0

**Armada Riyanto CM

Pengantar. Tulisan ini saya dapat dari seorang teman; Anita Lie, Katolik taat dan profesor di UKWM Surabaya. Ia mengirimkan beserta screenshoot status korespondensi email dari Rm. Armada Riyanto CM kepada --dugaan saya-- teman-teman NU. Email tersebut berisi tulisan ini agar bisa dimuat di situs berbasis NU. Yang mengagetkan saya, tanggal pengiriman tersebut 5 Februari 2010! --beberapa bulan pascawafatnya Gus Dur. Saya lebih kaget lagi karena Rm. Armada menggunakan kata "Gus Dur-ian" -- jauh sebelum Gusdurian mulai dikenal luas publik seperti saat ini. Barangkali, ini kali pertama kata "Gusdurian" dikenalkan ke publik, lengkap dengan refleksi teologis-Katolik yang begitu dalam untuk Gus Dur dan para pengikutnya. Terima kasih Rm. Armada dan Ce Anita Lie. -- Aan Anshori

***

    Kehadiran Gus Dur sepanjang hidupnya merupakan perspektif kedalaman. Ia tidak hanya seorang ulama, tetapi juga seorang filosof (pemikir dalam makna yang mendalam), seorang raja (menurut Prof Franz Magnis-Suseno), seorang negarawan, seorang pluralis (menurut banyak kalangan), seorang multi-kulturalis, seorang guru, seorang pembelajar, seorang sahabat. 

Hampir tidak mungkin melukiskan Gus Dur dengan ungkapan bahasa yang mampu menjangkau kekayaan dan kedalaman kehadirannya. Ia seorang humoris. Ia juga yang melempar koin perspektif politik ke dalam bahasa sehari-hari. Dalam Gus Dur politik tidak lagi berada dalam bahasa tabu. Perkara komunisme, PKI, dan segala simbol kesuraman politik dibahas dalam cara-cara yang lebih manusiawi.

Gus Dur bukan deklarator sejarah sukses bangsa Indonesia, tetapi dialah barangkali satu-satunya manusia Indonesia yang berani berkata bahwa sejarah adalah sejarah jatuh-bangun bangsa. Sejarah bukanlah dongeng atau kisah-kisah kemenangan dan kesaktian. Sejarah adalah juga ingatan akan salah paham yang menyakitkan. Dialah presiden pertama yang meminta maaf atas segala kekacauan yang ditimbulkan oleh salah paham. Mengikuti Almarhum Yohanes Paulus II yang meminta maaf atas aneka kekerasan dalam sejarah, Gus Dur meminta maaf pula atas aneka kebrutalan masa lampau yang pernah dikerjakan oleh bangsa ini. 

Gus Dur di akhir hidupnya tampil sebagai seorang manusia yang terbatas secara fisik. Penglihatan berkurang. Tetapi, intuisi dan common sense tidak pernah sepi untuk menyuarakan kita kembali kepada nurani yang mencintai dan menjunjung tinggi harkat manusiawi. 

***

PLURALISME

Dalam kehadiran Gus Dur, konsep kita tentang pluralisme bergeser secara signifikan mendalam. Pluralisme identik dengan keberagaman. Keberagaman mengatakan keindahan. Jadi, pluralisme adalah perkara tentang keindahan. 

Gus Dur adalah sosok yang mempromosikan keberagaman dalam suasana yang lain, yang berbeda dengan banyak cendekiawan dan budayawan dan para ulama. Promosi keberagaman oleh Gus Dur banyak dipondasikan pada paradigma kultur kampung. 

Kultur kampung bukanlah mendangkal. Kultur kampung hanya untuk mengatakan bahwa Gus Dur sebagai sosok tokoh memiliki kedalaman pada tataran logika populis. Logika populis adalah logika rakyat, logika orang kampung. Ia mulai dengan kejenakaan, kenylenehan, sekaligus keindahan. Sosok Gus Dur adalah sosok yang segar dalam pemikiran. Idenya memiliki kedalaman makna transendental. 

Gus Dur menghapus departemen penerangan. Dalam makna sehari-hari, departemen penerangan berurusan dengan komunikasi politik pemerintah. Komunikasi politik berkaitan langsung dengan bahasa. Maka, departemen penerangan boleh disebut sebagai departemen “bahasa” politik. Sebagai sebuah departemen, kerja dan proyeknya mengabdi kepentingan. Kepentingan di sini jelas milik penguasa. Tanpa disadari, departemen bahasa ini membuat kekuasaan memiliki logika bahasa yang eksklusif. Eksklusif artinya bahasa departemen penerangan mengatakan pula ranah-ranah penyingkiran dan pemberhangusan segala simbol yang berasal dari rakyat. 

***

“A COMMON WORD” DIALOGAL

Semangat Gus Dur dalam berdialog interreligius mengingatkan kita akan A common word, sebuah surat terbuka kepada para pemimpin umat Kristiani di dunia. 

Di tengah hingar bingar kekacauan dunia yang sarat kekerasan setiap hari, telah dilayangkan sebuah “Open letter” yang barangkali telah mengukir rekor sebagai dokumen surat paling banyak dibaca di planet ini. Sebuah surat yang mengusung pesan damai dan menyejukkan hati di penghujung tahun 2007. 

Surat itu berjudul “A common word between us and you”. Surat dilayangkan secara terbuka oleh “138 Islamic scholars” (di antaranya juga berasal dari Asia, juga Indonesia), ditujukan kepada Paus Benedictus XVI dan para Pemimpin Umat Kristiani di seluruh dunia, dirilis tanggal 13 Oktober 2007 dari sebuah situs yang beralamatkan: “The Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought, Jordan” (di http://www.acommonword.com). 

Judul mengatakan isinya. “A common word between us and you” bukan sekedar kata, tetapi kehendak, tekad, tindakan yang sama di antara “us” (umat Islam) dan “you” (umat Kristiani). 

“A common word between us and you” berasal dari Sang Nabi Muhammad sendiri yang giat mengupayakan tekad rekonsiliatif mengingat ada pertentangan yang merenggangkan hubungannya dengan komunitas Kristen (Samir Khalil Samir, Respond to Open Letter). “Come let us agree on at least one common ground:  that we shall worship none but God (the oneness of God) and that we shall ascribe no partner unto Him, and that none of us shall take others for lords beside God” (Sura of the family of Imran, 3:64). 

Yang dimaksud “a common word” ialah “cinta kepada Allah” (love of God) dan “cinta kepada sesama (love of neighbor).” Artinya, dialog Islam Kristen menemukan fondasi solidnya pada tindakan yang sama bahwa umat Islam dan Kristiani sama-sama mencintai Allah dan sesama. 

Dalam Islam, Allah sendiri bersabda, “Say: He is God, the One! God, the Self-Sufficient Besought of all!” (Al-Ikhlas, 112:1-2). Sedangkan tentang keharusan cinta kepadaNya, Allah bersabda, So invoke the Name of thy Lord and devote thyself to Him with a complete devotion (Al-Muzzammil, 73:8). Sementara mengenai cinta sesama, Nabi Muhammad berkata: “None of you has faith until you love for your neighbour what you love for yourself” (A Common Word). 

