1

KENAPA GUS DUR MENINGGAL DI BULAN DESEMBER?

Aan Anshori

APAKAH Anda tahu kenapa Tuhan memanggil pulang Gus Dur di bulan Desember? Saya tidak tahu. Namun rasanya hal itu pasti ada alasannya.

Oleh karena Tuhan tidak bisa dikonfirmasi langsung seperti mudahnya wartawan melakukan door step ke Ahok, maka tulisan ini sepenuhnya berangkat dari analisis post factum – sebuah analisis yang terkadang cenderung dianggap othak-athik-mathuk.

---

Kamis, 24 Desember 2009, 6 hari sebelum Gus Dur tiada.

Sekitar jam 12 siang, ada pesan masuk ke Blackberry Bold-ku, dari Pdt. Simon Filantropa, pendeta senior GKI Jawa Timur yang aku kenal akrab dengan Gus Dur. Dia menanyakan kebenaran Gus Dur tengah dirawat di ruang VVIP RSUD Jombang.

Sebagai 'pemilik' kabupaten kecil ini, saya begitu terkejut karena tidak mendengar kabar apapun tentang hal ini. Namun tak sampai 10 menit mencari info, akhirnya kebenaran itu terverifikasi. Benar, Gus dur tengah dirawat di sana beberapa jam lalu.

Saya dan Pak Simon merapat ke paviliyun VVIP menjelang maghrib. Suasananya mulai ramai. Saya melihat beberapa elit NU Jombang ada di sana, bergerombol di depan.

Ambulan besar dan mewah bertuliskan RSUD Dr. Soetomo parkir tepat di depan VVIP. Lampu atas dibiarkan berkedip-kedip, menandakan posisi stand by siaga 1.

Ada mobil patwal polisi juga relah siap siaga. Melihat situasi ini, saya berfikir Gus Dur pasti sedang dalam kondisi parah. "Duh piye iki," gumam saya.

Saya kemudian membaur di lobby VVIP. Ada beberapa Banser yang berjaga di pintu selasar yang menghubungkan ruang lobby dan kamar-kamar, termasuk ruang Gus Dur. Saya tentu saja tidak berani masuk ke kamar Gus Dur meski sangat ingin. Emang siapa saya boleh masuk dan bertemu junjungan saya ini?

Saya akhirnya memilih nongkrong dengan geng PWI –sebutan saya untuk teman-teman wartawan yang sudah bergerombol di lobby, menenteng aneka senjata jurnalistik yang siap digunakan mengabadikan momen penting.

Dari perbincangan dengan beberapa orang, Gus Dur masuk RSUD karena kelelahan setelah sebelumnya melakukan perjalanan darat dari Jakarta menyusuri jalur Utara Jawa. "Kadar gulanya drop," kata salah satu kawan.

Saya tahu, Gus Dur merupakan sosok yang sangat mencintai silaturahmi. Jika memakai bahasa jaman now, Gus Dur paling suka cangkruk dan ngopi.

Belakangan, saya meyakini silaturahmi adalah kunci utama Gus Dur. Dari silatirahmi, arus informasi kepadanya deras meluncur.

Silaturahmi adalah cara efektif, namun berat karena butuh kerendahan hati untuk meletakkan orang lain dalam level yang terhormat. Hanya orang sombong yang tidak senang didayohi, apalagi jika tamunya sekelas Gus Dur.

“An, Bupati teko,” kata salah satu wartawan sembari menunjuk rombongan yang baru masuk ke lobby VVIP. Suyanto, sang bupati, didampingi dr. Bambang Hayunanta, dokter spesialis kulit yang saat itu mejabat sebagai direktur RSUD.

“Mas,” sapa saya sembari menyalami bupati yang merasa dekat dengan Gus Dur ini. Suyanto kala itu juga merupakan Ketua DPC PDIP Jombang. Ia pernah aktif di MWC NU Bareng.

Kedekatannya dengan Gus Dur dibuktikan dengan banyaknya cerita personal yang ia miliki mengenai suami Sinta Nuriyah ini.

Saya terkadang merasa Gus Dur merupakan sosok yang sangat menghargai orang. Hal ini saya bisa simpulkan dengan melihat betapa banyak orang merasa dekat dengan cucu Mbah Hasyim ini, termasuk Mas Yanto. Bupati ini selanjutnya menuju ruang Gus Dur dirawat.

Pdt. Simon juga masuk juga, disusul kemudian paman saya, Suudi Yatmo. Ia adalah salah satu selebritis NU lokal. Jangan ngaku NU Jombang jika tidak kenal dengan pengusaha jasa konstruksi besi di Mojoagung ini.

“Aku kudu mlebu An. Gus Dur dua kali ke rumahku,” katanya setelah ia selesai keluar dari ruangan Gus Dur.

