0

Viral video tayangan dua tokoh Indonesia, Pdt. Gomar Gultom -- ketua Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) dan Gus Nuril, pengasuh pesantren Sokotunggal Rawamangun Jakarta, saling membasuh kaki. 

Apa yang sebenarnya terjadi?

"Saya merasa tidak dianggap saudara oleh warga GKJ Gandaria. Buktinya, sampeyan semua tidak pernah membasuh kaki saya," 

Begitulah kira-kira potongan kalimat yang dikeluarkan Gus Nuril saat berbicara sebagai narasumber dalam seminar kebangsaan di GKJ Gandaria Jakarta, Sabtu (14/12). Selain Gus Nuril, ada Pdt. Gomar Gultom dan saya sebagai narasumber. Moderatornya mas Timotius Apriyanto dari Jogja.

Dalam seminar yang berlangsung hampir 4 jam lebih tersebut, baik Gus Nuril maupun bang Gomar, keduanya terus memompa forum agar senantiasa optimis ditengah maraknya intoleransi. 

Saya merasa Gus Nuril --ketika melontarkan "basuh kaki,"- sedang menunjukkan contoh konkrit bagaimana model persaudaraan dan kerendahan hati Islam-Kristen. Saya sendiri tak menyangka jika ucapan tersebut akan ditanggapi serius oleh Pdt. Didik sebagai tuan rumah. 

Saat kami para narasumber akan diberi cinderamata di akhir acara, mikrofon berada di tangan Pdt. Didit. Betapa kagetnya saya ketika melihat kendi dan bak plastik ada di depannya. 

"Waduh, kejadian deh," batin saya.

Gus Nuril sontak duduk ndeprok di lantai dalam posisi siap. Sandalnya sudah dilepas. Saya sendiri juga berdiri, tanpa tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Saya berharap biarlah Gus Nuril saja yang mewakili "orang Islam," yang dibasuh kakinya. Namun dibasuh oleh siapa? Pdt. Didik atau bang GoMar? Itu pertanyaan yang menggantung di benak saya. Saya melirik bang Gomar yang masih duduk di kursi. Apakah dia nanti ikut dibasuh kakinya? Oleh siapa? 

Saya benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi. Saya merasa acara ini akan berjalan penuh improvisasi tanpa proses dan tahapan yang pasti; siapa membasuh siapa, siapa dulu yang membasuh, dan lain sebagainya.

Sebagaimana yang tampak, untuk pertama kalinya, Gus Nuril dibasuh kakinya oleh Pdt. Didik. Saya dan Bang Gomar hanya memperhatikan saja. Saya tidak tahu apa yang ada dipikiran Gus Nuril, Pdt. Didik maupun Gomar. Saat itu saya memilih untuk mengalir saja, dengan satu ekspektasi; saya emoh dicuci kakinya. Malu. Terlalu agung perlakuan itu. Namun Pdt. Didik tetap meminta saya duduk di samping Gus Nuril. Saya tidak tahu apa yang harus diperbuat kecuali m-a-n-u-t dan sungkan.

Setelah dicuci kakinya, Gus Nuril bangkit berdiri. Segera ia meraih tangan bang Gomar untuk dicuci balik. Saya melihat Bang Gomar tidak menyangka akan diperlakukan seperti itu. Saya sendiri juga tidak menyangka demikian. Sangat terasa ada semburat kekikukan di gesture bang Gomar. Namun sepertu halnya saya, ia tak punya pilihan lain. 

Saya sendiri, jujur saja, tidak berfikir panjang sebelumnya ketika secara refleks membantu menuangkan air kendi membasuh kaki ketua PGI dan pendeta GKJ Gandaria.

TAFSIR BASUH KAKI DUA MUSLIM

Gus Nuril adalah pemegang tafsir utama kenapa ia membasuh kaki bang Gomar. Dia tak pernah mengatakan motivasi dan perasaannya atas kejadian itu pada saya. Saya pun tidak berani bertanya padanya meski kami rokoan bersama pascaacara. 