Bagi umat Kristiani, Yesus Kristus bersabda: “‘Hear, O Israel, the Lord our God, the Lord is One. And you shall love the Lord your God with all your heart, with all your soul, with all your mind, and with all your strength.’ This is the first commandment. And the second, like it, is this: ‘You shall love your neighbor as yourself.’ There is no other commandment greater than these.” (Mark 12:29-31). 

Dalam “love of neighbor” di sini, terminologi“neighbor” merujuk kepada term Arab “qarîb” yang sekaligus mengatakan “semua orang”, bukan “jâr” yang memaksudkan “sesama” dengan syarat-syarat kategorial seperti tetangga di sebelah rumah atau saudara-saudari seiman dan seagama.

Luar biasa Surat ini! Pesannya lantas mengajak umat Kristiani (dan dari sendirinya juga umat Islam) untuk mencintai sesamanya tanpa melihat kategori apa pun termasuk agama! 

***

DIALOG KEHIDUPAN

    Gus Dur sebagai sosok deklarator dialog interreligius tidak mencetuskan kata-kata manis, melainkan sikap dan perspektif nyata dalam kolaborasi dan kehidupan. 

“Open letter” bukanlah sekedar rangkaian kata-kata indah. Surat memahat tekad dan cita-cita manusia-manusia yang berkehendak dan berbudi baik. Bagian terberat dari isi “Open letter” pastilah tidak pada akurasi menemukan kekayaan maknanya, melainkan pada kelanjutan implikasi dan aplikasinya dalam dialog kehidupan sehari-hari. 

Di planet ini umat Islam dan Kristiani menyumbang lebih dari setengah jumlah seluruh populasinya. Dan, jika dipetakan, mereka berada pada posisi wilayah krusial terkait masalah konflik-damai seluruh umat manusia. “Without peace and justice between these two religious communities, there can be no meaningful peace in the world. The future of the world depends on peace between Muslims and Christians.” (A Common Word) 

Ketika kehidupan didasarkan pada pertimbangan reduktif-primordial mayoritas minoritas, kebersamaan tidak lebih dari sekedar sebuah ajang persaingan, konflik, dan relasi menang kalah. 138 kaum cendekia dan pimpinan Islam di dunia secara konkret menegaskan bahwa dalam tata hidup bersama, sungguh tidak masuk akal membayangkan penerapan sikap-sikap menang bagi kelompok sendiri dan penyingkiran terhadap kelompok lain. Dengan ini para pencetus Open letter juga mendesakkan pesan bahwa perdamaian sangat mengandaikan keadilan dan koeksistensi. 

Gordon Brown, PM Inggris, menyebut Open letter sebagai sebuah tekad baik untuk mengisolasi para ekstrimis yang membungkus kekerasan dengan baju dan ornamen doktrinal-fundamental agamis. Tetapi, halnya pasti tidak hanya untuk menepis gerakan ekstrimisme melainkan juga menghantam bentuk-bentuk mental sempit komunalisme, monolitisme dan minoritas-mayoritas-isme!

***

DIALOGAL DAN AUTOKRITIK

Suatu hari Gus Dur ditanya, kenapa dia kerap mengritik Islam. Gus Dur menjawab, jika kita tidak memiliki kritik diri, tidak mungkin kita bisa berkembang. Lagi pula, siapakah kita, sehingga kita tidak bisa dikritik?! Kalimat ini saya dengar sendiri dalam kesempatan dialog di pesantren Nglawak, Kertosono. 

Salah satu bahaya konkret dari dialog adalah formalisme. Sungguh berbahaya, bila dialog agama hanya diupayakan tampak manis semata dalam panggung-panggung pertunjukan atau dengan aneka peraturan. Para partisipan adalah penonton yang menikmati aneka uraian manis-manis tentang agama masing-masing, tetapi tidak berpijak dan berlanjut kepada promosi relasi-relasi damai dan kolaborasi satu sama lain. 

Dialog yang benar juga mengandaikan sikap autokritik (kritik diri). Open letter of the 138 Islamic scholars memiliki implikasi tegas, yakni studi bersama, termasuk di dalamnya elaborasi, rekonsiliasi serta autokritisi. 

Autokritisi adalah aktivitas evaluasi diri atas penghayatan subjektif iman sendiri dalam hidup konkret. Pertanyaan autokritik paling krusial ialah apakah agama yang aku hayati membawa kepada penerimaan dan penyambutan orang lain sebagaimana adanya; atau apakah aku menuntut orang lain juga harus masuk dan tunduk dalam ranah etis agamaku. 

Kerukunan  dan perdamaian tidak mengandaikan peraturan tetapi meminta hati yang rajin memperbaharui diri. 

Paus dan para pemimpin Kristiani seluruh dunia telah mendesak kelompok-kelompok umat untuk segera melakukan studi, kolaborasi dan autokritisi sebagai tangggapan konkret atas Open Letter ini. Harapan dan ajakan yang sama pasti juga diajukan kepada umat Islam di seluruh dunia. Di rumah kita. Di kampung Duri. Di tanah air sendiri. 

***

MEMBELA AGAMA? BELALAH MANUSIA

Gus Dur pernah berkata, para teroris terlalu yakin bahwa tindakannya akan diganjar surga dan bidadari-bidadari cantik. Kata siapa? Wong tidak ada satu pun dari kita, tidak juga ulama, pernah naik mencicipi surga. Gus Dur tidak sedang berandai tentang surga. Tetapi, betapa neraka akan tercipta jika kehidupan keseharian kita berlumuran kekerasan. 

Jika kita adalah bangsa beragama, tetapi pada saat yang sama kekerasan merebak begitu gampang, bangsa ini benar-benar “tidak menarik.” Dan, agama yang kita kibarkan sebagai bendera kehidupan pun juga “tidak menarik.”

Ungkapan “tidak menarik” berada dalam kategori etis hipokrit, munafik, saleh-palsu, “ngomongnya doang suci-suci”, agama-KTP (agama cuma dalam KTP tetapi tidak dalam hidup), dan seterusnya. 

Kebringasan dan ancaman penyerangan pada Lembah Karmel adalah emblem hipokrisi bangsa ini. Kekerasan atas nama agama, tulis Azyumardi Azra, bukan hanya menunjukkan “stateless society” (negara gagal) tetapi juga menjerumuskan agama pada realitas paling tidak simpatik (Kompas, Jumat, 27 Juli 2007). 

Seorang Sufi dari India pernah berkata, “Jika kamu ingin masuk surga, jangan bela agama. Belalah manusia!” 

Membela agama itu membela apa sih? Membela masjid, gereja, pura, candi; atau membela buku Alqur’an, Bible, Tripitaka, Weda; atau membela lembah, gunung, tanah, wilayah? 

Sang Sufi berkata, “Kalaupun masjid atau gereja atau pura tidak dirobohkan, ia akan lapuk, roboh sendiri oleh waktu. Sedangkan buku atau kitab suci apa pun, kalaupun tidak terbakar juga akan dimakan ngengat. Sementara lembah, gunung, tanah, wilayah? Kalian kan cuma tahu menempati. Masakan gunung itu buatan tanganmu? Andai kamu yang membuatnya, kamu baru bisa mengklaim gunung atau lembah itu milikmu!”