Ia berkata sempat berbincang dengan Bu Sinta dan Gus Dur. Menurutnya Gus Dur ngotot nggak mau dirawat di rumah sakit karena merasa dirinya tidak sakit. Padahal semua orang melihatnya tidak cukup sehat.

“Semua berkepentingan agar Gus Dur bisa mendapat perawatan yang lebih layak di Surabaya. Lha tapine Gus Dur nggak mau, gak onok sing wani ngomong ke Gus Dur,” kata Cak Suudi.

Setelah lama menunggu, sekira pukul 22.39, banyak orang keluar dari ruangan Gus Dur menuju lobby, termasuk beberapa dokter. Ini semacam pertanda. Entah apa.

Para wartawan sontak merangsek ke mulut pintu selasar, sembari mengaktifkan senjatanya. “Rasanya Gus Dur berhasil diyakinkan untuk dibawa ke Surabaya,” gumam saya sambil ikut mendekat ke pintu.

Lampu mobil ambulan yang dimatikan, kemudian dinyalakan lagi, dibumbui dengan sedikit sirine yang kemudian dimatikan. Semacam memberi kode, “Let’s go, honey”

Saya melihat Gus Dur keluar dengan menggunakan kursi roda. Bu Sinta mengiringinya agak di belakang, dikawal banyak orang. Situasi mulai agak gaduh.

Blitz dan sorot kamera diarahkan terus ke rombongan yang agak tergesa menuju lokasi penjemputan depan paviliyun. Sesekali wartawan bersuara agak keras melempar pertanyaan, berharap dapat jawaban. Namun tidak dihiraukan.

Saya agak kaget karena bukan mobil ambulan yang dipersiapkan, melainkan sedan hitam yang diparkir di depan. Benarkah Gus Dur yang sakit akan menaiki sedan? Ini tentu tidak cukup lazim. Namun siapa yang punya otoritas untuk menentukannya selain sang pemilik tubuh sendiri?

Dan benar, Gus Dur akan dibawa menggunakan sedan. Saya melihat agak dekat betapa Gus Dur menahan rasa sakit saat berpindah dari kursi roda ke kursi belakang Sedan. Raut wajah Gus Dur tidak bisa menyembunyikan itu.

Dengan iringan patwal, mobil ambulan, dan beberapa mobil pribadi, sedan itu segera melesat meninggalkan RSUD Jombang menuju Surabaya. Saya pulang dengan perasaan lega.

Sekitar setengah jam kemudian Pdt. Simon mengabari saya kembali bahwa saat melintas di Trowulan Mojokerto, rombongan balik kanan menuju Jombang lagi. “Embuh, An, jarene Gus Dur kepingin nyekar ke Tebuireng,” katanya.

Paginya saya mengumpulkan informasi Gus Dur telah meninggalkan Tebuireng menuju Surabaya. Saya merasa lega karena berkeyakinan Gus Dur akan mendapatkan perawatan yang relatif lebih optimal di sana.

Enam hari kemudian, tepatnya tanggal 30 Desember, menjelang senja, saat saya di alun-alun Jombang menghadiri acara tutup tahun PWI, tiba-tiba tersiar desas-desus Gus Dur meninggal dunia.

Saya melihat beberapa wartawan yang berkumpul di sana sibuk mengangkat telpon, nampaknya dari kantor redaksinya di Surabaya dan Jakarta. Ya, Gus Dur telah tiada di akhir bulan Desember setelah menjalani serangkaian perawatan, termasuk cuci darah yang kesekian kalinya.

Ajal menjadi otoritas penuh Tuhan yang tidak akan dibocorkan pada yang lain. Dalam guyonan kami, ada 4 hal yang akan selama menjadi misteri Tuhan, yakni ajal, rejeki, jodoh, dan langkah Gus Dur –karena sangat sulit ditebak.

Saya merasa keputusan Allah memanggil pulang Gus Dur di bulan Desember bukannya tanpa sebab. Sangat mungkin Allah –yang punya esensi sama namun disebut secara beragam sesuai keyakinan yang ada—menakdirkan momentum meninggalnya Gus dur tidak jauh-jauh dari momen penting milik salah satu kelompok yang selama ini hak-haknya dibela; Kristen (Protestan dan Katolik).

Desember merupakan bulan penting bagi kelompok yang mengalami persekusi paling banyak sejak reformasi bergulir. Anda mungkin sudah tahu betapa banyak jumlah rumah ibadah mereka yang mengalami kekerasan. Saya memperkirakan lebih dari 6.000an. PGI rasanya paling tahu data lengkapnya.

