0
Oleh Aan Anshori (IG @gantengpolnotok)

Saat berbicara di forum talkshow “Intoleransi di sekitar kita,” di Universitas Widya Mandala Surabaya, Sabtu (13/7), Romo Eko, vikaris jenderal Keuskupan Surabaya, secara mengejutkan menyebut adanya monumen intoleransi yang ada di dekat Surabaya.


Pria yang dekat dengan Gus Dur ini lalu bertanya pada peserta apakah ada yang tahu. Tidak ada yang menjawab. Saya yang duduk persis di sebelah kanannya berkata lirih dengan ragu. “Pengungsi Syiah Sampang di Jemundo Sidoarjo?”

Romo Eko hanya melirikku sembari tersenyum. Selanjutnya ia menyatakan hingga saat ini ada satu gereja katolik di Krian Sidoarjo yang tidak bisa dibangun meski sudah mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB).

“Entah karena faktor apa sehingga gereja itu tidak bisa berdiri. Namanya (gereja) Mangkraktius,” katanya. Peserta tertawa getir mendengar nama asli gereja Santa Monica ini diplesetkan menjadi “Mangkraktius” dari kata “mangkrak,” alias tidak bisa dibangun.

Intoleransi adalah perasaan seseorang yang tidak rela jika melihat orang lain mendapatkan hak-haknya. Itu definisi yang sederhana. Jika hati kita panas melihat orang lain, biasanya beridentitas minor, memperoleh apa yang menjadi haknya maka itulah intoleransi.

Intoleransi bisa dilakukan siapa saja termasuk umat Islam di Jawa Timur. Survei Wahid Foundation April 2016 bisa menjadi lensa memahami situasi tersebut. Hampir separuh Muslim dewasa Indonesia, menurut survey tersebut, membenci pemeluk agama lain, Tionghoa dan Komunis. Hampir semua dari mereka tidak mau kelompok tersebut menjadi aparat negara dan keberatan menjadikannya tetangga.

Setahuku, tidak hanya gereja Santa Monica Krian Sidoarjo yang belum bisa dibangun. Paroki di wilayah Babat Lamongan juga masih terganjal renovasinya hingga sekarang. Selain itu, masih ada beberapa rumah ibadah Protestan yang bernasib sama. Misalnya, dua yang pernah saya kunjungi; GKI Gayungsari Surabaya dan pepanthan GKJW Sumbergondang Bluluk di wilayah Ngimbang Lamongan.

Monumen intolerasi lain di Jawa Timur yang juga tak kalah memalukan adalah Rusun Jemundo, tempat ratusan warga Syiah Sampang yang belum bisa pulang pascarentetan pengusiran dari kampung halamannya tujuh tahun silam. Mereka hingga kini masih hidup dengan segala keterbatasannya sampai sekarang.

Kabupaten Sampang secara umum juga unik karena hingga kini tidak ada gereja, yang terdata formal, berdiri di sana. Padahal menurut data Kemenag Jawa Timur 2014, jumlah warga Protestan 662 orang dan Katolik sebanyak 567 orang. Saya jadi bertanya-tanya, kemana seribu lebih warga Kristen beribadah setiap minggunya? Bayangkan secara terbalik apa yang terjadi seandainya mereka adalah Muslim yang hidup di tengah mayoritas Kristen.

Monumen-monumendi atas, saya meyakini, merupakan cuilan dari lempengan raksasa monumen intoleransi yang menuntun kita untuk menggali lainnya. Saat diwawancarai tim BPS Jawa Timur yang sedang merumuskan indeks demokrasi provinsi ini menunjukkan terdapat sekitar 41 jejak/peristiwa intoleransi selama 2018.

Jejak ini masih berfokus pada intoleransi terhadap hak sipil dan politik, termasuk kemerdekaan berkeyakinan, berpendapat, berserikat dan berekspresi. Belum mencakup pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya.

Jawa Timur dengan demikian tidak lagi absah mendaku dirinya sebagai wilayah toleran di pulau Jawa, sebagaimana yang sering kita dengar. Pasangan Khofifah-Emil sejatinya tengah menghadapi problem serius intoleransi. Problem ini tidak mudah diselesaikan mengingat keduanya pasti akan berhadapan dengan para pendukungnya sendiri. Sangat mungkin keduanya akan

Alih-alih menyiapkan roadmap penyelesaian yang jelas, saya berkeyakinan keduanya sangat mungkin akan tutup mata, mengangap tidak ada masalah serius di provinsinya seraya memilih manuver konvensional-populis; membangun panggung-panggung selebrasi formal agar tetap dianggap sebagai pemimpin toleran. Padahal sejatinya monumen intoleransi di Jawa Timur tidak pernah dirobohkan, bahkan cenderung semakin banyak.(*)


Post a Comment

 
Top