapi berkata “Kami Indonesia”.

Post a Comment

 
Top