0

TAK KUASA aku menolak permintaan seorang kawan, Pdt. Nugroho, untuk menghadiri perayaan Natal di gereja yang ia pimpin; GKJW di Sumbergondang Bluluk Lamongan. Permintaan itu disampaikan dua minggu sebelum acara. "Tenan lho gus. Ojo sampek gak teko. Ben jemaatku senang ditekani," katanya melalui pesan singkat.


Aku pun meluncur sore tadi, Senin (24/12) ke wilayah tersebut dengan menumpang mobil Pak Kusman, salah satu jemaat GKJW Mojowarno. "Lumayan nggak akan kehujanan," batinku.

Gereja ini tetaplah sederhana di usianya yang tak lagi bisa dikatakan muda. "Umure satus telu likur tahun, Gus," ujar Pdt. Nug menyebut 123 tahun dalam bahasa Jawa.

Saking sederhananya, gereja ini tak memiliki plafon. Sehingga kalau hujan deras, percikan airnya pasti menerobos genting dan akan langsung turun ke lantai. Kepyur, bahasa Jawanya.

Saya tahu karena rumah saya di Kauman Mojoagung tanpa plafon. Saya tidak habis pikir kenapa majelis gerejanya tetap mempertahankan keseserhanaan ini. Bisa jadi ini soal selera, estetika, atau jangan-jangan karena aspek kemampuan finansial.

Faktor ketiga ini nampaknya yang paling masuk akal. Tiga kali saya ke GKJW Sumbergondang, saya mengamati, jemaatnya tidak bisa dikatakan terlihat kaya. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perolehan persembahan yang dikumpulkan setiap minggunya. Saya diam-diam belajar dari bagaimana mereka menghidupi komunitasnya dari kesederhanaan ini.

Soal kesederhanaan, sepanjang amatanku selama berinteraksi di lingkungan Protestan, denominasi gereja yang ada kata "Jawa"nya memang cenderung relatif sangat sederhana -untuk tidak menyebutnya miskin- jika dibandingkan dengan GKI, misalnya.

Pernah saya dengar guyonan di wilayah Jawa Tengah, seorang kawan pendeta mendapat julukan "wajah GKJ namun bergaji GKI," Ini barangkali bermakna "wajah ndeso (jawa) tapi gajine gede," Yang bersangkutan pasti meringis jika membaca tulisan ini.

Maka, sore itu saya masuk ke perayaan Natal bersama Pdt. Nugroho. Acara belum dimulai. Saya diminta duduk paling depan pojok kanan dekat jendela. Namun demikian kondisinya tetap sumuk karena jemaat berjubel di dalam dan meluber ke luar.

Tak seberapa lama, ada 4-5 orang menyusul masuk. Dari caranya berpakaian saya tahu mereka adalah aparat negara, salah satunya berseragam tentara. Mereka duduk di samping saya. "Muslim semua, mas?" bisik saya ke Pdt. Nugroho. Ia mengangguk.

Kami mengikuti prosesi Natal dari awal hingga akhir dengan khidmat dan suka cita karena susunan acaranya telah dirangkai sedemikian rupa; campuran antara perayaan diselingi khotbah refleksi.

Ada banyak kawan Muslim saya yang salah paham. Menganggap ikut Natal sama dengan masuk Kristen. Anggapan ini tentu berlebihan dan sangat mungkin kurang memahami proses masuk Kristen.

Bagi saya, natalan itu lebih mirip dengan perayaan maulid Nabi yang rangkaiannya juga kerap diselingi ritual-ritual khas maulid, seperti syrakalan dan pembacaan diba'.

Seandainya ada kawan saya Kristen ikut maulidan maka tidak bisa serta merta dianggap masuk Islam hanya karena ikut-ikutan membaca Yâ Rosûl al-lâh salâmun ‘alayk, yâ rofî’asyâni wa al-daroji  (Wahai utusan Allah, semoga keselamatan tetap padamu, Wahai yang berbudi luhur dan bermartabat tinggi). Dan seterusnya.

Ikut natal tidak sama dengan membaca syahadat dalam Islam. Sebab Kristen mempunyai syahadat sendiri sebagai pintu gerbang menjadi Kristiani secara formal. Jika tidak salah, nama syahadatnya adalah pengakuan iman rasuli yang teksnya lumayan panjang ketimbang syahadat Islam.

