0
Oleh: Aan Anshori

Untuk sesaat makam Gus Dur berubah menjadi lautan asap dan aroma hio, bercampur dengan doa lintas agama serta bercengkrama dengan alunan tahlil, yasin, dan ayat Al-Quran. 


****

Aku langsung menyatakan kesediaan menjadi salah satu narasumber saat ditelpon ce Js. Nanik dari klenteng Gudo Jombang. Aku dimintai tolong mengantar seratusan lebih anak muda Khong Hu Cu (KHC) berziarah ke makam Gus Dur. 

"Hah? Millenial Khong Hu Cu bisa ngumpul sampai seratus lebih? Keren itu!" ujarku pada ce Nanik.

KHC di Indonesia bisa dikatakan sebagai agama yang "pelan-pelan menuju takdir kepunahan" di kalangan Tionghoa. Pengikutnya, entahlah, semakin menurun, begitu juga di kalangan anak muda Tionghoa. 

Banyak dari mereka lebih enjoy berprotestan dan berkatolik. Sebagai salah satu pengajar di Univ. Ciputra, aku mengamati fenomena.

"Kalian harus punya strategi untuk mempertahankan eksistensi Khong Hu Cu. Jika perlu, membuat biro jodoh di internal Khong Hu Cu," ujarku guyon setengah serius saat bertemu beberapa tokoh Tionghoa di Gudo, termasuk mas Toni Harsono --ketua klenteng Gudo. 

Tanggal 23-25 Juni, ratusan anak muda KHC seluruh Indonesia ngumpul di sana. Acara Temu Asik Pemuda Agama Khong Hu Cu (TAPAK). 

Salah satu kegiatannya, berkunjung ke Museum Nusantara dan Makam Gus Dur di komplek Pesantren Tebuireng Jombang. Di sana nantinya, mereka akan bertemu dengan puluhan "pasukan" dari Semarang yang dikomandani mas Harjanto Halim. Kami akan bersama-sama melaksanakan ritual cengbeng di makam Gus Dur.

"Kok hanya bawa bunga sedap malam saja? Bawa hio juga, dong?" ujarku kepada beberapa panitia; Lissa, Bobby dan Didik.

"Kami memang pengen bawa, gus, tapi ndak enak. Masak di makam Gus Dur bakar hio," ujar salah satu dari mereka.

"Harus bawa! Hio itu kan alat sembahyang kalian. Lha kalau ndak bawa, gimana kalian mau berdoa? Pokoknya bawa. Aku yang tanggung jawab," 
"Woke, Gus" 

Aku kemudian meminta izin kepada mas Toni agar panitia disumbang hio. Aku percaya stok hio di Gudo lebih dari cukup. Dia, seperti biasanya, langsung mengiyakan. 


Dalam pikiranku, jika seratus anak muda KHC ini membawa masing-masing 2 hio saja, maka dibutuhkan duaratus batang hio. Cukup untuk "membakar" makam Gus Dur beberapa jam jika dinyalakan bersama. batinku. 

Aku melihat satu kardus besar hio disiapkan panitia. Mungkin isinya seribu batang. Sip.

Sudah terlalu sering aku berbicara pada semua tokoh lintasagama; bahwa makam Gus Dur itu, dalam pandanganku, adalah milik semua agama, tidak bisa hanya diklaim milik orang Islam. 

Ibaratnya, makam Gus Dur adalah perairan internasional. Setiap kapal memiliki kedaulatan setara yang tunduk pada hukum internasional, bukan hukum satu negara. 

Maka, setiap orang merdeka mengekspresikan doa dan ritualnya sepanjang tidak mengganggu peziarah lainnya. Uniknya, sepanjang pengalamanku berinteraksi dengan makam ini dengan aneka agama, para peziarah Islam memiliki toleransi yang sangat tinggi. Tak terhitung berapa ratus kali kata "Tuhan Yesus," "Roh Kudus," dan "Tuhan Bapa" tersembur demonstratif mampir di telinga peziarah Islam. 


Sabtu (24/5) sekitar jam 12.45, dengan menaiki kereta kelinci, seluruh peserta TAPAK di Museum Islam Indonesia K.H. Hasyim Asyari, jaraknya sekitar 500 meter dari makam GD. 

