0

Kebencian rasial masih menjadi keprihatinan sejumlah kalangan di negeri ini. Intoleransi semakin menguat dengan bertumbuh suburnya pratik-praktik diskriminasi kepada kelompok yang dianggap berbeda. Karena alasan inilah, kemarin (4/5) di gedung gereja GKI (Gereja Kristen Indonesia) Mojokerto menggelar bedah buku yang berjudul “Ada Aku di Antara Tionghoa dan Indonesia.

Buku ini ditulis oleh 72 orang dengan latar belakang etnis, agama dan ras yang berbeda-beda. Mulai dari para rohaniwan, pendeta, romo, dosen, guru, aktifis mahasiwa sampai ibu rumah tangga. Dalam buku ini, kita bisa membaca pengalaman pribadi para penulis dalam berelasi, bergaul, dan bertetangga dengan orang lain (the others), antara etnis Tionghoa dan bukan Tionghoa.

Andreas Kristianto yang menjadi rohaniwan di GKI Mojokerto menyampaikan, “Orang Tionghoa seperti hidup di negeri asing. Bagaikan tamu yang tinggal di rumah sendiri.” “Banyak praktik diskriminasi mulai dari ujaran kebencian (hate speech), stigma negatif, bahkan persekusi fisik terjadi dan dialami oleh orang-orang Tionghoa.”

“Buku ini adalah buku yang meinspirasi. Membongkar kesalahpahaman nalar yang menyulut api kebencian kepada kelompok yang berbeda, khususnya saudara-saudara Tionghoa,” tegas Andreas.

Imam Maliki yang menjadi koordinator gusdurian Mojokerto mengatakan, “Saya belajar dari Gus Dur, karena beliau adalah teladan kami. Gus Dur pernah berujar jika kamu melakukan kebaikan, orang tidak akan tanya agamamu apa dan etnismu dari mana.”

“Dengan momentum kebersamaan ini, mari kita memperkuat tali silahturami dan persaudaraan untuk membangun kerja-kerja kemanusiaan, tutur Imam.

Khanis Suvianita yang sekarang sedang mengambil doktor di UGM mengatakan, “Terjadi kebencian begitu panjang kepada kelompok Tionghoa karena sudah didesain matang sejak zaman orde baru. Politik segregasi begitu kuat, kebijakan-kebijakan pemerintah begitu membatasi ruang gerak orang-orang Tionghoa untuk berekspresi.”

Buku ini bukanlah buku yang bersifat akademis, tetapi buku yang sederhana dengan pengalaman riil kehidupan sehari-hari. Kunci buku ini adalah terbuka dan jujur terkait dengan pengalaman hidup dengan liyan (orang lain). Karena dengan demikian, kita memiliki kesadaran hidup sebagai anak bangsa.

Pembuatan buku ini digagas oleh Aan Anshori, dikarenakan rasa ikatan solidaritas berbangsa semakin mereduk di tengah agama dan etnis menjadi alat untuk menebarkan kebencian.

“Apabila kita merasa bahwa kelompok kita jauh lebih unggul dan hebat, sebenarnya kita sedang berlaku tidak adil di dalam pikiran kita,” tegas Aan Anshori yang menjadi koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi.

“Dua etnis antara Jawa dan Cina ini seolah-seolah saling membenci dan bermusuhan sejak lama.

"Kami sebagai orang Islam dan sekaligus Jawa seperti orang kolesterol (kelebihan lemak) sehingga gampang kejang kalau berdekatan antara orang Tionghoa,” ucap pria yang akrab disapa Gus Aan itu.

“Padahal Tuhan sudah memerintahkan kita untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan kepada semua orang (ihsan), tanpa terkecuali. Hanya dengan cara demikian peradaban bangsa Indonesia menjadi lebih baik dan tidak akan bubar di tahun 2030, tegas Aan

Acara ini juga diisi penampilan musikalisasi puisi siswa/siswi Madrasah Aliyah Negeri Mojokerto yang tergabung di sanggar Samudra Ilahi pimpinan Kukun. Dengan tetap memakai jilbab, mereka tampil tanpa rasa canggung di hadapan puluhan peserta dari jemaat GKI Mojokerto, PMII Mojokerto, Gusdurian, pemuda Muhammadiyah, klenteng TITD Klenteng Hok Siang King dan MAN Soko Mojokerto.(ndre)

Post a Comment

 
Top