0
Tak pernah aku menyangka ia ternyata menyimpan kisah kelam saat SMP. Ia mengaku pengalaman tersebut terus membututinya hingga kini. 

"Soal opo tho, Ren? Ayo ceritakanlah pada kami," Aku mencoba mempersuasinya di hadapan anak-anak GUSDURian Mojokerto dan beberapa jemaatnya.

Saat itu kami sedang nongkrong setelah jemaat GKJW Randurejo, tempat Rena melayani, selesai ibadah HUT kemerdekaan RI. 

"Ini tidak mudah ya. Aku terus mencoba berdamai dengan luka yang aku alami," katanya memulai. Wajahnya tampak menegang di balik masker yang ia pakai. 

Kami semua termangu mendengar ia bercerita. Sungguh, tidaklah mudah menceritakan hal ini. Ia harus menziarahi masa lalunya. Ia menceritakan lagi apa yang oleh kebanyakan orang dianggap aib. 

Aku teringat alm. Chrisye. Penyanyi ini butuh 30an tahun untuk berani ngomong ke publik ia adalah Tionghoa, setelah peristiwa yanf menimpanya saat kecil. 

"Seminggu lalu aku mencoba menghadapi ketakutanku lagi. Tubuh dan jiwaku terasa tidak nyaman padahal aku hanya duduk di terasnya," ia bercerita sembari tertawa. Tapi aku tahu ada kegetiran yang sedang ia tekan sangan kuat.

Cerita luka Rena memantik beberapa dari kami menarasikan kisah luka yang kami alami. Rasanya seperti peer group.  Kami belajar dari luka masing-masing. Menyadari, mengakui, menerima, menceritakan dan mencintai luka itu. 

Obrolan tentang luka ini berawal dari hal yang tak disengaja. Saat ngobrol ngalor-ngidul bersama mereka, secara tak diduga aku menyampaikan gagasanku seputar narasi Sarai-Ibrahim-Hagar. 

Kok bisa? Iya, tubuhku memang di GKJW Randurejo, tapi jiwa dan konsentrasiku terbelah. Karena pada saat bersama aku juga fokus mengikuti diskusi online pendalaman Alkitab yang dihelat genk STT Jakarta. Aku tertarik karena isunya seputar Sarai dan Hagar. 

Keduanya sosok penting dalam Islam. Namun aku tak pernah diberitahu betapa kompleksnya relasi keduanya, sampai aku membaca sendiri dalam Alkitab.

"Menurutku teks kisah mereka sangat kolonialistik. Cerita tentang ketidakadilan yang berpotensi mengadu domba para pembacanya," kataku di forum online.

Lihatlah, kataku, betapa Tuhan sedang mendemonstrasikan keunggulan perempuan beranak ketimbang yang tidak. Perempuan majikan dan hamba, dan yang paling terasa; keunggulan Ishak atas Ismael. 

"Menurut bayangan teman-teman, bagaimana perasaan Ishmael kala itu saat tahu papanya menyerahkan semua hartanya ke adiknya? Mari kita letakkan kaki kita di sepatu Ishmael. Hanya ada satu kata; terluka!" kataku.

Aku membayangkan destruksi apa yang dapat dilakukan orang yang tidak dewasa mengelola lukanya. Teori postkolonial pernah mewanti-wanti adanya potensi peniruan (mimicry) watak penjajah oleh yang dijajah. 

Maksudnya, korban penjajahan memiliki peluang besar akan meniru watak penjajahnya. Yunior yang pernah ditindas seniornya seringkali bertindak serupa ketika ia berposisi senior.

"Tugas kita, merawat luka agar tidak menyebabkan luka bagi yang lain," kataku di forum.

Hal ini juga yang aku sampaikan ketika Rena menodongku memberi sambutan di tengah ibadah. Aku yang duduk di bangku belakang bersama jemaat lainnya, agk kaget tak menyangka akan ditodong. 

"Wah Rena ini... Aku lho nggak ada di rundown ibadah," kataku sembari tertawa. Beberapa jemaat juga tertawa, mengiringiku maju ke depapn menghampirinya dekat mimbar. 

Dalam sambutan singkatku,  aku berterima kasih pada para jemaat dan mengajak mereka bersetia dan sabar, khususnya dalam menghadapi saudara-saudara mereka yang kadang bertindak seperti leluhurnya; and he shall be [as] a wild ass among men; his hand [shall be] against every man, and every man's hand against him; and he shall dwell over against all his brethren.

Aku tahu ada banyak diantara mereka yang terluka, sebagaimana halnya Rena dan lainnya. Namun aku yakin mereka tidak akan memilih hidup dalam jerat mental postkolonial; menjadikan luka sebagai alasan untuk melukai. (*)

-- warkopjokotingkir

Post a Comment

 
Top