0

Kalau aku pikir-pikir, banyak kegiatanku selama ini isinya adalah perjumpaan. Perjumpaan, khususnya, antara kelompok yang berbeda identitas. Baik identitas etnis dan agama maupun gender maupun berbeda seksualitasnya. 

Label yang mungkin cocok bagiku adalah mak comblang, makelar, blantik, matchmaker, atau apa saja yang senafas dengan diksi-diksi itu.

Seminggu yang lalu, aku menjomblangi rombongan dari Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS). 

Jumlahnya sekitar 26 orang --sepuluh diantaranya mahasiswa Hubungan Internasional dari Ateneo de Manila University Filipina.


"Gus, aku pengen ngajak mahasiswa/mahasiswi Filipina bisa live in di salah satu pesantren Jombang. Tolong bantuen ya," kata kawanku, Simon Untara, wakil dekan Fakultas Filsafat.

Perjumpaan dengan komunitas Islam di Indonesia, menurutnya, sangatlah penting bagi mereka. Di Filipina, tidaklah mudah bagi orang-orang Katolik untuk membaur dengan komunitas Islam. 

"Mereka sangat penasaran bagaimana bisa orang Katolik dan Islam di Jawa Timur bisa hidup sedekat ini. Aku awalnya memang menceritakan pada mereka betapa dekatnya kami dengan kalangan Islam," ujar Simon padaku.

Aku lantas memilih Pesantren Mambaul Hikam (PMH) Kwaron Diwek sebagai tempat mereka live in. Pesantren ini dipimpin oleh Kiai Irfan dan Nyai Ika. Nama yang kedua cukup aktif di GUSDURian Jombang beberapa tahun ini. 

Rombongan UKWMS tiba di PMH tanggal 28 Juni sekitar pukul 16.00, sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri. 


Sebagai penanggung jawab, Simon merasa Idul Adha merupakan momentum tepat bagi rombongan untuk lebih memahami ritual perayaan Kurban. Sangat mungkin ini merupakan pengalaman pertama bagi rombongan.

Rombongan akan menginap semalam. Tanggal 29 pagi, saat Hari Raya, mereka akan melihat ritual shalat Idul Adha dan perayaan pemotongan hewan Kurban, sebelum akhirnya mereka bertolak menuju situs katolik Puhsarang di Kediri siangnya.

Aku tiba di pesantren sekitar jam 18.30. Motoran. Bersama dengan rombongan UKWMS dan PMH, aku berkeliling menjelajahi pesantren putra. Jaraknya sekitar 500 meter dari tempat mereka menginap --pesantren putri.

Situasi malam itu begitu riuh-rendah. Suara takbiran menggema seantero pesantren. Begitu bising. 

"Not all of you surely have sensational experinces entering mosque, right? So, come. Let me guide you all to enter," ujarku pada rombongan.


Kami pun masuk masjid pesantren putra. Saat itu sedang akan dilaksanakan shalat Isya' berjamaah. 

Mereka mengobservasi dan mengabadikan apapun yang mereka anggap menarik. Diskusi-diskusi kecil seputar ritual shalat, kesucian, dan politik masjid terkait hal itu. 

Setelah dianggap cukup, kami pun kembali ke Pesantren Putri. Kami memang berencana menggelar ngobrol santai seputar Islam, kearifan lokal dan Indonesia pada jam 19.30. 

Pemantiknya adalah Kiai Irfan -- sehari-hari mengajar di Fakultas Syariah dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya. 

Presentasi dari Kiai Irfan begitu bernas dan menarik, memantik banyak mahasiswa/i Filipina mengeksplorasi lebih jauh terkait topik tersebut. Dengan tangkas, menurutku, Kiai Irfan meladeni satu per satu pertanyaan dari mereka. 

Tak terasa waktu sudah mengurung kami di titik 22.00. Waktunya tidur. 

Keesokan hari, aku datang kembali ke PMH. Aktifitas penyembelihan hewan Kurban berlangsung meriah. 

Ratusan santri/wati tumplek blek di halaman pesantren putri. Mereka bahu-membahu mengurus hewan Kurban agar bisa dinikmati yang-berhak. 

Aku melihat beberapa dari rombongan UKWMS ikut terlibat bersama para santri/wati. Pihak pesantren berinisiatif menyediakan arang, tusuk sate dan alat pemanggang bagi mereka. 

Acara nyate bersama menjadi ajang untuk saling mengakrabkan semua pihak. Mereka berkomunikasi dengan bahasa Inggris terpatah-patah, khususnya para santri/wati.