Itu baru terhadap rumah ibadahnya. Belum terhitung berbagai kekerasan dan diskriminasi yang bersifat non-bangunan, misalnya perisakan, diskriminasi sekolah, state-favoritism dalam kebijakan anggaran publik, perlakuan sewenang-wenang dari lingkungannya.

Cerita pilu paling baru saya dapatkan dari seorang kawan, salah satu politisi perempuan, Protestan. Dirinya gagal dilantik menjadi wakil rakyat di salah satu kota di Jawa Barat hanya karena menolak disuruh berpindah keyakinan,

“Tak akan saya gadaikan Yesus sampai kapanpun,” katanya menahan emosi dengan logat Batak bercampur Sunda di hadapan beberapa kawan. Menurut perempuan yang memperoleh suara terbanyak di dapilnya, praktek konversi paksa seperti ini telah lama terjadi menimpa kawan-kawannya.

Gus Dur tahu betul penderitaan yang dialami kelompok Kristen. Itu sebabnya ia getol melakukan pembelaan terhadap mereka.

Gus Dur dan bulan Desember bukan rencana sembarangan Alloh. Keduanya adalah pasangan anomali yang melengkapi. Pada Desember, suka cita Kristiani atas kelahiran Juru Selamat membuncah di mana-mana, di tengah rajaman sembilu intoleransi. Bersuka cita meski penderitaan mendera adalah anomali.

Dan di bulan yang sama, Gus Dur meninggal dunia diantar jutaan tetes air mata dengan satu kekuatiran, "Bagaimana nasib Indonesia selanjutnya tanpa dia?"

Rasanya belum ada sosok yang mampu menandinginya dalam banyak hal; kiai yang presiden dengan segala kesederhanaan yang bahkan membuatnya sampai berhutang uang kepada putri sulungnya.

Begitu berat "salib" yang ia panggul. Caci-maki tak membuatnya surut diri. Pujian tidak membuatnya tinggi hati. Pusaranya tak pernah sepi peziarah; dari Asing hingga Aseng, dari santri hingga eljibitiai, dari monoteis hingga ateis, dari veteran tentara hingga Korban 65.

Sangat mungkin pencapaian ini merupakan buah dari apa yang ia telah tanam; keberanian memperjuangkan kemanusiaan.

Bagi banyak orang, kematian Gus Dur adalah kedukaan sekaligus kegembiraan tersembunyi untuk melanjutkan cita-citanya; merawat keragaman Indonesia. Kegembiraan ini selanjutnya mulai bangkit seiring kepulangan menghadapNya.

Delapan tahun setelah ia meninggal, Desember tetap menjadi ajang perayaan bersatunya kedukaan dan kegembiraan. Puluhan anak-anak ideologis Gus Dur yang dikenal dengan nama GUSDURian memasang spanduk ucapan selamat Natal.

Mereka berbondong-bondong mendatangi undangan perayaan Natal di banyak kota di Jawa Timur; Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Batu, Malang, Blitar, Tulungagung, Jember, Probolinggo, Bondowoso.

Tidak terhitung lagi berapa jumlah kab/kota di seluruh Indonesia yang menghelat sewindu wafatnya pria ini. Hampir semuanya melaksanakannya dengan menggandeng elemen lintas etnis dan keyakinan. Mereka bergerak dengan nafas yang sama; merayakan perbedaan di tengah kuatnya penyeragaman.

Haul Gus Dur dan Natalan telah menjadi dua sisi tak terpisahkan. Ketika Yesus lahir secara queer (di luar kelaziman) dari rahim Bunda Mary(am), Alloh menyampaikan ucapan selamatNya secara gamblang dalam QS. Maryam 15, "Dan kesejahteraan bagi dirinya pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali,"

Saat suasana kelahiranNya dirayakan pada 2009, Gus Dur wafat. Dan di tahun-tahun sesudah itu, perayaan kelahiran dan kematian dua sosok ini merupakan hari di mana keduanya dibangkitkan kembali melalui pengikut-pengikutnya yang berjuang meneruskan ajarannya; keberanian membebaskan kemanusiaan dari kuasa intoleransi, dengan cara menyebar cinta-kasih.

Sampai kapanpun, Desember dan Gus Dur akan terus bersama, menjaga Indonesia. Tuhan tidak salah memanggilnya pulang di bulan Desember.

We miss you.


Post a Comment

  1. Slam hormat buat sadara/i ku JIAD ,NU,GUSDURIAN dan saudara muslim lainnya yg sllu hadir dlm DERITA minoritas,, penjaga toleransi solidaritas..jg sllu stia mnjungjung tinggi nilai PANCASILA n UUD 1945. Slam ☝️ rasajrasa ☝️ jiwa NKRI HARGA MATI . By Jambi

    ReplyDelete

 
Top