Tanpa kita sadari kita kerap meyakini benar bahwa aktivitas membela segala simbol-simbol itu yang utama, lebih utama dari ketaatan beriman. Tidak heran, di kampung saya, masjid didirikan secara beruntun bahkan hanya dalam jarak kurang dari 100 meter dari yang lainnya. Seakan-akan rumah ibadat adalah jaminan masuk surga. 

Kemunduran hidup beragama telah di depan pintu kita. Agama sesungguhnya hanyalah simbol hegemoni manusia. Yang terjadi sebenarnya, manusia serakah, beringas, suka menerkam, menerjang, menendang dan menyakiti sesama yang lain. Agama dipakai sekedar untuk menguasai sesamanya, siapa saja. Agama hanya pakaian. Agama cuma penutup kepala. Agama adalah jubah belaka. Agama sesungguhnya bukan apa-apa, nothing, dalam kehidupan nyata. 

***

TANAH UNTUK SEMUA

    Boleh berantem, tetapi harus tetap menjaga kesatuan, celutuk Gus Dur menimpali banyanya pertikaian antargolongan, suku, agama dll di negara kita. Komentar kontradiktif ini sangat powerful ketika kita menyadari bahwa kebersatuan berarti keadilan, toleransi, dan membela kebebasan. 

Semua yang menyebut diri warga Indonesia harus yakin bahwa “Tanah ini” (negara Indonesia) ada tidak di-setting untuk satu golongan, apalagi satu golongan agama! Jika Islam dapat berbangga karena menjadi golongan mayoritas, itu baru terjadi satu abad belakangan ini (atau malah beberapa tahun belakangan ini saja). Sebelum pemerintah memerintahkan mencantumkan jenis agama dalam KTP setiap orang, tidak diketahui pasti berapa manusia yang beragama Islam (atau sebutlah berapa yang beragama). 

Artinya, marilah kita membayangkan bahwa nenek moyang kita dulu tidak dari sendirinya memiliki agama (apalagi agama Islam/Kristen/Katolik). Karena itu tidak fair jika kelompok yang satu mengklaim punya hak lebih dari kelompok yang lain. Di tanah ini. 

Sukarno, Hatta, Supomo, Wachid Hasyim, Agus Salim, Maramis, Ny. Santoso, Latuharhary dan the Founding Fathers telah meletakkan pondasi yang kokoh untuk Indonesia bagi semua. 

Universal Declaration of Human Rights, aneka piagam dari berbagai produk konvensi PBB sejak berdiri hingga saat ini, Pancasila, UUD 1945, aneka produk ketentuan sidang lembaga tertinggi negeri ini (kecuali perda-perda agamis yang inkoheren dengan konstitusi), semuanya telah menggariskan pemandangan yang sama atas hak-hak dasar manusia. 

Di Lembah Karmel, sekelompok orang dengan motivasi tak jelas dengan mengatasnamakan agama tertentu mengklaim diri seakan-akan telah memiliki hak lebih dari sesamanya, bertindak semena-mena terhadap yang lain. Adalah emblem kemunafikan konsep-konsep kesalehan yang direduksi pada level paling rendah. 

Jika ada kelompok yang takut akan “kemurtadan”. Istilah “murtad” adalah istilah yang memiliki perspektif dan lingkup keluasan penerapan. Jika orang memiliki kegelisahan dalam agamanya dan lantas melepaskan agama itu serta menyebut diri “tidak beragama” atau memeluk iman yang lain, bagi kita dari kalangan agamanya menyebut “dia telah murtad”. Tetapi, dalam perspektifnya, dia tidak serta merta bisa kita kita kutuk karena perbuatannya, sebab dengan itu barangkali dia malah lebih tenang dan mengalami pengalaman spiritual yang menenteramkan dia. 

***

KONTEMPLASI KEGELISAHAN

Gus Dur adalah sosok yang berani. Bukan dalam kata dan jawaban, tetapi dalam bertanya, kritik-diri, dan kontemplasi. Bahkan kontemplasi tentang apa yang sudah jelas dari sendirinya. 

Orang beragama sering kali gelisah (terganggu) tentang pertanyaan ateistis, “apakah Tuhan ada atau tidak?” Tetapi hampir belum pernah aku mendengar pertanyaan kegelisahan tentang realitas sehari-hari hidup manusia, “apakah orang beragama itu ada atau tidak?” 

Pertanyaan pertama berkaitan dengan Tuhan. Sedangkan pertanyaan kedua langsung berhubungan dengan realitas manusia. Realitas kita. Pertanyaan tentang manusia merupakan pertanyaan kegelisahan. Karena itu konkret, berurusan dengan kenyataan hidup sehari-hari. Selain itu, hatiku memang lagi gelisah. Aku tidak menyangkal kegelisahan itu. 

Humanisme aku pandang memiliki pijakan dari sini. Dari aktivitas menyoal manusia, menyoal diri sendiri. Dalam konteks hidup beragama, apakah manusia yang beragama itu sungguh ada atau tidak. Maksudnya, apakah kita beragama karena kita menghayati nilai-nilai agama dalam hidup ataukah  sekedar mengenakan “baju,” “jubah,” “ornamen” formal agama? 

Pertanyaan humanis bukan berangkat dari kesangsian. Juga bukan dari keragu-raguan. Tetapi dari kegelisahan. Kegelisahan yang berakar dari keprihatinan. Keprihatinan tentang hidup, hidup beragama. Hidup kita. Hidup bersama kita sebagai manusia-manusia.

Pertanyaan humanis muncul dari kecemasan. Cemas oleh peradaban-peradaban dishumanis (tak manusiawi) yang tiba-tiba hadir dalam bentuk simbol-simbol memilukan. Sekaligus mengerikan. Seperti “poso,” “ambon,” “aceh,” “ketapang,” “sambas,” “sampit” (lima kota terakhir pada beberapa tahun lalu), “…”. Dalam kegelisahan, mereka bukan lagi nama kota-kota kita yang indah mempesona. Melainkan telah mendadak berubah menjadi simbol-simbol kekerasan yang memilukan. Simbol-simbol kebiadaban, bahkan. Bagi siapa saja. 

Kekerasan terasa aneh bila itu menyukakan Tuhan. Malah terasa jelas kekerasan menjadi simbol ke-tidak-manusiawian, kebiadaban. 

***

AGAMA TIDAK MENGAJARKAN KEKERASAN

Benar. Agama tidak mengajarkan kekerasan. Demikian komentar tegas dari seorang sahabat kepadaku. Segala apa yang jahat, seperti tindakan membunuh, menteror, membakar, memusnahkan sesama manusia itu tidak berasal dari agama. Kitab suci dari apa pun agama tidak mengajarkan kegampangan seputar kekerasan. Agama itu mengajarkan perdamaian. Bahkan, agama itu sendiri identik dengan perdamaian. 