Aku tiba terlebih dahulu di sana, menyempatkan reuni dengan Ali, kawanku saat S2 di Tebuireng. Dia ngantor di sana tiap hari.

Menurut panitia, peserta hanya memiliki waktu sekitar 40 menit mengeksplorasi museum secara mandiri sebelum aku diminta menggunkan 20 menit tambahan untuk menjelaskan Gus Dur dan Tionghoa.

"Semua peserta, tolong dengarkan!" aku berteriak sembari menaiki tangga, meminta perhatian semua peserta, "Kalian akan menikmati museum ini secara berkelompok dalam waktu 20 menit,"  

Aku memberi dua tugas pada mereka; menemukan jejak-jejak Tionghoa dalam setiap hal yang ada dalam museum dan memberikan saran kepada pengelola agar museum semakin baik layanannya

Perwakilan kelompok, saat presentasi, menemukan banyak jejak-jejak simbol Tionghoa dalam museum tersebut. Aku sendiri tidak menyangka mereka mampu menyelesaikan tugas dengan baik.

"Sekarang, mari kita bergerak menuju makam Gus Dur, via pasar wisata," kataku memberi komando.

Mereka berbaris a la kadarnya, menikmati setiap lekukan jalan. Di sisi kiri-kanan berdiri lapak-lapak souvenir dengan banyak peziarah yang beristirahat.

"Lhoo Cino..." 
Aku mendengar seorang perempuan bersuara agak keras, jaraknya sekitar 2 meter dariku berjalan. Raut mukanya campuran antara senang dan kaget.

Rombongan kami memang sangat mencolok. Putih, sipit, dan semua perempuannya tak mengenakan penutup kepala. 

Sejak rombongan TAPAK masuk pasar wisata makam Gus Dur, aku memang menyempatkan memperhatikan raut muka pengunjung dan penjual. Rata-rata perhatian mereka tersedot pada sosok-sosok Tionghoa milenial ini. 

"Nanti di Tebuireng, kalau ada yang memandang kalian agak lama dengan muka unik, janganlah merasa risih ya, apalagi tersinggung. Tidak setiap hari mereka punya kesempatan bertemu orang-orang seperti kalian, para tenglang," ujarku membriefing mereka saat di museum.

Tepat di ujung pintu keluar pasar depan pintu masuk makam, aku menghentikan barisan, meminta panitia membuka kotak besar hio dan membagikannya. Tiap orang minimal mendapat dua hio. Banyak peziarah lain memperhatikan kami. bahkan ada yang "nekat" meminta hio juga.

"Jangan langsung dibakar ya. Nunggu aba-aba dariku. Pokoknya, bawa dulu masuk ke makam," ujarku.

Kami masuk lorong makam seperti serombongan pasukan, dengan hio, tawa dan keceriaan sebagai "senjata" kami.

Aku melihat joglo depan pusara Gus Dur penuh peziarah, namun bukan dari kalangan Islam. Dari pakaiannya, aku tahu mereka rombongan dari Boen Hian Tong Semarang, pasukan yang dikomandani ms Harjanto halin.  

Aku melihat mas Toni Harsono bersama kru musik Potehi duduk di dekat sumur. Terlihat seperti sedang istirahat.

Aku melihat semuanya tidak melakukan apapun. Diam. Hanya terdengar suara tahlil dan lantunan Yasiin dari peziarah Islam.

"Mungkin mereka belum mulai karena menunggu rombongan kami," batinku. Aku segera meminta ratusan anak muda KHC mengambil tempat di barisan belakang. Makam menjadi penuh sesak.

Aku kemudian mencari Ulin, korlap dari Semarang, untik berkordinasi. Ia kemudian mengarahkanku ke ce Ling Ling, pembawa acara. Secara cepat, aku mengupdate rundown acara padanya, mencari momentum kapan saat tepat membakar ratusan hio yang telah dibawa pasukan TAPAK.

