0
Berapa banyak di antara kita yang pas menikah tidak menghadiri acara intinya, yakni ijab-kabul? Pasti sangat sedikit. Biasanya, perkawinan lebih baik ditunda jika ada salah satu mempelai yang tidak hadir dalam peresmian, baik di KUA, catatan sipil atau tempat lain. Rasanya memang aneh jika ada dua orang yang bersepakat mengikat tali cintanya sehidup-semati namun ada salah satu dari mereka tidak hadir.

Namun Gus Dur merupakan salah dari yang sedikit itu. Ia menikahi gadis Sinta Nuriyah, padahal dirinya sedang belajar di Kairo.

Sinta Nuriyah merupakan putri pasangan Abdussyakur dan Siti Anisah. Keduanya, bisa dikatakan adalah "orang biasa," bukan dari kalangan aristokrat pesantren. Abdussyakur adalah pegawai di birokrasi dan mendirikan sekolah sendiri. Ia membiayai sendiri sekolah tersebut. Sedangkan Anisa berjualan daging.

Saat ijab kabul di rumah Sinta Nuriyah, di kawasan Jl. Juanda Kepanjen Jombang, Gus Dur diwakili kakeknya dari garis ibu, KH. Bisri Syansuri Denanyar, yang juga merupakan salah satu trisula pendiri NU bersama KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Wahab Chasbullah.

Kakek Gus Dur yang mewakili cucunya itu tentu sudah tidak bisa dikatakan muda. Usianya hampir 70 tahun. Itu sebabnya saat ia duduk seforum dengan Sinta Nuriyah, ada yang merasa kasihan dengan perempuan ini. "Kok bisa perempuan sekinyis itu mau dikawini oleh kiai setua itu?" Rupanya, ia tidak tahu bahwa KH. Bisri sedang mewakili cucunya.

Sinta memang kinyis-kinyis. Menurut Greg Barton, ia adalah perempuan paling cantik di kelasnya di Madrasah Muallimat Pesantren Tambakberas, di mana Gus Dur mengajar saat itu. Presiden keempat ini menyukainya namun ia tentu sadar; bahwa meskipun berdarah biru dan pinter, ia terbilang bukanlah sosok romantis dan lumayan jauh dari kualifikasi tampan apalagi atletis.

Namun Gus Dur tak sanggup mengingkari perasaannya pada Sinta. Saya sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana model pacarannya Gus Dur -pemuda yang hidupnya lebih banyak dihabiskan untukmembaca. Ia pasti model pria yang membosankan dari perspektif millenial kekinian.

Untuk menyatakan perasaannya, alih-alih memberikan coklat atau bunga, Gus Dur malah memberikan buku kepada Sinta. Tentu tidak disertai dengan kata-kata "I love you," Pemberian itu lebih seperti "modus," mirip Dilan yang menawari Milea tumpangan motor.

Apakah Sinta langsung menerima buku itu? Tidak. Ia kabarnya sering menolak pemberian itu. Ya, relasi awal mereka berdua tidaklah bisa dikatakan mulus. Entah apa yang ada dipikiran Sinta kala itu sehingga tidak langsung menerima modusan Gus Dur, cucu dari dua pendiri NU ini. Belakangan menjadi lebih jelas bahwa Gus Durlah yang aktif, dan Sinta sebagai penentunya.

Dalam relasi awal yang tidak mulus tadi, Gus Dur harus ke Kairo untuk ke al-Azhar tahun 1963, meninggalkan perasaannya yang belum mendapat respon jernih dari Sinta. Gus Dur kerap menulis surat ke perempuan ini dan dibalas balik. Sinta, kata Greg Barton, sangat piawai berkorespondensi.

Itu pula yang barangkali membuat keduanya semakin yakin akan masa depan mereka berdua. Namun pada sebuah babakan, Sinta tetaplah gamang apakah pria ini adalah pilihan yang tepat atau ia harus mencari pemuda lain. Maka ia pun pergi ke tukang ramal untuk itu. "Jangan mencari-cari lagi. Yang sekarang ini akan menjadi teman hidup anda," kata si peramal itu jelas.

