0

Saat masyarakat mulai mengakhiri liburan Idul Fitri, puluhan muslim
muda Sumenep justru belajar toleransi dan gagasan Gus Dur di Jombang, Kamis (21/6). Dengan mengendari dua mobil, mereka menempuh perjalanan berjam-jam untuk mencapai makam Gus Dur di Tebuireng.

Setelah itu mereka mengunjungi GKJW Jombang untuk berdialog dan bertukar gagasan mengenai toleransi di Kota Jombang. “Kami sangat menghormati Gus Dur
dan berkeinginan melanjutkan gagasan humanismenya. Kami ingin belajar dari Jombang,” kata Fairozi, pimpinan rombongan yang sekaligus ketua GUSDURian Sumenep.

Menurutnya situasi Indonesia saat ini semakin jauh dari cita=cita keragaman Indonesia. Wajah Islam, menurutnya, begitu tampak tidak lagi ramah dan semakin intoleran. Gus Dur kembali harus dirujuk sebagai model berislam yang inklusif.

Kedatangan mereka disambut hangat Pendeta Suyono dan beberapa majelis GKJW meskipun masih liburan. “Dengan persiapan yang cukup singkat, kami merasa terhormat bisa menerima sedulur-sedulur kami dari Sumenep,” kata pendeta Suyono.

Di matanya, kondisi Indonesia memerlukan sebanyak mungkin sosok yang bisa mengimplementasikan gagasan dan pikiran Gus Dur. Hanya dengan cara ini, menurutnya, bangsa ini bisa merawat kemajemukannya. GKJW Jombang secara institusi selalu terbuka bagi siapapun dan berusaha mengambil inisiatif untuk memperkuat kebinekaan.

Kabupaten Jombang merupakan salah satu contoh bagaimana keragaman dirawat dengan baik. “Jombang ini mengklaim dirinya sebagai Kota Santri namun cukup banyak gereja di sini. Jumlahnya sekitar seratusan. Kami hidup berdampingan, saling menjaga dan menghormati,” tutur pendeta yang baru bertugas November lalu.

Hal ini dibenarkan Aan Anshori saat memberikan pemantapan dalam forum tersebut. Pengajar Kelas Pemikiran Gus Dur ini mengapresiasi peserta
yang tidak alergi datang ke gereja. “Tidak mungkin kita mengaku
bersaudara kalau tidak saling bersilaturahmi. Nah banyak orang yang belum berani masuk ke gereja,” katamantan aktifis PMII.

Padahal, menurut Aan, keengganan mengenal kelompok yang berbeda dseringkali mendorong naiknya kadar intoleransi dan memicu gesekan. Menurutnya kunci aktifisme Gus Dur terletak pada silaturahmi.

Bagi hampir seluruh peserta, kunjungan ini merupakan yang pertama kalinya. “Saya tidak pernah berinteraksi dengan Kristen. Ini
pengalaman pertama masuk gereja dan makan suguhan orang Kristen. Ini luar biasa. Perasaan saya senang dan campur aduk,” ungkap Iim. Baginya perjumpaan seperti ini perlu dilakukan agar setiap orang
bisa saling mengenal dan belajar.(aan)

Post a Comment

 
Top