"Ce, tolong taruh Khong Hu Cu di urutan terakhir doa lintasagama. Nomor lima ya, setelah Islam, Kristen, Katolik, dan Buddha. Kami akan bakar hio," 
"Lho ada hionya ta, gus? Kami sebenarnya juga pengen bakar namun sungkan," ujar ce Lili, wajahnya terlihat lebih sumringah mendengar kata hio.

Aku segera memberi kode panitia agar juga membagikan hio ke rombongan Semarang dan siapa saja yang mau. Wajah rombongan  tampak penat, seperti ingin mengatakan; kapan acaranya dimulai. Tidak ada yang lebih meresahkan selain menunggu tanpa kepastian.

"Ibu bapak, acara akan dimulai kurang dari satu menit lagi," kataku sembari berteriak. 

Segera aku kirim kode ke mas Toni yang sejak tadi sudah siap menabuh genderang tanda dimulainya acara doa bersama.

Diam-diam, aku mencium sesuatu yang agak aneh di areal makam. Bau hio. Baunya semakin lama semakin meronta-ronta, padahal aku belum memberi kode penyalaan. Hio sudah banyak yang terbakar.

Ya sudahlah. Lagian siapa yang sanggup mengendalikan massa sebanyak itu.

Dari kejauhan, aku melihat salah satu panitia mengambil segepok hio, sekitar 50-60 biji. Aku kira akan dibagikan, ternyata dibakar terlebih dahulu, sebelum dibakar. Memudahkan. 

Untuk sesaat makam Gus Dur berubah menjadi lautan asap dan aroma hio, bercampur dengan doa lintas agama yang bercengkrama dengan alunan tahlil, yasin, dan ayat Al-Quran. 

Panitia membakar lagi segepok hio. Edan! --batinku. Beberapa peziarah Islam tampak batuk-batuk. Aku sendiri mondar-mandir seperti setrika mengkordinasikan acara sembari membawa hio tak terbakar.

Doa lintas agama pun tuntas. 

Ce Ling Ling memberikan mic ke mas Harjanto Halim. Lelaki ini akan memimpin dua buah lagu; Ya Lal Waton dan Aipia --dengan iringan musik barongsay berderap-derap. 

Banyak peziarah Islam, khususnya perempuan, ikut berdiri dan nyanyi ya lal wathan. Suasananya mirip pembukaan muktamar NU.

"Kini, kita akan menutup acara kita dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya," ujar ce Lili.

Aku segera menuntun mas Gunawan, salah satu peziarah Tionghoa, untuk maju. Ia akan menjadi konduktor Indonesia Raya. 

Sebenarnya Indonesia Raya tidak masuk dalam rundown acara. Hanya saja, aku berhasil meyakinkan ce Ling Ling, betapa pentingnya lagu ini sebagai pemersatu siapapun yang hadir.

"Tapi aku ndak bisa jadi dirigent lho, gus,"
"Aku yang urus, ce. Tenang," jawabku.

Aku pun segera menelusup ke para peziarah, mencari siapa saja yang bisa menjadi konduktor. Persis seperti orang yang mencari anak hilang. 

"Aku bisa, gus," ujar lelaki tua Tinghoa di barisan belakang, memakai masker.
"Alhamdulillah. Suwun. Sampeyan sopo jenenge, mas?" tanyaku 
"Gunawan, gus"

Aku segera menggandengnya maju, membelah puluhan peziarah, untuk bergabung dengan para tamu. Aku memintanya tidak bergerak ke mana-mana. 
"Mas, apapun yang terjadi, jangan pernah bergeser dari sini," ujarku dengan mimik serius.

Mas Gunawan melakukan tugasnya dengan sangat indah. Ia memimpin ratusan peziarah --tidak peduli etnis dan agamanya-- berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama. Sayang aku tidak sempat mengabadikan videonya.

Acara selesai. Kami semua harus segera keluar makam. Pasukan Tapak dan Semarang berjalan keluar dengan formasi kirab. Paling depan; kru pembawa panji dan banner, pemanggul sinci Gus Dur, kru musik, dan pasukan.

Pasukan kirab bubar di depan masjid Ulul Albab, kembali ke Gudo. Semua terlihat puas dan lemas. (*)

Post a Comment

 
Top