Meski tidak lebih dari 24 jam, aku merasa perjumpaan mereka dengan keluarga besar PMH meninggalkan kesan mendalam bagi semua pihak yang terlibat. Aku yakin mereka mendapat banyak insight dari perjumpaan tersebut.

Aku jadi teringat, saat diskusi malam hari sebelumnya, salah satu mahasiswi Filipina bercerita, ia didatangi seorang santri/wati. Mereka terlibat dalam obrolan untuk pertama kalinya.

"I was shocked because one of them asked me whether I believe in heaven and hell when I told them I am Catholic," ujarnya.

Aku tidak tahu apa persisnya konteks percakapan mereka sehingga muncul pertanyaan seputar surga dan neraka. Serta, bagaimana sebenarnya persepsi mahasiswi tersebut hingga merasa kaget. 


"I guess that is a such normative communication for those who made an encounter for the very first time. I think we should thank and enjoy it," ujarku disambut tertawa oleh forum.

Aku sepenuhnya menyadari pertanyaan seputar surga dan nerakan merupakan cerminan kegairahan dan ketulusan orang yang baru pertama kali mengetahui saudaranya yang berbeda agama. 

Biasanya kedua belah pihak akan berusaha mengalami dan mengkonfirmasi persamaan dan perbedaan diantara mereka.

Pengalaman ini sangat mungkin akan dikenang oleh pemiliknya dan, jika beruntung, kita bisa berharap akan ada perjumpaan lebih intensif. 



Bagiku, toleransi hanyalah akan bermakna penggelembungan busa kata-kata jika tanpa diikuti kesediaan untuk saling mengetahui satu dengan yang lain.

"Gus, bisakah kamu ikut dalam sesi jam 8-11 pagi hari Jumat? Kalau perlu aku jemput kamu ke Jombang dari Puhsarang," tanya Simon kepadaku sebelum rombongan bertolak meninggalkan PMH. 

"Serius amat anak ini," batinku. Aku mengiyakan. Seperti biasanya. Khas Gemini.

Jumat, 30 Juni, hari terakhir perjalanan rombongan UKWMS. Mereka berlabuh di Wisma Bethlehem Puhsarang. Aku memutuskan mengendarai Shogun 125 --serdadu tua setia yang masih sanggup melayaniku ke mana saja.

Ada tiga romo di forum tersebut, semuanya bergelar doktor dan pengajar di Fakultas Filsafat; Romo WIdyawan, Romo Immanuel dan Romo Ramon --- yang terakhir ini dari kelompok Opus Dei. 

Forum saat itu merupakan ajang refleksi para mahasiswa/i dari Filipina. Semuanya diminta berbicara; boleh juga bertanya. Semuanya tentu memakai bahasa Inggris. 

Aku lupa bagaimana detil pembicaraan di forum tersebut. Begitu banyak refleksi dari mereka yang, to be honest, tergolong mahasiswa/i cerdas dan pemberani bicara di depan publik. 

Forum menjadi semakin menghangat manakala ada salah satu dari mereka bertanya seputar isu LGBT di kalangan Islam dan Katolik. Sejak awal aku memang sengaja memprovokasi mereka untuk berani membincang masalah itu. 

Aku selipkan kata LGBTIQ dalam beberapa penjelasanku sebelumnya. Ingin sekali aku mendengar respon dari tiga romo terpelajar yang saat itu duduk bersama kami.

"Gus, mohon maaf, untuk masalah ini aku belum bisa komentar. Aku, terus terang saja, masih belum bisa menerima," salah satu romo berbisik padaku.

"Oooh ndak papa, Mo. Aku sangat bisa memahami kok. Semua perlu proses. Eh, kita tetap berteman kan?" ujarku menggodanya. Dia tertawa lebar.

Di akhir, Simon sebagai fasilitator forum mempersilahkan doktor Noti, dosen pembimbing dari Ateneo de Manila, untuk memberikan perspektifnya. Bahasa Inggris perempuan ini begitu bagus, pun refleksinya. 

Ia mengatakan betapa berharganya pengalaman bisa live in dan menikmati kehidupan langsung pesantren, sekaligus melihat dari dekat komunitas Muslim di Jombang. Ia berharap dapat melakukan kunjungan seperti ini setiap tahun.  

Tugasku sebagai makelar usai sekitar pujul 12.30. Aku pamit, menggeber Shogunku membelah Kediri-Papar-Kunjang-Gudo-Cukir dan akhirnya kembali ke rumah. 

Entah kemana lagi makelar ini akan diutus Gusti.(*)
Next
This is the most recent post.
Previous
Older Post

Post a Comment

 
Top