Tetapi, ya tetapi, ada kegelisahan konkret seputar adagium agama itu perdamaian. Apa? Ternyata, para tokoh, pelaksana, eksponen, pelaku, penganjur, pengkotbah ancaman dan kekerasan itu adalah orang-orang beragama. Malah ada yang terkemuka, agamawan intelektual. Mengapa? 

Sahabatku tadi menegaskan bahwa mereka itu bukan orang-orang beragama yang baik. Yang jelas, sekali lagi, agama tidak mengajarkan kekerasan! Tegas sahabatku dengan penuh keyakinan dan kepastian. 

Okeylah agama itu tidak mengajarkan kekerasan. Tapi, apa artinya agama kalau tidak mampu mengajarkan sesuatu yang mencegah tindakan kekerasan? Apakah artinya agama jika tidak melestarikan kehidupan manusia? Apakah maknanya sebuah agama kalau tidak mampu menahan sekelompok manusia (yang beragama itu) untuk memusnahkan sesamanya satu kampung, satu desa, satu wilayah ... seperti di ambon, poso, dst.? 

Agama, dalam pengertian sahabatku tadi, dan mungkin juga pengertian kita sehari-hari, dipahami secara formal. Agama seakan-akan merupakan realitas lain yang terpisah dari realitas hidup sehari-hari. Jika realitas hidup antarmanusia didominasi rasa benci, itu bukan karena agama. Jika hidup sehari-hari dikuasai oleh sikap dendam, itu bukan disebabkan agama. Jika hidup sehari-hari kacau dengan konflik berdarah berkepanjangan, itu tidak ada hubungannya dengan agama. Jika ada teror oleh sekelompok orang, itu bukan karena agama. Agama tidak mengajarkan semua kejahatan yang menghancurkan kelestarian hidup bersama. 

Oh ... aku terus bertanya kepada sang Khalik, apakah artinya agama dengan seperangkat kebenaran tentang-Mu, kalau itu tidak UNTUK melestarikan hidup bersama antarmanusia dalam keseharian mereka? 

Aku terdiam. 

***

UBI CARITAS DEUS IBI EST

Sayup-sayup ada musik indah memecah kesunyian. Sebuah lagu sederhana. Tetapi alunan melodinya memancarkan keagungan pesan. Ubi caritas Deus ibi est. Demikian judulnya. Aku ingat dengan pasti. Artinya: Di mana ada cinta, di situ Tuhan hadir. 

Kesederhanaan. Keagungan. Sekaligus ketegasan pesan. Dari lagu itu. Semuanya membawa aku kepada ingatan akan realitas hidup bersama  sebagai orang-orang beragama. Realitasnya: hidup beragama terasa kompleks, rumit. Sekaligus dangkal. Mengapa? Entah mengapa.

Tetapi, yang pasti karena ukuran ketakwaan kepada Tuhan kerap dipikirkan dalam aneka wujud formal dangkal. Ketaatan kerap kita pikirkan dalam kaitannya dengan aktivitas kolosal membangun rumah-rumah ibadat, pusat-pusat keagamaan, radikalisme dan fanatisme perjuangan perkara ratifikasi suatu peraturan, hukum, syariat, wajib ini atau itu atas nama perda atau perwil, dilarang keluar rumah mulai pukul delapan malam bagi cewek dan yang semacamnya. Pembelaan ini dan itu yang berurusan dengan delik-delik kepentingan di luar konteks realitas hidup kita secara konkret. 

Kita terlalu mengira kemegahan adalah tempat yang menyenangkan bagi kehadiran Tuhan. Kita terlalu mengira kehebatan pusat-pusat keagamaan adalah tempat-tempat yang disukai oleh Tuhan. Kita terlalu mengira jika sudah ada “kewajiban” ini atau itu dijalankan, Tuhan lantas senang, tertawa-tawa atau bangga dengan kita. Yang lebih runyam lagi, kita terlalu mengira jika sudah bisa mengalahkan atau menyisihkan kelompok lain (kelompok agama lain, maksudnya), kita lantas telah merasa sukses dalam perjuangan keagamaan.

Persaudaraan keagamaan tidak lain dan tidak bukan kerap hanya untuk menindas yang lain dengan alasan suci demi kerukunan umat. Yang lebih menyesakkan lagi, kita terlalu mengira bahwa fanatisme, radikalisme, jihat, kemartiran dan yang semacamnya identik dengan heroisme keimanan kepada Tuhan. 

Kita terlalu mengira bahwa Tuhan berkenan dengan semua aktivitas kita itu. Aktivitas egoistik pribadi, golongan, maupun kelompok yang kita bungkus dengan aneka alasan suci, bahkan aneka ayat suci. 

Mengapa kita tidak pernah bertanya apakah Tuhan berkenan dan menyukai segala rencana dan tindakan kita tersebut?

Padahal, Ubi caritas Deus ibi est. Hanya itu. Hanya di mana ada cinta, di situ Tuhan hadir. Tuhan tidak menuntut bangunan rumah ibadat megah. Sebab seandainya Tuhan senang dengan rumah ibadat megah, harus kita andaikan, sebagai konsekuensinya, saudara-saudara kita di daerah-daerah miskin yang tak bisa membangun rumah ibadat megah tidak pernah menyukakan hati Tuhan. Tuhan pasti tidak demikian!

Tuhan juga tidak meminta persembahan. Juga tidak segala macam bentuk korban bakaran. Pun tidak kata-kata indah dalam doa yang keluar dari mulut kita (sebab mulut kita berbau busuk lantaran seringnya mencerca, memvonis, menjelek-jelekkan orang lain dan memprovokasi orang lain untuk melakukan aneka tindakan kekerasan). 

Juga, segala bentuk aktivitas heroisme dangkal berupa tindakan perang, terorisme, dan aneka macam sikap pembelaan dengan bungkus istilah-istilah suci, seperti “jihat,” “martir,” dan seterusnya. Rasanya, apabila konsekuensi dari semuanya itu berupa kesengsaraan, perseteruan, perpecahan, penderitaan, hancur-hancuran yang jauh dari karakter manusia-manusia yang beradab ... sulit untuk memahami bahwa Tuhan berkenan dengan semua aktivitas heroik tersebut. Juga bahkan apabila segala aktivitas heroik itu memiliki justifikasi ayat-ayat dari Kitab Suci. 

Ya, Ubi caritas Deus ibi est. Tuhan meminta cinta. Hanya cinta. Sebab hanya cinta yang melestarikan hidup manusia. Dan dengan demikian, juga melestarikan karya penciptaan Tuhan. Melestarikan keberlangsungan kasih Tuhan. 

Tetapi soalnya: Ubi caritas est? Di mana ada cinta? Di mana cinta ditemukan dalam hidup manusia saat ini? Ya di mana terdapat manusia-manusia yang saling mencintai? 

Oh ... Tuhan rupanya mengalami kesulitan untuk hadir. Sebab dewasa ini semakin sulit ditemukan wilayah di mana manusia-manusia hidup berdampingan dalam cinta dan dalam kasih. 

Aku sekali lagi terdiam. Dan terdiam. 