Mendapat kode positif seperti itu, Sinta muda tak lantas menjadi agresif. Ia menunggu, seakan menguji sejauhmana kesungguhan Gus Dur. Korespondensi terus berlanjut. Suatu ketika ia menanyakan apakah Sinta siap menjadi istrinya. Perempuan ini menjawab diplomatis, "Mendapatkan teman hidup itu bagaikan hidup dan mati. Hanya Tuhan yang tahu,"

Saya tidak tahu kenapa Sinta harus "menyiksa" Gus Dur seperti ini. Untungnya Gus Dur tidak patah semangat. Ia terus menulis surat padanya, menceritakan lika-liku kehidupannya di negeri seberang, termasuk kekecewaan-kekecewaannya.

Benarlah adanya Gus Dur telah lulus dengan mudah kursus dasar bahasa Arab di al-Azhar. Pelajaran-pelajarannya bisa dilahapnya dengan mudah karena telah lama ia tekuni saat di pesantren. Keinginannya mempelajari sesuatu yang baru, yang tidak disediakan al-Azhar, membuatnya lebih tertarik pada dunia luar kampus. Konsekuensinya Gus Dur memiliki masalah dengan absensi kehadiran di kelas.

Selain itu, pekerjaan sampingannya di kedutaan besar RI, khususnya pada akhir 1965, membuatnya masygul. Ia yang bisa dengan mudah mengakses laporan perkembangan politik di Indonesia terutama peristiwa G30S merasa bersalah; kenapa organisasinya Ansor dan NU terlibat dalam "pembunuhan brutal besar-besaran orang-orang yang tak berdosa,"

Gus Dur memang kerap diminta menerjemahkan dengan baik laporan perkembangan Tanah Air dalam bahasa Inggris dan Arab. Jika tidak berhasil maka ia kuatir dicurigai.

Dalam situasi psikologis campur-baur ini, ia tidak lulus dalam ujian pertengahan 1966. Surat ke Sinta berisi curahan hati; gamang, kecewa, ragu, berbaur menjadi satu. Sinta nampaknya bisa memahami perasaan pacarnya ini. Itu sebabnya ia menulis surat penghiburan. "Mengapa orang harus gagal dalam segala hal? Anda boleh gagal dalam studi Anda tetapi paling tidak berhasil dalam kisah cinta,"

Mendapat lampu hijau ini, Gus Dur segera menulis surat pada ibunya agar meminang Sinta Nuriyah. Di sisi lain, ia juga mendapat kabar gembira lanjutan. Ada tawaran beasiswa studi di Universitas Baghdad Irak. Sekitar Juli 1968, Gus Dur meneguhkan komitmennya dengan Sinta Nuriyah, tanpa kehadirannya.

Mungkin model ijab-kabul in absentia a la Gus Dur dan Sinta Nuriyah menjadi terobosan penting baik hukum dan tradisi perkawinan di kalangan Sunni-Jawa. Hal ini memang tidaklah lazim.

Saya berfikir sosok KH. Bisri Syansuri ada di balik terobosan itu. Ia memang dikenal sebagai ulama yang cukup terpandang di bidang fikih. Berkat tangan dinginnya saya yakini perkawinan tersebut bisa terlaksana. Terobosan ini sekaligus menunjukkan fleksibilitas hukum Islam (fikih) dalam merespon situasi tertentu.

Perkawinan Gus Dur, yang darahnya sangat biru, dengan Sinta Nuriyah dari kalangan kebanyakan menunjukkan betapa keluarga Gus Dur, terutama Nyai Sholichah, ibunya, memberikan keleluasaan Gus Dur dalam memilih pasangan yang ia cintai, meski bukan dari kalangan aristokrat pesantren sebesar Tebuireng.

Belakangan, keleluasaan ini juga sangat tampak dinikmati putri-putrinya; Alissa Wahid dan Erman, Yenny Wahid-Dhohir Farisi, serta Anita Wahid dan Imam. Lalu bagaimana dengan Inayah Wahid? Kita tunggu saja.
-*-
Saya menulis ini karena Jawa Pos Radar Jombang, Minggu (17/2), menurunkan liputan satu halaman penuh terkait keluarga bu Sinta Nuriyah. Untuk kelengkapan data, saya juga membaca "Biografi Gus Dur; the Authorized Biography of Abdurrahman Wahid." karya Greg Barton.


Penulis Aan Anshori IG @gantengpolnotok

**Sinta Nuriyah kecil berada nomor dua dari kiri

Post a Comment

 
Top