0

Seminggu lalu, seorang kawan mengontakku. Mengabarkan salah satu anak didiknya ikut duta moderasi beragama. Aku mengapresiasi pencapaian tersebut.

"Apa yang bisa aku bantu?" tanyaku.

Gayung pun bersambut. 

Ia menyatakan anaknya butuh terlibat dalam kegiatan lintas agama di Jombang, sebagai salah satu syarat menjadi moderat. 

Aku kemudian teringat Mln. Edi, muballigh Ahmadiyah yang juga penggerak GDian Jombang. Ia pernah menyatakan rencana kawan-kawan lintas agama kecamatan Wonosalam mendirikan GUSDURian di sana. 


"Kenapa tidak diarahkan saja ke sana?" batinku.

Kawanku setuju. 

Aku juga mengajukan syarat padanya; harus banyak muridnya datang pada acara di Wonosalam.

Lagi-lagi ia setuju. 

Menurutku, moderasi Islam yang sesungguhnya bukan terletak di mulut, rungang seminar, konferensi, simposium, atau sederet angka di sheet APBN/APBD.

Moderasi berislam, bagiku, adalah mengunjungi dan berdialog dengan pemeluk agama lain di rumah ibadah mereka. Ini adalah ciri moderasi berislam paling minimal. 

Tanpa kesediaan mengunjungi dan berdialog di tempat mereka, Islam masih kita posisikan sebagai yang lebih unggul, "hanya mau disowani," dan "rikuh membumi," Padahal moderasi Islam bermakna ia perlu rendah hati.

Maka, acara besok pagi adalah semacam interreligious exposure yang ditandai dengan bertemunya banyak pihak. Mereka melebur di GDian dengan tetap membawa identitas mereka. Identitas tersebut tidak boleh tercerabut. Harus tetap ada. 

Rencananya, aku akan diminta mengeksplorasi sedikit tentang 9 nilai Gus Dur. Panitia menamainya "kelas pemikiran Gus Dur," -- yang tentu saja berbeda dengan KPG sebagaimana dilakukan seknas Jaringan Gusdurian. Beda. Kelas pemikiran GD a la seknas biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari.

Sampai jumpa besok!


Post a Comment

 
Top