***

DIALOG “EVERYDAY LIFE”

Gus Dur mewarisi roh dialog yang belum pernah ada presedennya. Di berbagai pelosok desa kota kampung di Indonesia terinspirasi untuk dialog. Kampus dan pojok-pojok desa menjadi emblem peradaban baru, yang bernama dialog. Maka, saya merasa Gus Dur adalah pengibar bendera “dialog hidup sehari-hari.” 

Berikut ini “Dialog Hidup Sehari-hari” diajukan dalam rangka tema “Dialog budaya lintas agama untuk hidup bersama yang aman dan sejahtera” di kota Probolinggo. 

Tema diskusi jika dirinci dalam beberapa poin, hasilnya demikian: Dialog terjadi pertama-tama dalam “budaya” (poin satu); Budaya memiliki makna “lintas agama”; artinya, agama berkaitan dengan budaya: agama memiliki “locus”/konteks budaya dan budaya memiliki lintas batas yang mengatasi agama, demikian pula sebaliknya (poin dua); Dialog memiliki gandengan tujuan untuk kesejahteraan, kondisi yang kondusif, kenyamanan bersama (poin ketiga). 

Apakah “dialog”? Dialog adalah aktivitas percakapan. Percakapan dalam dialog dijalankan oleh dua orang atau memiliki makna dua arah. Dua arah berarti, yang satu berbicara yang lain mendengarkan dan sebaliknya. 

Dalam dialog terdapat “dua” subjek. Dalam hidup sehari-hari “subjek” berarti pribadi yang utuh dengan segala pengalaman dan pengetahuannya. “Subjek” memaksudkan pribadi manusia seutuhnya. Jadi, karena dialog hanya menjadi mungkin ketika para partisipan disebut “subjek”, aktivitas percakapannya menjadi intens, mendalam.  

Kedalaman percakapan dalam dialog tidak ditentukan oleh berat atau mutu temanya, melainkan didasarkan pada cara bagaimana dialog dijalankan. Dialog tidak tergantung pada “apa”-nya (materi percakapan) tetapi pada “bagaimana”-nya (bentuk, suasana, metode aktivitas percakapannya). Dalam contoh konkret, dialog yang mendalam adalah dialog yang dijalankan dalam suasana hormat dan cinta satu sama lain. 

Seorang “Grand Mufti” dari Bosnia sesudah “Summit dialogue between Catholics and Muslims” di Vatikan November 2008, atas pertanyaan apakah di antara Islam dan Katolik masih terngiang-ngiang sejarah Perang Salib, berkata kepada mass media bahwa “kami (para partisipan dialog ini) lebih diresapi oleh ‘mimpi-mimpi ke depan’ ketimbang larut dalam ingatan perselisihan di masa lalu.”

Pelajaran dari “Grand Mufti” Bosnia ini penting sekali untuk diingat. Dialog sering kali menjadi mungkin justru ketika para partisipannya menatap ke depan, membelalakkan mata atas berbagai persoalan konkret kehidupan. 

Di lain pihak, dialog juga meminta para partisipan jujur dan menyadari ada berbagai kelemahan dan keterbatasan. Pertanyaan para wartawan kepada “Grand Mufti” dari Bosnia itu menyiratkan sumbangan pemikiran yang tidak boleh disepelekan. Yakni, suasana hati, akal budi, dan persepsi kita dalam dialog kerap diombang-ambingkan oleh ingatan-ingatan masa lampau (baik jauh maupun dekat). Masa lampau jauh, misalnya, berkaitan dengan pengalaman perang, penjajahan, invasi, perselisihan. Sementara masa lampau dekat , umpamanya, menunjuk kepada peristiwa-peristiwa dekat yang berkaitan dengan konflik-konflik agama semacam di Ambon, Poso, dan lain-lain (sungguhpun secara sosiologis konflik-konflik pahit itu tidak bisa dikategorikan pada konflik religius). 

Kembali kepada statement bahwa dialog terjadi pada dua subjek. Dalam ilmu filsafat etika, dikatakan bahwa manusia sejauh bertindak dengan akal budinya disebut subjek. Artinya, manusia subjek adalah manusia yang “mencari pengetahuan, kebenaran”. Jadi, ketika dialog dijalankan, peristiwa percakapannya sesungguhnya adalah peristiwa dalam rangka “pencarian kebenaran”. Dialog dengan kata lain adalah ekspresi dari pencarian kebenaran. 

Sebagai sebuah cetusan pencarian kebenaran, dialog tidak bisa dijalankan dalam kepalsuan atau ketidakjujuran. Sebab, dalam kepalsuan tidak ada kebenaran. 

Tetapi, dalam dialog kerap pula terdapat prasangka dan curiga. Kata-kata dari rekan dialog kerap kita analisis dalam prasangka dan kecurigaan. Jika terjadi kondisi semacam ini, kita perlu mengingat “proses” bagaimana sebuah pengetahuan manusia terbentuk seperti dikatakan oleh Hans-Georg Gadamer. Menurut Gadamer, “curiga atau prasangka” memiliki makna positif sebagai “awal dari pencarian pengetahuan yang lebih mendalam”. Konteks Gadamer adalah konteks pengalaman sehari-hari, bahwa segala hal yang kita sebut “pengetahuan” selalu merupakan produk baru. Dalam hal ini, Gadamer memiliki alasannya, sebab tak mungkin seorang anak lahir langsung tahu dengan baik rumus-rumus aljabar. 

Ketika kita mendialogkan budaya, yang kerap terjadi pertama-tama adalah rasa curiga dan prasangka. Apalagi bila halnya menyentuh prinsip-prinsip dogmatis agamis. 

Bagaimana mengelola curiga dan prasangka dalam dialog? Pertama-tama mari kita menyadari bahwa akal budi kita, sepandai apa pun, selalu memiliki keterbatasan dan kelemahan. Coba tes sendiri, katakan kepada yang lain apa artinya “manis”-nya gula. Apa itu “manis”. Jika kita berkata manis itu “tidak pahit”, ah, itu kan cuma lawan katanya saja. Di sini, berlaku prinsip bahwa pengetahuan akal budi terbatas juga karena keterbatasan bahasa. Bahasa kita tidak mampu melukiskan seperti apa persisnya “manis” itu. Tetapi, jika direnungkan lebih dalam, barangkali halnya juga tidak terlalu perlu untuk melukiskan serinci dan sebaik mungkin rasa “manis” itu. Sebab, lidah kita bisa merasakannya seperti apa “manis”-nya gula. 

Dari uraian sepintas tentang keterbatasan akal budi di atas, kita bisa tahu dari mana asal usul curiga dan prasangka. Curiga dan prasangka lebih berasal dari keterbatasan dan kelemahan sendiri. Jika orang mampu mengelola rasa curiga dan prasangka menjadi sebuah barometer kesadaran akan kelemahan dan keterbatasan, dan karenanya orang menjadi lebih terbuka akan pengetahuan, betapa indah hidup bersama dalam dialog. 

“Grand Mufti” dari Bosnia yang wilayah dan bangsa itu dicabik-cabik oleh perselisihan dan pertengkaran, malahan, memberi “driving force” baru dalam dialog, yaitu mimpi ke depan. Artinya, mengapa dialog? Karena kita berani bermimpi tentang kehidupan yang lebih baik ke depan. The power of dream bukan sesuatu yang biasa-biasa saja. Mimpi itu sebuah energi yang dahsyat. 

