0

Oleh Yonatan Wicaksono, mahasiswa MIS Universitas Ciputra, GUSDURian Jombang


“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri,” – Ir. Soekarno


Pada beberapa minggu lalu heboh terjadi suatu aksi yang disebut sebagai Aksi Damai 4 November, sebagai bentuk protes menuntut keadilan terhadap Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) yang merupakan petahana dalam Pilkada Jakarta 2017 diduga melakukan penistaan agama Islam pada Surat Al Maidah 51 yang diselenggarakan oleh FPI (Front Pembela Islam). Hal itu tak lain disebabkan oleh postingan dari seorang dosen bernama Buni Yani di akun facebook miliknya.

Postingan tersebut berisi potongan video Ahok saat sedang melakukan kunjungan kerja di Kepulauan Seribu disertai dengan kata-kata yang provokatif. Berikut adalah tiga kalimat paragraf dalam postingan tersebut.
"PENISTAAN TERHADAP AGAMA?
"Bapak-Ibu (pemilih muslim).. Dibohongi Surat Almaidah 51 (masuk neraka) juga bapak ibu. Dibodohi"
Kelihatannya akan terjadi suatu yang kurang baik dengan video ini".


Berdasarkan penyelidikan kepolisian dan pernyataan para saksi ahli, Buni Yani dijadikan sebagai tersangka karena postingannya tersebut dapat menghasut atau mengajak orang lain untuk membenci dengan alasan SARA (suku, agama, ras, antar golongan). Bagi mereka yang melihat postingan tersebut dan informasi melalui sosial media tetapi tidak mencari sumber lain sebagai bahan perbandingan keabsahan / kebenaran atau sumber tersebut merupakan dari media terpercaya maka akan mudah sekali terhasut atau terprovokasi.

FPI yang terkenal sebagai ormas Islam radikal jelas dengan mudahnya terpancing. Lalu menyelenggarakan Aksi Damai yang pada kenyataannya sempat ricuh karena disusupi provokator dan ditunggangi kepentingan politik para politisi yang ingin berusaha menjatuhkan Ahok agar tidak bisa mengikuti Pilkada dan melengserkan presiden Joko Widodo.

Lucunya, hal ini terjadi juga karena masyarakat banyak yang gagal paham mengartikan kalimat Ahok dalam video singkat dengan transkripsi Buni Yani maupun versi aslinya dari Pemprov DKI Jakarta melalui bahasa Indonesia yang baik dan benar. Berikut pernyataan Ahok yang dilontarkan dalam video tersebut.

"Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan? Dibohongin pakai Surat Al Maidah 51, macem-macem itu”.

Transkrip dari Buni Yani yang menghilangkan kata “pakai” menyebabkan pengartiannya menjadi Surat Al Maidah berbohong. Padahal makna sesungguhnya jika kata “pakai” tidak dihilangkan maka yang dimaksud Ahok adalah adanya oknum yang memakai Surat Al Maidah 51 sebagai senjata politik agar tidak memilih pemimpin non muslim seperti dirinya.

Sebelum peristiwa-peristiwa tersebut, masa kampanye Pilkada Jakarta sudah terlebih dulu dinodai dengan penuh caci maki yang besifat diskriminasi untuk menghimpun dukungan politik. Semua peristiwa di atas tak lain disebabkan oleh hate speech / ucapan kebencian yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok untuk kepentingan pribadinya.

Ucapan kebencian adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Dalam arti hukum, hate speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut.

Website yang menggunakan atau menerapkan hate speech ini disebut hate site. Kebanyakan dari situs ini menggunakan forum internet dan berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu.

Sampai saat ini, belum ada pengertian atau definisi secara hukum mengenai apa yang disebut hate speech dan pencemaran nama baik dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris, pencemaran nama baik diartikan sebagai sebagai defamation, libel, dan slander yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah fitnah (defamation), fitnah lisan (slander), fitnah tertulis (libel). Dalam bahasa Indonesia, belum ada istilah yang sah untuk membedakan ketiga kata tersebut.

Selain dari pernyataan provokatif Buni Yani, juga adanya hate speech yang dilakukan oleh HRS sebagai ketua ormas yang menghina Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dengan diplesetkan menjadi “Pancagila” dan Pancasila sebagai dasar negara rumusan kepentingan pribadi Ir. Soekarno berada di “pantat” karena penggantian pada sila pertama Piagam Jakarta serta jelas menghina Ir. Soekarno sebagai proklamator kemerdekaan Indonesia dan presiden pertama Indonesia.

Adapun dalam Aksi Damai, pernyataan dari Fahri Hamzah sebagai wakil ketua DPR RI yang sepertinya cenderung ingin melengserkan Presiden Joko Widodo alias Jokowi dari kursi pemerintahan dan Ahmad Dhani sebagai calon bupati Kab. Bekasi yang dalam pernyataannya menghina presiden dengan kata-kata tidak pantas sepeti “anjing“ dan “babi” untuk seorang kepala negara dan pemerintahan.