Namun saya merasa Gus Nuril seperti ingin menunjukkan kesungguhan kerendahan hatinya untuk seduluran dengan Kekristenan Indonesia. Gus Nuril adalah sangat sedikit, atau bahkan satu-satunya (?), kiai yang punya jam terbang tinggi keluar-masuk gereja, mengampanyekan keramahan wajah Islam. Ia bahkan kerap mengutip ayat-ayat pedang dalam Alkitab untuk "memprovokasi," orang-orang Kristen agar lebih berani melawan ketidakadilan. "Pak pendeta, sesekali ayat-ayat perang perlu dibacakan," katanya di forum ditujukan kepada Pdt. Didik. 

Begitulah gaya Gus Nuril dalam mengejawantahkan kecintaannya pada kelompok Kristen; gaya jalanan! Gaya khas panglima pasukan berani mati era Presiden Gus Dur. 

Bagaimana dengan saya? Entahlah, saya tak berfikir panjang saat mengangkat kendi dan mengucurkan air ke kaki dua pendeta yang hadir saat itu. Yang ada dibenak saya hanyalah keinginan menghapus perasaan bersalah atas apa yang dialami kekristenan Indonesia selama ini, akibat ulah orang-orang yang seagama denganku. Berita persekusi Kristiani hampir setiap hari muncul di media. Kabar terakhir, berhembus kabar ketidakbolehan merayakan Natal di kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung . 

Sebagai muslim sejak lahir yang dididik Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, perasaan bersalah muncul sebagai akibat ketidaksesuaian antara doktrin dan implementasi; bagaimana mungkin kami diminta mengasihi orang lain namun yang terjadi justru sebaliknya? 

Perasaan itu terus-terusan mengurung saya tiada henti, terutama saat ada ada orang Islam melakukan diskriminasi atau kekerasan terhadap orang Kristen atau non-Muslim lainnya. Perasaan ini terus saya bagikan ke setiap orang Islam sekuat yang saya bisa, terutama kepada kader penggerak GUSDURian.

Praktek basuh kaki pemuka agama lain yang dilakukan Gus Nuril dan saya dapat dimaknai sebagai secuil upaya pengakuan kesalahan, permintaan maaf sekaligus komitmen mengerem lajunya praktek persekusi dan diskriminasi. Meski kami sadar hal ini sungguhlah tidak mudah.

Ketidakmudahan juga menghadang kami sebab secara historis belum ditemukan rekam historik valid praktek serupa dalam era Nabi Muhammad. Saya harus jujur, meskipun praktek basuh kaki yang kami lakukan merupakan hal positif namun tetap membuka kemungkinan adanya cibiran di kalangan kami, bahkan kegeraman terselubung. 

Hal ini dikarenakan secara doktrinal klasik, tindakan kami berdua akan dipandang merendahkan harga diri Islam. Penjagaan harga diri agama kami selama ini sering dimanifestasikan dengan cara menggelisahkan; maunya menang sendiri -- tak peduli benar atau salah; merugikan orang lain atau tidak. 

Keyakinan saya, Gus Nuril mendasarkan tindakannya pada strategi dakwah Quranik tertinggi, yakni hikmah, sebagaimana tertuang dalam QS. 16:125. Kata hikmah oleh Pickthall, Mohsin Khan maupun Mohsin Ali diterjemahkan kedalam bahasa Inggris menjadi wisdom, yang oleh Merriam Webster dimaknai sebagai "knowledge that is gained by having many experiences in life," ; "the natural ability to understand things that most other people cannot understand," atau "knowledge of what is proper or reasonable: good sense or judgment," 

Dengan demikian, menjadi wajarlah jika Gus Nuril mampu melampaui model berfikir kebanyakan umat Islam yang menaruh gereja dalam kotak bernuansa kesalahpahaman.  Ilmu hikmah seperti ini sesungguhnya dimiliki hampir semua kiai NU maupun cendekiawan Islam namun sayangnya belum banyak yang berani menyalakannya dalam semangat menjaga pluralitas keindonesiaan. Mungkin kaki mereka perlu dibasuh terlebih dahulu.

-- at Ninda's Home, Shodanco Supriyadi 18 Sukun Malang


Post a Comment

 
Top