0

Kerennya dimana kalau cuma memiliki teman seagama atau seetnis saja?! Bagi muslim sepertiku, hal itu tentu sangatlah keren, dulunya. Rasanya begitu menenangkan hidup dalam satu kelompok yang punya identitas suci. Rasanya begitu kuat ikatan psikologis dan emosional kami, satu dengan yang lain. Ikatan itu memproduksi semacam kebanggaan untuk menunjukkan "kamilah yang paling banyak dan benar,"

Dengan nalar demikian, dan terus kami hidupi dari waktu ke waktu, kami tidak menyadari konsekuensinya. Yakni, melihat kelompok yang berbeda dengan kami sebagai "yang sedikit dan yang salah,"

Kami lantas diminta berupaya "menyelamatkan," mereka agar bisa menjadi mayoritas dan benar. Caranya? Menjadikan mereka seidentitas dengan kami; menjadikan mereka muslim! Bahkan, kalau identitas etnis bisa dikonversi, saya akan paksa mereka menjadi Jawa seperti saya agar dunia segera "membaik," melalui terciptanya komunitas yang tunggal (ummatan wahidan), seperti doktrin yang terus dijejalkan ke memori kami.

Saya dan jutaan muslim muslim lainnya, juga kerap diyakinkan kelompok non-muslim selalu berprilaku culas dan manipulatif. Mereka sangat suka dan teramat bernafsu melucuti keimanan kami agar berpindah keyakinan. Kami dijejali ayat-ayat suci dan aneka "peristiwa," untuk mengokohkan nalar tersebut.

"Sebelum dikristenkan mari kita islamkan mereka terlebih dahulu, dengan cara apapun," Nalar seperti ini terasa mirip provokasi yang sangat terkenal di kalangan para jagal saat Pembantaian 65-66, "Membunuh atau dibunuh,"

Perasaan lebih unggul ketimbang umat lain, dibumbui dengan aneka prasangka negatif kepada mereka merupakan kombinasi sederhana dan murah-meriah namun sangat efektif meracuni pikiranku saat itu. "Nggak suka aja melihat dan ketemu orang non-muslim. Bawaannya selalu ingin menyelamatkan mereka agar tidak jatuh dalam kekafiran," ujarku bercerita.

Lambat laun, aku mulai berinteraksi dengan kelompok non-muslim dan secara tidak langsung juga memverifikasi seluruh prasangka yang berkalang di memori. Aku sampai pada satu kesimpulan final bahwa amatlah benar apa yang pernah disampaikan Alloh menyangkut kewajiban manusia mengenal manusia lain yang memiliki aneka identitas.

Tanpa melihat, bertemu, dan berinteraksi dengan mereka maka, menurutku, kesalahpahaman yang berujung destruksi akan semakin nyata terjadi. Dalam konteks Indonesia sekarang, destruksi tidak selalu mengambil bentuk penghancuran dan pembunuhan terhadap mereka yang berbeda dengan kita. Namun lebih jahat dari itu; tidak melihat mereka sebagai manusia!

"Prinsip penting yang mengikatku sebagai GUSDURian adalah ketertundukan pada kemanusiaan," ujarku. Kemanusiaan berarti kesediaan kita meyakini bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah BAIK. Jika ada yang TIDAK BAIK maka sebenarnya manusia tersebut SEDANG DALAM PROSES MENUJU BAIK.

Bagi saya, muslim keren itu adalah ia yang mampu beriman tanpa rasa takut. Tidak takut pada perbedaan. Tidak takut pada gereja, paroki, sinagog, pura, klenteng atau tempat ibadah lainnya. Di dadanya ada wirid yang yang selalu terpatri; semakin berbeda, semakin menjadi satu.

Betapa senangnya bertemu puluhan anak muda Kristen-Katolik-Islam dalam acara Jombang Student Interfaith Forum pada 27 Oktober lalu. Terima kasih GKI Jombang, Pesantren Assaidiyyah 2 Bahrul Ulum Tambakberas, GKJW Mojowarno, Paroki Santa Maria Jombang, Pura Amartya Ngepeh, Makam Gus Dur, dan Klenteng Hong San Kion Gudo!

I love you!

Aan Anshori

Post a Comment

 
Top