***

DIALOG BUDAYA

Apakah “budaya”? “Budaya” dalam bahasa Latin, “cultura” (Inggris “culture”), memiliki akar kata colere yang artinya mengolah (dalam makna seperti mengolah tanah). Akar kata Bahasa Latin ini membantu kita untuk memiliki gambaran bahwa “budaya” memang merupakan sebuah aktivitas mengolah kehidupan. Dalam makna ini, benarlah bahwa padi, jagung, palawija adalah hasil-hasil kreativitas manusia dalam mengolah tanah. Dan, cara kita mengolah tanah (yang pada tahapan berikutnya menjadi pondasi kehidupan sehari-hari) kita sebut sebagai budaya. Dari sini, budaya lantas mendapat kristalisasi makna sebagai “cara hidup sehari-hari”, “cara berpikir”, “cara mengelola kebersamaan”, “cara makan”, dan seterusnya. 

Pada tataran antropologis, “budaya” lantas diukir dalam artefak-artefak hasil seni, sastra, kerajinan tangan, pengolahan sawah, sistem kekeluargaan, sistem kekerabatan, sistem kekuasaan, sistem hak waris, sistem memberi nama, sistem penghitungan waktu, sistem irigasi, sistem komunikasi, bahasa, etika “unggah-ungguh”, dan seterusnya. 

Budaya tidak pernah tiba-tiba jadi. Budaya adalah cetusan dari kecerdasan akal budi, akal budi masyarakat. “Wayang”, misalnya, jelas merupakan produk dari kecerdasan manusia. Sebagai sebuah produk budaya, wayang memiliki sejarah luar biasa panjangnya. Wayang menjadi cermin kehidupan. 

Tetapi, tidak hanya itu, wayang adalah juga cetusan keindahan, sastra, musik gamelan, seni suara, seni lukis, seni keterpaduan dalam kebersamaan, seni cerita, drama, dan keseluruhan dari yang kita sebut keindahan. 

Dialog budaya, pada level makna ini, juga mengatakan dialog keindahan dari kehidupan ini. 

Jika kita mengambil contoh Mbah Surip dan Rendra, yang disebut “budaya” lantas memiliki makna yang kaya. Mbah Surip identik dengan ikon kepolosan, kesederhanaan, ke-rakyat-an, bahkan juga ketertindasan (yang terakhir ini saya dengar lantaran Mbah Surip tetap kelihatan “miskin”). Sementara Rendra, jika kita kesampingkan riwayat kehidupan pribadi masa lalu yang penuh kisah, dipandang memiliki bahasa puisi yang sehari-hari, penuh kritik, “urakan”, terlalu terus-terang, sempat juga dipandang porno (menurut H.B. Yasin, misalnya dalam puisi “bersatulah para pelacur Jakarta”), dan konstan menyuarakan kebobrokan serta ketertindasan. 

Dari Mbah Surip dan Rendra, kita mewarisi kebenaran makna bahwa yang disebut “budaya” adalah everyday life. Istilah everyday life digulirkan oleh seorang filosof, bernama Edmund Husserl (seorang filosof Yahudi yang menderita hebat karena penindasan Hitler). 

Apakah everyday life? Hidup sehari-hari adalah realitas itu sendiri. Tidak perlu didefinisikan. Dalam hidup sehari-hari, orang berjumpa dengan sesamanya. Perjumpaan selalu memiliki bekas pengalaman. Ada sesama di pinggir jalan (atau di tengah jalan) yang meminta-minta. Pada pengalaman ini, dalam hidup sehari-hari ada kesusahan. Pada momen lain, dalam hidup sehari-hari kita berjumpa dengan sesama yang lagi menghadapi situasi sakit berat karena kanker atau flu H1N1. Dalam hal ini sehari-hari identik dengan kecemasan dan ketidakpastian. Baru saja, kita mendengar bahwa kasus lumpur Lapindo di SP3-kan (dihentikan). Kasus penyidikan perkara Lapindo berhenti, tetapi lumpur terus mengalir seiring dengan penderitaan para korban yang tidak menentu. Di sini everyday life tidak jauh berbeda dengan ketidak-adilan dan kehancuran norma-norma kehidupan. Tentu saja, juga ada perjumpaan yang menyenangkan hari ini, terutama dengan kawan lama dan pacar. Keseharian lantas juga memberikan kemungkinan tawa dan harapan. 

Jadi, kebudayaan bukan semata artefak seni, seni tari, seni lukis, seni suara, seni gamelan. Tetapi, kebudayaan adalah pengalaman hidup sehari-hari yang penuh dengan perkara-perkara nyata, duka, kecemasan dan harapan. 

Implikasi dari pengertian ini: mendialogkan kebudayaan tidak semata mendialogkan warisan artefak budaya-budaya masa lalu, tetapi mempercakapkan kehidupan sehari-hari. Mbah Surip dan WS Rendra dipandang penting peranannya dalam budaya karena pada masa muda dan perjalanan hidupnya mereka menyumbang bahasa-bahasa yang kritis terhadap hidup sehari-hari bangsanya. Di samping kritis, mereka juga berani “bermimpi” dan mengalami segala konsekuensi dari mimpi-mimpinya. 

Dialog yang sejati, saya pikir, juga adalah dialog tentang mimpi-mimpi kehidupan bersama yang lebih manusiawi, adil, equal. 

***

DIALOG BUDAYA DALAM LINTAS AGAMA

Saya memaknainya secara tegas, itu berarti kita diajak untuk berdialog mengenai pahit getir, kecemasan dan kedukaan, tawa dan tangis hidup sehari-hari kita sebagai orang-orang beragama. Aktivitas ini memiliki beberapa konsekuensi demikian, menurut saya: 

Tidaklah cukup sebagai orang Katolik, saya hanya berdoa, ke Gereja, melakukan puji-pujian dan menyembah Allah di dalam kapel-kapel. 

Begitu juga, sebagai Muslim, tidaklah cukup melantunkan doa, melakukan shalat dalam berbagai ujub, menjalankan puasa, membangun masjid-masjid megah dengan biaya tinggi, membaca ayat-ayat suci Alquran. 

Tidaklah cukup beragama, menjalankan ibadah-ibadah agama saja. Mengapa tidak cukup? Sebab agama kait mengait dengan budaya, pengalaman keseharian hidup kita. Budaya adalah keseharian. 

Dalam iman Katolik, Tuhan yang disembah adalah Tuhan yang tidak tinggal di angkasa raya, langit tinggi. Melainkan, Tuhan yang disembah adalah Tuhan yang tinggal di dalam kehidupan manusia sehari-hari. Dalam kehidupan manusia sehari-hari, Allah – sebagaimana ditunjukkan oleh PuteraNya – memilih tempat-tempat yang kumuh, kotor, becek, lusuh, miskin, bahu busuk dan seterusnya. Sehingga Allah tampak sebagai Allah yang “kalah”, dan bukan pemenang jaya. 

