0

"Kapan lagi kamu bisa dilayani secara khusus oleh mayoritas seperti ini. Selama ini kan kalian sering didzalimi, dipinggirkan oleh banyak orang Islam sepertiku tho?" sahutku bercanda, sembari terus mengulek bumbu rujak.

Siang hingga sore kemarin, Kamis (4/11), kami akhirnya melakukan "interfaith community praying," dengan judul "Rujakan Cinta," Lokasinya di rumah dinas (pastri) Pdt. Ridha, GKJW Bongsorejo Grogol Diwek Jombang. 

Kata “praying,” tidak perlu terlalu serius dimaknai sebagai shalat, ibadah atau aneka ritual serba ketat dalam lintasan agama tertentu.

“Praying,” kami maknai sebagai arena berkumpul mensyukuri apa yang Tuhan kami telah berikan. 

Rasa syukur kami manifestasikan dengan cara membincang apa saja yang kami anggap penting untuk dibicarakan. Topiknya mungkin tidak dianggap penting oleh orang lain namun bisa sebaliknya menurut kami.

Sedangkan “kata interfaith community,” merujuk pada keragamaan kami yang hadir saat itu. Ya kami memang beragam. 

Aku, Susi dan Fuad, dari kelompok Islam. Pdt. Ridha dari GKJW Bongsorejo bersama Pdt. Anggrani dan Endah Yulianti dari GKJW Mutersari. 

Lalu ada Mbak Lik dari Gereja Bala Keselamatan Penggaron Mojowarno serta mas Eko --dosen Ciputra yang pernah melayani di GKJ Sawo Kembar depan UKDW. 

Forum menjadi semakin Kristen saat Pdt. Diah dari GKI Jombang ikut bergabung. Ia tidak sendirian karena ada Putri, perempuan Batak, calon pendeta dari STT Jakarta, yang sedang berproses di GKI.



“Halo Putri. Kamu .... nomor punggung berapa?” tanyaku sembari menyebut marga Bataknya.
“Ah, aku tidak punya nomor punggung,” ujarnya tegas sembari tersenyum.
“Bukan Toba berarti?” aku memburu.
“Toba lahhh,” sahutnya cepat. Giliranku kini yang agak bingung, "Kok bisa ada Batak Toba tidak bernomor punggung?"


Kebingunganku tak bertahan lama. Cerita demi cerita berdentuman, saling sahut menyahuti. Menimpali. 

Pdt. Diah, misalnya. Perempuan yang tetap bersetia melajang ini membagi cerita perkembangan FKUB Jombang yang baru saja berganti kepengurusan. 

“Nggak diundang pelantikan FKUB, gus?” tanyanya padaku. Aku hanya tertawa sembari menyatakan jawaban atas pertanyaan itu sudah sangat benderang; tidak. 

“Kamu tahu sendiri lah, aku ini sangat siap bertemu dengan siapa saja. Masalahnya, mereka nyaman bertemu denganku tidak?” ujarku sembari tertawa. 

Meski tidak hadir saat itu, tambahku, aku telah memberikan ucapan selamat kepada pengurus FKUB baru, melalui siaran pers yang aku bagikan ke beberapa wartawan. Termasuk, harapan dan asa yang aku impikan pada FKUB baru. 

Aku memang mengidealkan FKUB Jombang berperan lebih aktif mempromosikan kerja-kerja lintasagama yang lebih progresif. 



Tidak hanya sebagai arena pamer kekuatan mayoritas yang mengidap sindrome inferiority complex --meminjam istilah Prof. Wertheim -- dihadapan kelompok minoritas. Apalagi jika eksistensi mayoritas malah justru digunakan bersiasat menghambat hak-hak minoritas, misalnya, dalam pengembangan rumah ibadah.  

“Eh, gus,, sebentar lagi PGIS Jombang akan terbentuk lho,” ujar Diah.

Informasi sungguh mengagetkan bagiku. Aku tidak menyangka PGIS akan segera terbentuk di kabupatenku. 

Sebagai catatan, cukup lama aku mendorong banyak kawanku pendeta di Jombang untuk berani membuat organisasi gereja baru dibawah aras PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia). 

Selama ini, setahuku, baru ada dua organisasi gereja; satu , BKSG --badan kerjasama antargereja-- sifatnya lokal, dan kedua, PGLII, Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili Indonesia. Yang pertama diketuai Pdt. Heri AMM dan yang kedua oleh Pdt. Eddy Kusmayadi. Aku mengenal dua-duanya.

Aku percaya, jika sudah terbentuk nantinya, PGIS akan semakin menggairahkan kehidupan antaragama di Jombang, khususnya kekristenan. 

Saat diundang pada pertemuan dengan pengurus baru PGI provinsi, aku mendorong organisasi ini mampu mengaktifasi PGI di kabupaten/kota di Jawa Timur. 

Mungkin ada banyak orang heran; kenapa ada orang Islam yang malah justru mendorong kekristenan supaya lebih tumbuh --pada saat Islam aliran utama memilih bersikap konfrontatif dan destruktif pada kekristenan --seperti tragedi yang menimpa HKBP Jombang.

Aku sendiri tidak tahu jawaban persisnya. Namun jika pertanyaan itu dilontarkan padaku, aku akan menjawabnya; bahwa aku tidak merasa kekristenan, maupun agama lain, sebagai ancaman bagi Islam di Indonesia, termasuk di Jombang. 

Negara yang sangat beragam ini terlalu sayang jika dipaksakan menjadi satu warna, satu agama. Seragam. Tidak bisa! 

Penyeragaman justru akan menghina akal sehat, kewarasan dan bertentangan pula dengan ruh konstitusi yang telah disepakati oleh para founding mothers and fathers kita.

Mungkin akan banyak orang tidak sependapat denganku atas hal ini. Tidak masalah. 

Namun, bisa aku katakan, tugas mulia orang Islam di manapun ia berada--baik saat menjadi minoritas maupun mayoritas-- adalah menjadi rahmatan lil ‘alamin. 




Ia tidak hanya diwajibkan merawat keislamannya namun, lebih jauh, ia juga memiliki keharusan memastikan kelompok lain dapat hidup secara layak, setara, dan diperlakukan dengan adil. 

Orang Islam tidak sepantasnya bersikap egois, mau menang sendiri, dan serakah. Tiga hal tersebut, jika dilakukan,  justru malah mengkerdilkan kebesaran Islam sendiri. Yang besar harus melindungi yang kecil, memberikan kebijakan afirmatif.

“Gus, ojok nglamun. Sambel rujaknya mau habis. Ayo bikin lagi dong,” kata Pdt. Ridha. (*)

Post a Comment

 
Top