1

Oleh: Nur Isroatul Khusna, dosen IAIN Tulungagung

Sebelas tahun yang lalu, bagiku itu adalah KLB, Kejadian Luar Biasa,  yang pernah kualami. Bagaimana tidak, dadaku tidak pernah se”ndredeg” ataupun seekstrim itu. Bahkan rasa itu belum bisa mengalahkan rasa di mana sang suami meminangku.

Tahun 2006, aku mulai duduk di bangku SMA, tepatnya di SMAN 1 Kedungwaru Tulungagung. Biasa, di tahun pertama duduk di sekolah baru pastinya kita akan berteman dan memilih teman sebangku dengan teman lama atau setidaknya teman yang kita tahu sebelumnya di bangku SD/SMP.

Kebetulan aku berada di kelas 1A dan teman dari SMPN 1 Tulungagung yang ada di situ ada 3 orang. Aku duduk sebangku dengan Priskilla Elok Budiningrum. Dia adalah gadis yang sangat lincah, putri dari seorang pendeta di Tulungagung. Bahkan rumahnya jadi satu dengan tempat ibadahnya. Elok nama panggilannya.


Semasa itu dia sangat aktif dengan kegiatan kerohanian, bahkan dialah penggerak teman-temannya yang seiman. Masih sangat kuingat betapa merdunya suaranya, betapa piawainya dia memainkan gitar.

Jika Elok adalah pionernya siswa Kristen, hal itu sama denganku. Saat itu aku dipercaya menduduki pengurus OSIS seksi keagamaan dan sekretaris takmir masjid SMA.

Saat itu masih sangat jarang siswi yang memakai jilbab dan aku adalah satu-satunya pengurus OSIS di angkatanku yang mengenakan jilbab. Sekedar tahu saja, aku dilahirkan dari keluarga muslim yang dididik kental agama sejak kecil. Rumahku pun hadap-hadapan dengan masjid komplek keluarga. Namaku juga sangat islami “Nur Isroatul Khusna”. Di desa saya, keluargaku dipandang sebagai keluarga pesantren.

Kukira dengan latar belakang organisasiku yang macam-macam, ilmu agamaku yang kudapat sejak kecil, lingkungan yang religius akan menjadikanku pribadi yang kuat. Tapi ternyata itu belum cukup untuk menguatkanku. Sekarang aku bisa menilai ternyata duniaku masih begitu sempit dikala itu.

Inilah yang kukatakan sebagai KLB dalam hidupku yang belum mampu terhapus dari memoriku sampai saat ini.

Hari Sabtu dengan seragam pramuka kita, entah kenapa siang itu tidak ada angkot yang lewat di depan sekolah. Padahal Elok biasa menggunakan armada angkot untuk pulang dan pergi sekolah. Itu berarti dia akan terlambat pulang. Mengetahui hal itu, aku berniat mengantarkannya pulang. Kasihan dia, dari tadi menunggu angkot sampai terlihat kucel wajah manisnya.

Namun jujur, perasaanku antara takut dan kasihan. Seperti ada yang menghitung “ya-tidak-ya-tidak” untuk menawarinya kuantar pulang. Akhirnya jawaban “ya” yang menang karena tidak tega dan kasihan rumahnya jauh. "Bagaimana kalau sampai nanti tidak ada angkot?" batinku.

Saat kutawari, dia pun mnyambutnya dengan jawaban “ya” pula. Mulailah bergejolak lagi hatiku dan aku berkeyakinan nanti mengantar Elok pulang cuma sampai depan rumahnya saja.

Gejolak hatiku sebenarnya dipicu oleh masalah yang sangat sepele; rumahnya jadi satu dengan gereja! Jadi, lantai pertama adalah tempat ibadah, sedangkan lantai kedua digunakan sebagai tempat tinggal mereka. Keberadaan gereja begitu sangat kuat mengintimidasiku.

Ngeeengggggg.............

Sampailah di rumah elok. Betapa terkejutnya aku ketika sampai depan rumahnya sudah terpampang jelas tulisan “Gereja XXXXX”.

Saat itu tanganku yang masih pegang setir motor rasanya lunglai. Hellloooo.. Bagiku, wanita berjilbab dan masuk pelataran gereja itu merupakan suatu yang amazing.

Aku makin keki saat Elok memintaku masuk ke dalam. Alasannya, ibunya selalu menanyakanmu dan ingin ketemu langsung denganku.

Haduh, kalau sudah membawa-bawa kata "ibu" aku gampang sekali baper dan tida tega. Kita memang sangat akrab, kita sering berbagi makanan, berbagi cerita, makanya tidak heran jika ibunya ingin tahu siapa teman sebangku anaknya.

Okelah. Namun dalam hati aku terus mengucap macam-macam dzikir, bahkan mulai bismillah sampai ayat kursi pun aku baca. Hahahahahaha..

Aku benar-benar bingung. Wajahku entah seperti apa -- bingung, prengas-prenges, mbedundak-mbedunduk. Aku merasa itulah tampangku saat itu. Untung waktu itu belum ada CCTV. Kalau ada, mungkin saat itu akan jadi tampang terkonyolku selama hidup.

Dibukalah 2 pintu yang besar-besar. Sampai sekarang masing terngiang suara “ngeekkkkk” pertanda pintu terbuka. Yang kudapati pertama bukannya wajah ibu  temanku yang ada di situ, tapi SALIB yang GUEDHEEEEEEE terpajang di dinding.

Duh, saat saya nulis cerita ini saja masih terasa bagaimana perasaanku saat itu. Aku lemas, kudu nangis, bingung, berkeringat dingin, dan lebih parahnya aku merasa sangat berdosa terhadap diriku sendiri. B-e-r-d-o-sa.

Jujur, waktu diajak ngobrol sama ibunya Elok aku sudah tidak bisa mencerna lagi. Sampai rumah, aku langsung minta maaf sama orangtua dan bercerita tentang dadaku yang super duper jedag- jedug tapi orang tuaku tertawa dan terus berusaha menenangkanku.

Aku sih terbiasa berteman dengan non-muslim tetapi ternyata saya tak biasa untuk masuk rumah ibadahnya; gereja.

Alhamdulillah sekarang sindrom jedag-jedug itu sudah lenyap dari hidupku. Aku anggap itu pengalaman hidupku yang luar biasa, yang tidak bisa kulupakan.

Terimakasih, Elok, teman sebangku yang menyadarkanku akan pluralisme. Pengalaman itu sekaligus membuatku sadar bahwa "dolanku kurang adoh,"

Sampai saat ini persahabatan kami masih terjalin. Kami sama-sama saling menghargai bahkan bisa dibilang amat sangat saling menghargai dan tentunya kami pun saling merindukan. (*)

Post a Comment

  1. ������ baca ini gejala sindrom jedag jedug ku mulai terasa,,, sungguh luar biasa pengalaman berharga sperti itu... Salam dariku mba Nur Isroatul Khusna, dari Banyuwangi yg juga pernah jedag jedug di bulan Ramadhan tahun ini ����

    ReplyDelete

 
Top