***

MENYEMBAH ALLAH YANG KALAH

Allah itu mahakuasa justru ketika Dia tidak ada, kalah.  – Jean-Luc Marion 

Paradigma teologi dewasa ini bergeser dari perspektif Allah yang transenden dan imanen kepada Allah yang bergumul dalam kehidupan nyata. Allah adalah Pribadi yang terlibat dalam kerasnya perjuangan manusia. Teologi tidak lagi diasalkan dari aktivitas membayang-bayangkan eksistensi Allah yang hebat, tetapi dari refleksi  “tanah terjal” (rough ground), konteks hidup manusia, yang juga konteks kehadiran Allah. 

Tampaknya janggal, Allah itu tidak ada. Tetapi, kejanggalan segera lenyap ketika diingatkan bahwa beriman pertama-tama sangat mengandaikan kesadaran keseharian hidup. Dalam keseharian, wajah Allah tidak kita jumpai. TanganNya tidak kelihatan. Bahkan kehebatanNya tersembunyi. Simak bagaimana aneka bencana dan kemalangan telah seakan “menenggelamkan” kehadiran Allah. Kita seakan sulit menghayati Allah yang hadir dengan segala kekuatanNya untuk melindungi manusia dari kemalangan. 

Jika Allah disebut not being, itu bukan penyangkalan eksistensiNya. Melainkan, manusia diingatkan akan keberadaannya, akan kebebasannya (Jean-Luc Marion, God Without Being, Chicago: Univ. of Chicago press, 1991). Allah sebagai not being identik dengan Allah yang tak berdaya, yang kalah. Ketika Allah kalah, manusia diuji, berjuang, memeluk keterbatasannya, memaknainya sebagai sarana penyembahan kepada Allah. 

Bagi Marion, cinta adalah wujud absolut dan indah relasi manusia dengan Allah. Tetapi bukan cinta seperti dalam banyak doktrin. Cinta itu manusiawi, sehari-hari. Cinta memiliki lapisan-lapisan tanpa batas, tanpa tingkatan, bahkan tanpa gradasi mutu. “Ketika kita melukiskan cinta kepada Allah dalam kalimat-kalimat ilusif indah”, tegas Marion, “saat itu pula cinta membuat kita terasing dari Allah sendiri.” 

***

ALLAH SOLIDER

Vinsensius a Paulo dan Teresa dari Calcuta, mistikus-mistikus pelayan orang miskin, keduanya menghayati bahwa Allah tinggal bersama manusia-manusia miskin, rapuh, tak berdaya, kalah dalam pertarungan kehidupan. Allah bukan Dia yang hebat. Allah tidak duduk di tempat tinggi, tetapi tinggal dalam gubuk-gubuk reot, di “koloni-koloni” kusta terpinggirkan, di tempat-tempat bencana, di bilik-bilik penjara, di trotoar-trotoar jalanan, dan di kampung-kampung kumuh. 

Mengenai cinta, Vinsensius dan Teresa tidak memiliki rujukan lain kecuali pada Kristus sendiri. Teologi cinta mereka adalah Sang Sabda yang menjelma menjadi manusia. Allah hadir, menyapa, solider dengan manusia. “Sepuluh kali kita mengunjungi orang miskin dalam sehari, sepuluh kali itu pula kita berjumpa dengan Allah”, kata Vinsensius. Mencintai manusia yang miskin, malang, dan menderita berarti identik dengan mencintai Allah. 

Dengan begitu, Allah adalah Sang Cinta itu sendiri, karena Dia membiarkan diriNya berada dalam keterbatasan sebagaimana kodrat manusia terbatas adanya. Dalam Injil Matius 25:34 dst., Allah adalah “Raja” yang tidak mengasingkan diri, melainkan tinggal dalam “saudara-saudari-Nya yang paling miskin, menderita, dan hina”. Allah tampak tidak berdaya dalam kemiskinannya. 

***

ALLAH KALAH

Allah yang kalah tampil dramatis dalam kisah penderitaan Kristus. Yesus Kristus dalam pengadilan dijatuhi hukuman mati. Hukuman paling rendah konteks waktu itu adalah hukuman salib (bukan penggal kepala). Salib dengan demikian adalah lambang sekaligus realitas penghinaan serendah-rendahnya martabat manusia. Hanya penjahat kelas kakap yang disalibkan. 

Yesus digiring ke penyaliban setelah menjalani siksaan berat. Sampai-sampai Dia tidak sanggup memikul kayu salibNya sendiri. Sesampainya di atas bukit, kedua kakiNya dipaku, kedua tanganNya direntangkan, ditancapkan pada kayu yang menyilang. Dia disalib bersama dengan dua pencuri. Yesus berada di antara kedua penjahat yang dihinakan. Allah benar-benar kalah. 

Kebenaran bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi manusia – dalam Injil Markus 15:39 – dikatakan sendiri oleh mulut kepala pasukan: “Dia benar-benar Putera Allah.” Ungkapan itu justru dikatakan pada saat Yesus terkulai di atas kayu salib. Seruan itu malah muncul dari seorang yang tidak beriman kala melihat Tuhan yang kalah. 

Ada paradigma kontras luar biasa di sini. Yesus terkulai lemas tergantung di palang kayu, tetapi justru Dia kelihatan sebagai Allah. Yesus tidak berdaya, tetapi malah momen itulah yang menjadi bukti bahwa kehadiran Allah tampak nyata. Yesus mati, tetapi itulah awal kehidupan sejati. Yesus kalah, tetapi itulah bukti kemenanganNya paling absolut atas maut. 

Bagi teolog Karl Rahner menghayati kemenangan Kristus berarti menghadirkan kisah pilu kesengsaraan serta kematianNya di Salib. Paskah adalah kekalahan sekaligus kemenangan. Ke-Allah-an Kristus tidak terletak pada kedigdayaanNya, melainkan justru pada ketidak-berdayaanNya. Ke-Allah-an Kristus justru terletak pada kemanusiaannya, pada solidaritasNya (dengan derita manusia), pada bilur-bilur lukaNya (yang habis tuntas sampai pada kematianNya), keterkulaianNya (di atas Salib penghinaan). 

Kisah ketidakberdayaan Kristus bukan kisah masa lalu. Kisah kekalahan Kristus adalah representasi aneka kisah penderitaan dan kengenasan manusia-manusia zaman ini. Yesus disesah. Disalib. Dianiaya. Persis seperti manusia zaman ini juga teraniaya. Dihancurkan oleh kebencian satu sama lain (Israel & Hamas). Diberondong senapan liar (Mumbai). Dibom bunuh diri (Pakistan, Afganistan, Irak, Srilanka). Dirudal secara brutal (Gaza & sekitarnya). Dihempaskan bencana keteledoran dan kelalaian (Situ Gintung, banjir di kota dan kampung-kampung kita). Didera ketidakadilan (para korban lumpur). Dicampakkan krisis finansial global (para buruh terkena PHK). Dihajar oleh ketidakadilan dan ketidakpastian hukum dan keadilan (para korban Lumpur Lapindo/Porong). Dilumatkan oleh kegilaan sebagian orang dengan bom-bom di Kuningan Jakarta dan di tempat-tempat lain). 