Itupun sebelum memasuki gerbang tersebut, prosesnya pun terbilang cukup berliku, setahu saya. Seseorang perlu mengikuti semacam orientasi (katekisasi) terlebih dahulu, serta interview imani yang ketat dengan pendetanya. Pointnya, konversi ke Kristen/Katolik bisa dikatakan tidaklah semudah yang dibayangkan.

Dari mana saya tahu itu semua? Gampang. Saya bergaul dan membaca. Saya juga pernah diminta mengisi katekisasi di GKI Sidoarjo dan GKJ Purwokerto untuk topik Yesus dalam perspektif Islam.

***
"Gus, nanti sambutan ya. Tolong disinggung juga tentang bagaimana sebenarnya posisi mengucapkan selamat natal dalam Islam," bisik Pdt. Nugroho. Saya menyanggupi karena pas dengan materi yang akan saya sampaikan.

Maka, setelah menyampaikan pendapat seputar keragaman hukum mengucapkan selamat natal, saya pun tergelitik untuk "mempersoalkan" kata "hikmat" yang terpampang di backdrop depan. Saya tahu, itu merupakan bagian dari tema Natal nasional yang ditetapkan KWI maupun PGI.

"Ibu bapak, kata hikmat itu cukup sering muncul lho dalam al-Quran," saya mulai mencoba menautkan kata tersebut dari perspektif Islam yang saya pahami.

Salah satu ayat yang memuat kata "hikmat" adalah QS. Al-Nahl: 125. Ayat ini sering digunakan sebagai panduan untuk berdakwah (sabili rabbika). "Serulah (wahai manusia) ke jalan Tuhanmu dengan menggunakan hikmat..."

Kata "hikmat" diterjemahkan oleh hampir semua penerjemah al-Quran kontemporer berbahasa Inggris dengan kata "wisdom," Mereka antara lain MM. Pickthall, Yusuf Ali, Muhammad Asad, JM. Rodwell, Aisha Bewley, Zafar Ansari, Ali Quli Qarai, dan lainnya.

Wisdom bermakna pengetahuan yang didapat dari proses pergulatan pengalaman hidup yang lama. Artinya, tidak sekedar aspek akademik namun juga pengalaman hidup.

Wisdom dalam bahasa Indonesia berarti kearifan dan/atau kebijaksanaan. Saya tidak tahu siapa figur yang paling pas untuk merepresentasikan kebijaksanaan ini. Yang terlintas di benak saya adalah Bunda Theresa, Mahatma Gandhi, Gus Dur, Romo Mangun dan masih banyak lagi.

Hikmat barangkali tidak akan muncul jika seseorang belum punya kemampuan menenggang rasa atas pengalaman hidup orang lain (toleransi) dan bersedia menderita untuk itu. Ini tentu sangatlah berat.

"Saya sangat bisa memahami keyakinan Ibu-Bapak yang meyakini Yesus sebagai Gusti, sebagaimana saya juga mampu memahami orang yang menganggap Yesus hanya sebagai Rasul. Bagi saya sama-sama benarnya. Ini soal cara pandang saja," tambah saya.

Hadirin terdiam. Tamu yang duduk di depan terlihat memandang saya dengan tajam. Saya tahu, saya sedang menyentuh aspek fundamental dalam jagad huru-hara teologi Islam dan Kristen menyangkut sosok Yesus.

Begini, lanjut saya, apakah bapak yang berseragam tentara lengkap ini merepresentasi dirinya sendiri atau ia hadir dalam kapasitasnya sebagai negara? Ada yang menganggapnya mewakili dirinya, namun ada juga yang menganggap beliau adalah simbol kenegaraan. Ada juga yang campuran antara dirinya sendiri sekaligus representasi negara.

Tiga perbedaan ini bagi saya adalah sama-sama benarnya. Hikmat adalah kemampuan memahami itu semua.

"Percayalah, hidup akan terasa lebih nikmat dengan hikmat. Selamat Natal!" saya menutup sambutan malam itu.(*)

Post a Comment

 
Top