Di belahan bumi lain, seperti kiprah Donald Trump pada pilpres Amerika Serikat yang sangat kontroversial dan terlihat sangat mendiskriminasi para kaum muslim yang akan melakukan pemeriksaan sangat ekstrim atau ekstra ketat bagi yang datang ke negaranya karena menganggap umat muslim sama dengan teroris dan membangun tembok di antara perbatasan AS dan Meksiko agar tidak ada imigran ilegal dari Meksiko. Bahkan ia sekarang memenangkan pilpres AS mengalahkan Hilary Clinton yang menjadi ancaman dunia.

Ashin Wirathu, seorang biksu Buddha Myanmar yang merupakan seorang pemimpin dari gerakan anti Islam yang dikenal sebagai Gerakan 969 di Myanmar. Melalu aksinya yang menganggap muslim sebagai musuh, ia melakukan propaganada akan konspirasinya bahwa akan ada suatu rencana besar dari muslim untuk mengubah Myanmar menjadi negara Islam sehingga membuatnya sempat dihukum penjara.

Ia menyatakan bangga menjadi seorang Buddhis radikal dan pernah masuk dalam majalah internasional Time dengan judul “The Face of Buddhist Terror”. Bahkan pemerintah Myanmar mendukung aksinya karena menyuarakan pendapat mayoritas dan menyebut muslim Rohingnya sebagai kelompok imigran ilegal dari Bangladesh dan menolak memberi kewarganegaraan meski telah mendiami wilayahnya selama 10 tahun lalu. Akibat dari kampanye Wirathu, dipercaya menyebabkan ratusan orang Rohingya tewas dan belasan ribu yang akhirnya menjadi imigran yang mencari suaka ke negara lain, salah satunya di Indonesia.

Sebagai negara yang menjunjung tinggi ideologi Pancasila, kita sebagai masyarakat Indonesia harusnya bersyukur dan bangga karena tidak ada ideologi atau dasar negara lain selain Pancasila yang bisa merangkul berbagai macam suku, ras, etnis, agama, dan budaya yang berbeda menjadi satu. Jangan sampai terjadi perpecahan yang bisa berujung pada catatan hitam sejarah bangsa seperti Tragedi Mei 1998.

Pemerintah Indonesia tidak boleh jatuh ke dalam kekuasaan gerakan radikal seperti pemerintah Myanmar yang mendukung gerakan 969. Pembubaran ormas intoleran sangat diperlukan karena dalam aksinya yang sangat meresahkan masyarakat dan berpotensi memecah belah bangsa dengan berbagai kepentingan. Sudah terbukti dalam aksi-aksinya, mereka melakukan tindakan kekerasan dan perusakan. Salah satunya, HRS yang seringkali propagandanya provokatif dan ada kecenderungan untuk mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Islam. Organisasi intoleran juga rawan disusupi teroris dan menjadi benih dari teroris yang mengincar Indonesia.

Indonesia negara beragama bukan negara agama. Indonesia juga menjunjung semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Selain itu, pemerintah perlu menanamkan program pengamalan Pancasila tetapi dengan versi yang sangat berbeda dengan zaman sang Jendral Soeharto yang sangat mendoktrinasi untuk kepentingan kelompok berkuasa. Program tersebut juga sangat perlu ditekankan pada generasi muda terutama remaja Indonesia yang semakin hari terlihat semakin menurun nilai-nilai etika Pancasila yang dimilikinya karena arus pertukaran informasi yang semakin mudah dengan adanya internet yang merupakan era globalisasi.

Program pemerintah juga harus efektif dalam meningkatkan moralitas baik masyarakatnya dan para pejabatnya dalam pemerintahan. Sudah saatnya para pejabat publik dan pemimpin sekarang menjunjung tinggi kejujuran dan berpegang pada prinsip bahwa mereka ada untuk bekerja kepada masyarakat.

Karena jabatan yang mereka pegang adalah sebagai bukti amanat dan kepercayaan dari masyarakat. Indonesia perlu mencontoh tradisi negara lain seperti Korea dan Jepang, ketika pejabat tersebut tersandung kasus maka dengan kesadaran diri langsung mengundurkan diri, baik terbukti memang benar-benar bersalah maupun tidak. Kesadaran ini yang perlu ditanamkan dan transparansi dalam pemerintahan untuk memberantas korupsi.

Masyarakat juga perlu memilih pemimpin yang secara pengalaman dan kualitas memang baik tanpa melihat latar belakangnya. Sudah bukan zamannya lagi masyarakat harus memilih pemimpin karena agamanya sama namun karena kualitasnya teruji. Seperti Presiden Jokowi, Gubernur DKI Jakarta Ahok, Walikota Surabaya Tri Risma Maharini, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Walikota Bandung Ridwan Kamil yang sangat terlihat kinerjanya dan tidak hanya sekedar kampanye janji-janji palsu.

Kita sebagai masyarakat juga turut berperan aktif sesuai dengan pekerjaan dan kemampuan kita dalam memajukan bangsa kita ini. Berikut adalah kata-kata mutiara sebagai penutup. Diambil dari sebuah postingan meme dari Ivan Wahyu ke Meme Comic Indonesia dengan tulisan : “Apa yang telah kami (para pahlawan) persatukan jangan kalian pecah belah.”

Post a Comment

 
Top