Allah luar biasa, justru karena Dia memasuki wilayah aneka kisah duka “tanah terjal” hidup manusia. Tetapi,  seperti Kristus ditinggikan dalam salib, demikian derita manusia tidak sia-sia. Tuhan tidak dipuji dalam kemenangan. Tidak juga dalam kemegahan. Tetapi, Dia sangat berkenan pada manusia-manusia yang berduka, luka. Dia hadir, menyapa, tidak meninggalkan mereka. Sebab, Tuhan sendiri telah kalah, tidak berdaya. 

***

TEOLOGI HARMONI

Gus Dur mengajar sebuah refleksi tentang cara hidup beragama yang pluralis, harmoni. Terdorong oleh itu, saya menggarisbawahi pentingnya dan maknanya teologi harmoni, perspektif pergumulan Gereja Katolik di Asia. 

Teologi Dialog Sebagai Teologi Harmoni. Dalam perspektif BIRA (Bishops' Institute for Interreligious Affairs) IV/10 dan 11, teologi dialog menemukan bentuknya dalam apa yang disebut teologi harmoni atau teologi keselarasan. Dengan harmoni, dimaksudkan sekaligus secara negatif: tiada pertikaian, tiada persengketaan, mencegah permusuhan; dan secara positif: kerjasama, solidaritas, persaudaraan, sehati sejiwa dalam duka dan kecemasan, kegembiraan dan harapan berjuang bersama-sama demi keadilan dan cinta kasih. Harmoni di sini lebih dimaksudkan sebagai  hubungan yang selaras antarpribadi dalam kebersamaan dengan menggalang tekad dan cita-cita yang sama.

Titik tolak  BIRA IV/10 dan 11 dalam membangun teologi harmoni ini didasarkan terutama  pada kesadaran akan warisan asli budaya tradisional Asia. Dalam pengamatan BIRA IV/10 dan 11, warisan budaya tradisional Asia pada prinsipnya mengajarkan keselarasan universal.

Keselarasan ini tampak bukan hanya dalam hal hubungan antara alam dan manusia, melainkan juga antarmanusia. Realitas  tampil sebagai satu kesatuan dalam “puisi” keselarasan. Kesatuan realitas ini direfleksikan dalam pribadi manusia dalam perasaan, kesadaran, dan jiwanya yang menyatu dan memiliki keterarahan pada hubungan personal dengan sesamanya. Harmoni  diwujudkan dalam hubungan antarpribadi manusia yang menjunjung tinggi keadilan, kebenaran dan cinta, merupakan khas kultur Asia.

Teologi harmoni sebagaimana dipikirkan BIRA IV ini lebih bersifat praksis. Jadi berbeda dengan teologi universal (Swidler) dan teologi ekumenis (Hans Küng) yang lebih mengedepankan penggarapan refleksi teoritis.

Sementara itu, dasar biblis-teologis dari teologi harmoni dikatakan BIRA IV berasal dari Misteri Tritunggal Mahakudus yang merupakan komunitas harmonis, yaitu Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Disebutkan pula bagaimana Allah telah menciptakan semuanya baik adanya, indah serta harmonis. Teladan hidup dan ajaran Kristus juga menampilkan sikap-sikap yang menjunjung tinggi nilai-nilai harmoni.

Kerajaan Allah merupakan realitas yang menampilkan harmoni. Tindakan Roh Kudus yang menyatu-padukan bangsa-bangsa dari berbagai bahasa dan suku dalam peristiwa Pentekosta juga menunjukkan contoh keselarasan (Kis 2:1-12).

Bagaimana teologi harmoni ini dijabarkan dalam praksis? BIRA IV dengan inspirasi dari rekomendasi sidang-sidang sebelumnya (terutama sidang gabungan antara Federation of Asian Bishops' Conferences dan Christian Conference of Asia di Singapore, tgl. 5-10 Juli 1987) melontarkan gagasan-gagasan:

Ekologi (kemiskinan Asia disadari sebagai langsung akibat dari alpanya perhatian terhadap keseimbangan alam; kerusakan alam sudah demikian mengkawatirkan),

penghargaan terhadap martabat manusia (konsep dialog hanya menjadi mungkin ketika martabat manusia adalah bagian pertama dari kesadaran komunikatifnya),

pembelaan terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia terutama kelompok-kelompok minoritas (minoritas hampir di segala tempat dan jaman menjadi korban; di sini minoritas tak hanya dalam jumlah tetapi juga suara politik),

menggalang dialog dan keselarasan antarumat beragama siapa saja (ketika pluralitas merupakan realitas hidup sehari-hari, aktivitas dialogal adalah kepenuhan hidup),

pembangunan masyarakat dalam arti seutuhnya (dialog pada intinya mengejar keutuhan tata hidup bersama).

Didesaknya memperhatikan keseimbangan alam, sebab keselarasan hubungan antarpribadi manusia harus pula mengalir dalam tindakan menjaga kelestarian alam. Keselarasan itu harus tercermin dalam penghormatan terhadap alam.

Kepentingan teologi harmoni dewasa ini makin hebat mengingat kondisi global yang mempromosikan kemajuan bentuk-bentuk relasi di satu pihak tetapi juga menyisakan aneka bencana baru, seperti kelangkaan pangan, kenaikan kebutuhan global energi, dan krisis politik.

Umat Kristiani harus makin membuka diri untuk terlibat dan mengokohkan diri dalam memberikan kontribusi kolaborasi dan harmoni dengan semua umat beragama: membangun tata hidup bersama yang adil dan sejahtera.

Harmoni tidak dapat direduksi pada sekedar penampakan luar yang selaras, stabil, seragam. Harmoni justru mengandaikan kebalikkannya, pluralitas. Harmoni mencakup pengalaman mendasar manusia. Harmoni menuntut keterlibatan seluruh pribadi manusia meliputi perasaan, akal budi, dan hatinya.

Itulah sebabnya dialog agama-agama tidak dapat hanya menyentuh sharing ajaran agama, melainkan juga pengalaman iman yang mendalam. Maksudnya juga pengalaman hidup keseharian dalam ruang lingkup alamnya. Teologi dialog, dalam konteks BIRA IV, dengan demikian pertama-tama bukan merupakan sistematisasi doktrin teologis, melainkan hubungan antarpribadi manusia dalam hidup, kerjasama, dan sharing kehidupan.

Dari pengertian teologi dialog di atas kiranya jelas bahwa beriman Katolik pada akhirnya harus merupakan suatu refleksi yang tak terpisah dari pengalaman hidup sehari-hari. Dari pergaulan hidup dengan umat agama-agama lain.

Hubungan dengan agama-agama lain tidak boleh dipandang sebagai sekedar sampingan “bila perlu”, melainkan diupayakan dan diperdalam sebagai yang meneguhkan. Menantang. Mengembangkan. Menciptakan perdamaian. Mentransformasikan. Dengan dialog, penghayatan iman menjadi lebih terbuka, merangkul dan mendalam.

Terimakasih, Gus Dur!

Post a Comment

 
Top