0

Whatsappku berbunyi pendek unik. Tanda pesan masuk dari nomor yang tidak terdeteksi di database kontak. Rupanya dari Bang Elifas, salah satu petinggi Gereja Protestan Maluku.

"Duh aku ditagih janjiku sendiri," batinku dalam hati saat membaca permintaannya untuk bisa datang berkunjung ke Jawa Timur.

Sekitar dua tahun lalu, saat mengisi acara training penggerak perdamaian berbasis komunitas di GPM Rehoboth Ambon, aku memang berjanji mendukung program-program GPM yang berkaitan dengan pluralisme, termasuk upaya penguatan kapasitas melalui perkunjungan multikultur antardaerah.

"Abang dan teman-teman bisa jalan-jalan ke Jawa Timur. Kunjungilah beberapa pesantren agar kami juga bisa belajar dari segudang pengalaman yang dimiliki GPM, terutama soal resolusi konflik," kataku saat itu ketika dijemputnya dari bandara Ambon.

Aku memang seperti makelar destinasi wisata dalam dua tahun terakhir ini; wisata belajar pluralisme. Ke mana-mana aku selalu menawari siapa saja, terutama pesantren dan gereja, yang ingin merasakan dan belajar tentang pluralisme di sebuah tempat tertentu.

Dengan jaringan pertemanan yang aku punyai, tidak sulit bagiku mencari pesantren, gereja, vihara, pura, makam, kampus, goa Maria, sekolah, maupun situs-situs penting untuk belajar dan mengasah sensitifitas beragama, termasuk lokasi pengungsian Syiah Sampang.

Salah satu "server" yang aku punyai adalah Jaringan GUSDURian yang telah memiliki simpul di lebih dari 200 kabupaten/kota seluruh Indonesia dan manca negara. Belum lagi ditambah beberapa kenalanku di lingkungan Katolik, GKI, GKJ, GKJW, GKE dan PGI sehingga memudahkanku mengakses gereja untuk kepentingan dakwah pluralisme. Ini belum termasuk jaringan yang aku miliki di lingkungan kelompok minoritas gender dan seksual. Ya, jelas aku punya.

Dengan anugerah seperti ini, aku ingin menjadikan seluruh pengetahuan dan jaringanku agar bisa diakses publik untuk belajar menunaikan tugasnya sebagai manusia.

"Monggo, bu nyai. Kalau santri-santri pingin jalan-jalan ke gereja atau klenteng untuk mengasah keimanan, hubungi saya. Dengan senang hati akan saya bantu. Jangan sungkan. Gunakan jasa saya. Tak perlu mikir upah," ujarku kepada salah satu pengasuh pesantren suatu ketika.

Ya, pesantren adalah yang lokasi yang diminta Bang Elifas untuk bisa dikunjungi 50an orang dari GPM, meliputi pendeta dan staff. Pesantren adalah soal mudah. Namun aku sangat galau ketika tahu tanggal kunjungan tersebut. Ya, tanggal di mana aku harus ke Bangkok untuk menghadiri seminar dan workshop "Family Traditional Values," yang diselenggarakan oleh Global Interfaith Network for SOGIE.

Aku biasanya memang turun sendiri untuk mengawal acara "kenegaraan" sepenting ini, memastikan semuanya berjalan lancar. Namun, apa yang hendak dikata jika Bangkok telah lama menjeratku.

"Haruskah aku mengkhianati janji yang aku berikan sendiri?" pertanyaan ini terus mengepungku. Pilihan paling rasional adalah menggeser lokasi kunjungan yang sejak awal ingin aku laksanakan di Jombang.

Maka aku segera kontak beberapa kordinator penggerak GUSDURian di Surabaya dan sekitarnya untuk meminta bantuan menghelat kunjungan ini, termasuk Zen Haq, jenderal lapangan Sidoarjo. "Zen, tolong kamu layani mereka sebaik-baiknya karena aku tak bisa bersama," ujarku sembari memberikan kontak Pdt. Henky Mussa, penghubung rombongan GPM.


Hari kedua acara di Bangkok, aku melihat postingan di WA grup jaringan. Beberapa foto kunjungan mereka ke Pesantren Ahl al-Shofa wa al-Wafa dikirim oleh Zen Haq. Rupanya, pertemuan tersebut juga melibatkan jaringan lintas iman di aras lokal Sidoarjo.

Aku sendiri belum mendapatkan feedback dari teman-teman GPM terkait kunjungan ini. Namun, aku merasa sangat senang bisa memenuhi janji sekaligus mengkhianatinya -- 'pengkhianatan' untuk hadir di tengah-tengah mereka saat itu.

I love you!

Jangan sungkan memanfaatkan pengetahuan dan jaringan-jaringanku.

Post a Comment

 
Top